|
KOMPAS,
08 Juli 2013
Menjadi Indonesia adalah gagasan
yang dikerjakan. Bukan mimpi di atas awan-gemawan. Juga bukan cita-cita yang
digantung di langit. Menjadi Indonesia adalah suatu konstruksi imagined community, dilandasi hasrat berkobar
dan ikhtiar cerdas.
Kaum cerdik akal budi merajut
embrio bangsa Indonesia secara cemerlang. Mereka bergerak melampaui misi
politik etis sekadarnya yang dicanangkan pemerintah kolonial:
edukasi-migrasi-irigasi. Digarap sekuensial melalui tahap penyadaran, peneguhan
komitmen, keteladanan, pengorbanan, dan ikrar sarat makna.
Di tangan kaum terpelajar
tercerahkan, ekspresi etno-nasionalisme dibingkai dan menjelma menjadi
Indonesia Muda. Pendeknya, generasi penginisiasi gerakan mencapai kemerdekaan
mewariskan kesatuan cita-cita politik berbangsa bernegara, bukan sekadar
peleburan organik otentisitas sosial-budaya-agama yang kaya keragaman.
Pendangkalan cita-cita
Namun, imaji generasi pembebas
tentang republik yang berdaulat, bersatu, adil, dan makmur sebagai tuah
kemerdekaan kini semakin tergerus dan melemah. Penyebabnya: elite bangsa miskin
visi dan nihil dialektika nasionalisme. Keduanya berakar dari mewabahnya
pragmatisme dan merosotnya tata kelola bernegara.
Mewabahnya pragmatisme bertolak
belakang dengan ketajaman world view para pendiri bangsa dalam
memandu cita-cita republik. Demokrasi tergelincir hanya menjadi ajang
kontestasi dan transaksi, bukan sarana menguatkan persatuan dan menyejahterakan
rakyat.
Indonesia hari ini semakin
mendekati seperti apa yang pernah disitir Bung Hatta (1960): ”Demokrasi yang
tidak mengenal batas-batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan
melulu anarki, lambat laun akan digantikan diktatur.” Pengertian diktatur tidak
harus menunjuk “orang kuat”, tetapi dapat berupa kepungan gurita kepentingan
politik-ekonomi yang menyetir dan mengendalikan elite bangsa.
Sumber ”penyakit” negeri berupa
ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan tetap bersemayam di
tengah seronok demokrasi hampa orientasi. Ruang publik diwarnai tingkah polah
di luar kepantasan: mulai dari meningkatnya aksi kekerasan masif, perilaku
khianat pejabat publik dan aparat negara, sampai tuna nilai dan
institusionalisasi premanisme dalam banyak segi kehidupan.
Seluruh situasi ini meruyak justru
ketika lembaga-lembaga ad-hoc—Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Nasional Hak-hak Asasi Manusia, Komisi Informasi Publik, Komisi Penyiaran
Indonesia, dan banyak lainnya—hadir untuk mengawal demokrasi. Paradoks ini
mengantarkan kita untuk mempertanyakan hakikat, sekaligus peta jalan demokrasi.
Pendangkalan proses ”menjadi
Indonesia” bakal menghadirkan kecamuk mara bahaya berderajat tinggi. Ia
menghendaki campur tangan kekuatan-kekuatan prominen, yakni mereka-mereka yang
dianugerahi kesanggupan untuk mengambil inisiatif dan berbuat kebajikan lebih
banyak.
Daniel J Boorstin menulis,
demokrasi akan tangguh bila seluruh elemen penting dalam masyarakat terpanggil
untuk memperkuat sendi-sendinya, mengoreksi kelemahannya. Hajat bernegara
terlalu berharga jika hanya diserahkan pada parpol (The Americans: The
Democratic Experience, 1973).
Bangsa
kasihan
Kedaulatan bangsa hari ini dan ke
depan menghadapi tantangan berat dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk
beserta tekanan kebutuhan bersegi banyak. Akibat kelalaian meletakkan visi
jangka panjang dan kerja besar terencana, kondisi faktual membawa soal
”hidup-mati” menyangkut ketahanan pangan dan energi.
Impor bahan pangan serta buah dan
sayuran terus melonjak, mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Subsidi bahan
bakar minyak (BBM) membengkak di tengah anomali kebijakan pembangunan
infrastruktur perhubungan dan moda transportasi massal yang terjangkau, layak,
dan andal. Food and energy security, ketahanan pangan dan energi, yang
gaungnya pernah hangat sepanjang dekade 1970 sampai 1980-an kini tersisih oleh
kebijakan pragmatis oportunis.
Salah urus ini memberi pelajaran
mahal dan multiplikasi dampak meluas. Ia menunjukkan kelambanan, membuang-buang
peluang, dan beroperasinya ramifikasi aneka kepentingan dalam pengambilan
kebijakan publik.
Fakta bahwa tersedia ratusan juta
hektar lahan tidak produktif milik BUMN, misalnya, tidak menggerakkan entitas
pengambil keputusan untuk memanfaatkannya secara optimal demi pemenuhan
cadangan pangan nasional. Demikian pula pertumbuhan melesat konsumsi BBM tiga
dekade
terakhir terlambat diantisipasi saat produksi minyak merosot dari 1,6 juta barrel per hari (bph) tahun 1980-an menjadi tinggal separuhnya, 850.000 bph. Dua contoh soal ini saja merupakan potret nyata bagaimana kedaulatan bangsa dipertaruhkan.
terakhir terlambat diantisipasi saat produksi minyak merosot dari 1,6 juta barrel per hari (bph) tahun 1980-an menjadi tinggal separuhnya, 850.000 bph. Dua contoh soal ini saja merupakan potret nyata bagaimana kedaulatan bangsa dipertaruhkan.
Mengangkat ihwal berat dan besar
ini adalah sebuah peringatan. Agar supaya kita tidak terperosok seperti
penggalan sajak satir Kahlil Gibran:
Kasihan bangsa//yang lahap makan roti//dari gandum yang tidak
dipanennya//.
Dengan adaptasi senada, dapat
ditambahkan:
Kasihan bangsa//yang membanjiri kendaraan bermotor di
jalan-jalannya//dengan aneka merek dan bahan bakar yang tidak diproduksinya//. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar