|
SUARA
MERDEKA, 03 Juli 2013
"Dalam
berpolitik ulama harus bisa mencerminkan keteladanan atas jiwa yang jujur,
bersih, bersemangat antikorupsi"
INGAR-BINGAR menjelang Pemilu 2014 telah memperlihatkan
beragam aksi dari berbagai partai politik dan elitenya. Baik kandidat maupun
partai politik makin masif bermanuver dan membuat pencitraan. Di satu sisi,
mereka juga makin nyata mewujudkan sikap politik saling menjatuhkan.
Politik menjadi perbincangan sangat laris pada tahun
politik ini, terlebih menjelang Pemilu 2014. Perang antarbintang, antarpartai,
dan antarelite menjadi sajian tiap hari. Memang benar bahwa politik adalah
nafsu mengudeta dan berebut kekuasaan. Namun, bingkai demokrasi di Indonesia
tetap mendasarkan pada batasan adab dan etika.
Kelengseran rezim Orde Baru menjadi momentum bagi berbagai
kelompok untuk bereksplorasi di kancah perpolitikan. Mereka mendirikan berbagai
partai politik dengan beragam visi dan misi. Organisasi masyarakat terbesar,
Nahdlatul Ulama (NU) pun ikut meramaikan politik. Sejumlah ulama mendirikan
partai yang disepakati bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari perspektif sejarah pendiriannya, PKB merupakan anak
kandung NU meskipun ormas itu kemudian membatasi diri dalam dunia politik,
dengan kembali ke Khitah 1926. Lewat berbagai agenda, organisasi nahdliyin
memfokuskan untuk mengurus umat, bukan lagi partai dan berpolitik praktis.
Namun tak bisa dimungkiri, PKB merupakan salah satu warisan politik nahdliyin.
Dalam Pemilu 1999, banyak umat Islam mencoblos partai yang
didirikan oleh para ulama itu. Bagi kaum nahdliyin (masyarakat yang dalam
ubudiyah-nya mengikuti ritual NU), PKB pun menjadi pilihan utama. Terlebih
partai itu mengusung toleransi, yang antara lain terlihat dalam jajaran
kepengurusan mengakomodasi mereka yang tidak beragama Islam.
Inspirasi
Penguatan terhadap nilai-nilai toleransi ala PKB waktu itu
kuat diperlihatkan oleh Ketua Umum Tanfidziyah NU yang sekaligus Ketua Umum DPP
PKB KH Abdurrahman Wahid. Keterbukaan pemikiran Gus Dur menginspirasi pemikiran
para cendekiawan muslim untuk mengedepankan toleransi.
Sebuah upaya kontekstual di tengah krisis moral dan sosial
masyarakat, terutama sebagai antitesis radikalisme agama dan konflik antarumat
beragama. Tidak mengherankan bila Presiden SBY menjuluki Gus Dur sebagai Bapak
Pluralisme, bentuk penghormatan untuk tokoh yang menekankan toleransi sehingga
melahirkan pluralisme.
Meskipun akhirnya PKB mengalami berbagai konflik internal,
nyatanya partai berasaskan nahdliyin itu masih solid. Bahkan dalam Pemilu 2009
masih mampu bersaing dengan partai besar lain. Hal ini mengindikasikan bahwa
partai yang kelahirannya dibidani ulama masih memiliki citra kuat. Dengan kata
lain, umat masih merindukan kehadiran ulama sebagai pilihan.
Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa ulama, sebagai
figur teladan, merupakan sosok yang sangat diharapkan umat. Ulama diyakni bisa
membimbing umat secara moral spiritual dalam menghadapi arus globalisasi dan
modernisasi yang mengikis moral. Di sisi lain, kekeringan spiritualitas juga
dialami oleh umat sehingga sosok ulama dibutuhkan sebagai oasis.
Sebuah kalam hikmah menyatakan al-ulamau waratsatul anbiya, yakni ulama itu pewaris para nabi.
Pernyataan itu mengandung dua dimensi penting, pertama; ulama menjadi anutan
umat karena sudah tidak ada nabi lagi setelah Muhammad saw, dan kedua; ulama
menjadi sosok berilmu sehingga dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi ruang-ruang
keilmuan dan moralitas spiritualitas duniawi ukhrawi. Demi Kemaslahatan Dengan
kata lain, umat masih membutuhkan ulama untuk terjun di dunia politik. Hal itu
terwujud lewat PKB yang kelahirannya dibidani ulama.
Namun tidak semua ulama harus berpolitik. Sebagian dari
mereka perlu turun ke masyarakat untuk membimbing umat. Politik para ulama pun
harus cenderung membela kepentingan umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan
bersama. Bahkan pada ranah demokrasi pun ulama harus berperan dalam berbagai
kondisi keumatan. Krisis moral yang melahirkan realitas dekadensi moral menjadi
garapan ulama untuk lebih memerhatikan umat. Begitu pula dalam berpolitik,
ulama harus mengedepankan visi misi keumatan. Kita perlu memperhatikan bahwa
demokrasi yang coba diaplikasikan di negara ini justru membuka keran korupsi.
Tentunya, ulama dengan karakter religiositas masing-masing
diharapkan mampu mengubah wajah buruk demokrasi yang ditumpangi sejumlah elite
yang menyengsarakan umat. Dengan demikian, dalam berpolitik pun ulama harus
bisa mencerminkan keteladanan atas jiwa yang jujur, bersih, bersemangat
antikorupsi. Sebagian ulama seyogianya perlu turun ke tengah umat guna
memberikan pencerahan dan siraman spiritual. Dualisme peran tersebut menjadi
asas dan fondasi untuk membangun masyarakat madani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar