Kamis, 04 Juli 2013

Jauh Dekat PKB dengan Nahdiyin

Jauh Dekat PKB dengan Nahdiyin
Yogyo Susaptoyono ;   Alumnus Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip), Tinggal di Magelang
SUARA MERDEKA, 03 Juli 2013


"Dalam berpolitik ulama harus bisa mencerminkan keteladanan atas jiwa yang jujur, bersih, bersemangat antikorupsi"

INGAR-BINGAR menjelang Pemilu 2014 telah memperlihatkan beragam aksi dari berbagai partai politik dan elitenya. Baik kandidat maupun partai politik makin masif bermanuver dan membuat pencitraan. Di satu sisi, mereka juga makin nyata mewujudkan sikap politik saling menjatuhkan.

Politik menjadi perbincangan sangat laris pada tahun politik ini, terlebih menjelang Pemilu 2014. Perang antarbintang, antarpartai, dan antarelite menjadi sajian tiap hari. Memang benar bahwa politik adalah nafsu mengudeta dan berebut kekuasaan. Namun, bingkai demokrasi di Indonesia tetap mendasarkan pada batasan adab dan etika.

Kelengseran rezim Orde Baru menjadi momentum bagi berbagai kelompok untuk bereksplorasi di kancah perpolitikan. Mereka mendirikan berbagai partai politik dengan beragam visi dan misi. Organisasi masyarakat terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) pun ikut meramaikan politik. Sejumlah ulama mendirikan partai yang disepakati bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dari perspektif sejarah pendiriannya, PKB merupakan anak kandung NU meskipun ormas itu kemudian membatasi diri dalam dunia politik, dengan kembali ke Khitah 1926. Lewat berbagai agenda, organisasi nahdliyin memfokuskan untuk mengurus umat, bukan lagi partai dan berpolitik praktis. Namun tak bisa dimungkiri, PKB merupakan salah satu warisan politik nahdliyin.

Dalam Pemilu 1999, banyak umat Islam mencoblos partai yang didirikan oleh para ulama itu. Bagi kaum nahdliyin (masyarakat yang dalam ubudiyah-nya mengikuti ritual NU), PKB pun menjadi pilihan utama. Terlebih partai itu mengusung toleransi, yang antara lain terlihat dalam jajaran kepengurusan mengakomodasi mereka yang tidak beragama Islam.

Inspirasi

Penguatan terhadap nilai-nilai toleransi ala PKB waktu itu kuat diperlihatkan oleh Ketua Umum Tanfidziyah NU yang sekaligus Ketua Umum DPP PKB KH Abdurrahman Wahid. Keterbukaan pemikiran Gus Dur menginspirasi pemikiran para cendekiawan muslim untuk mengedepankan toleransi.

Sebuah upaya kontekstual di tengah krisis moral dan sosial masyarakat, terutama sebagai antitesis radikalisme agama dan konflik antarumat beragama. Tidak mengherankan bila Presiden SBY menjuluki Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme, bentuk penghormatan untuk tokoh yang menekankan toleransi sehingga melahirkan pluralisme.

Meskipun akhirnya PKB mengalami berbagai konflik internal, nyatanya partai berasaskan nahdliyin itu masih solid. Bahkan dalam Pemilu 2009 masih mampu bersaing dengan partai besar lain. Hal ini mengindikasikan bahwa partai yang kelahirannya dibidani ulama masih memiliki citra kuat. Dengan kata lain, umat masih merindukan kehadiran ulama sebagai pilihan.

Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa ulama, sebagai figur teladan, merupakan sosok yang sangat diharapkan umat. Ulama diyakni bisa membimbing umat secara moral spiritual dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang mengikis moral. Di sisi lain, kekeringan spiritualitas juga dialami oleh umat sehingga sosok ulama dibutuhkan sebagai oasis.

Sebuah kalam hikmah menyatakan al-ulamau waratsatul anbiya, yakni ulama itu pewaris para nabi. Pernyataan itu mengandung dua dimensi penting, pertama; ulama menjadi anutan umat karena sudah tidak ada nabi lagi setelah Muhammad saw, dan kedua; ulama menjadi sosok berilmu sehingga dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi ruang-ruang keilmuan dan moralitas spiritualitas duniawi ukhrawi. Demi Kemaslahatan Dengan kata lain, umat masih membutuhkan ulama untuk terjun di dunia politik. Hal itu terwujud lewat PKB yang kelahirannya dibidani ulama.

Namun tidak semua ulama harus berpolitik. Sebagian dari mereka perlu turun ke masyarakat untuk membimbing umat. Politik para ulama pun harus cenderung membela kepentingan umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama. Bahkan pada ranah demokrasi pun ulama harus berperan dalam berbagai kondisi keumatan. Krisis moral yang melahirkan realitas dekadensi moral menjadi garapan ulama untuk lebih memerhatikan umat. Begitu pula dalam berpolitik, ulama harus mengedepankan visi misi keumatan. Kita perlu memperhatikan bahwa demokrasi yang coba diaplikasikan di negara ini justru membuka keran korupsi.


Tentunya, ulama dengan karakter religiositas masing-masing diharapkan mampu mengubah wajah buruk demokrasi yang ditumpangi sejumlah elite yang menyengsarakan umat. Dengan demikian, dalam berpolitik pun ulama harus bisa mencerminkan keteladanan atas jiwa yang jujur, bersih, bersemangat antikorupsi. Sebagian ulama seyogianya perlu turun ke tengah umat guna memberikan pencerahan dan siraman spiritual. Dualisme peran tersebut menjadi asas dan fondasi untuk membangun masyarakat madani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar