Kamis, 04 Juli 2013

Absurditas Etika Partai Dakwah

Absurditas Etika Partai Dakwah
Pradana Boy ZTF ;  Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM),
Kandidat Doktor di National University of Singapore -NUS
JAWA POS, 04 Juli 2013



SEORANG pemilik gerai makanan di Singapura terpaksa membayar denda 4.000 dolar Singapura (sekitar Rp 31 juta) ke negara. Sebabnya, dia diketahui mencampur daging kambing dan sapi dalam dagangannya. Abu Obaida Abdul Rahaman, nama pedagang itu, memperoleh izin dari pemerintah untuk berjualan martabak daging kambing. Entah apa yang mendorong Abu untuk menambahkan campuran daging sapi ke dalam martabaknya yang sudah dikenal sebagai martabak kambing itu. 

Rupanya, beberapa pelanggan mengetahuinya, lalu melaporkan hal itu kepada otoritas setempat. Setelah melakukan penyelidikan, otoritas setempat membenarkan laporan tersebut dan diputuskanlah hukuman bagi Abu. Abu mengakui kesalahannya dan bersedia menjalani akibat hukum dari perbuatannya secara konsekuen. Tidak hanya harus membayar denda, dia kini kehilangan izin membuka usaha makanan dan dilarang mengajukan kembali permohonan usaha serupa (Berita Harian, 02/07).

Di tanah air, beberapa bulan belakangan ini, publik disuguhi dengan pemberitaan yang bertubi-tubi tentang korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikenal sebagai partai dakwah. Terdapat kemiripan antara kasus korupsi yang menimpa PKS dan kejadian yang saya kutip di atas. Dua-duanya sama-sama berkaitan dengan daging. Bedanya, jika peristiwa yang pertama terjadi pada skala kecil, yakni di kedai makanan; peristiwa kedua berada pada skala yang lebih luas karena melibatkan nasib rakyat. Selain itu, dua peristiwa diikat oleh persamaan yang lain, yakni manipulasi. Jika yang pertama memanipulasi isi dalam kemasan, peristiwa kedua adalah memanipulasi harga, dan lebih dari itu manipulasi kebenaran.

Tetapi, ada hal-hal fundamental yang secara signifikan membedakan keduanya. Di samping menujukkan adanya standar yang terukur tentang sebuah pelanggaran hukum, peristiwa di atas juga berbeda dengan kasus PKS dalam hal sikap tersangka Abu yang dengan legawa mengakui kesalahan dan menjalani hukuman. Tentu kasus Abu memang lebih sederhana karena subjek dari peristiwa ini adalah individu. Sebaliknya, dalam peristiwa kedua, karena melibatkan sistem dan organisasi, alih-alih pengakuan terhadap kesalahan yang kita dengar, sebagai respons atas kasus korupsi yang menimpa PKS, partai ini justru memperlihatkan perlawanan yang tidak empatik. Tetapi, itu tidak bermakna bahwa sikap Abu tidak layak diteladani.

Tentu, masih segar dalam ingatan publik, ketika mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tertangkap oleh KPK beberapa bulan silam, Anis Matta, presiden baru yang menggantikannya, melontarkan pernyataan kontroversial. Dia menyebut bahwa penangkapan itu adalah buah dari konspirasi untuk menghancurkan partainya. Meskipun belakangan Anis mencabut pernyataan itu, ternyata sikap konfrontatif PKS tidak juga berhenti di situ. Partai itu bahkan kemudian terlibat pada tindakan yang cenderung melawan hukum ketika sejumlah kadernya menghalangi penyitaan barang bukti oleh KPK di kantor partai tersebut. 

Demikian pula, ketika kasus ini mulai masuk ke tahapan sidang, sikap yang sama kembali muncul. Pengacara Luthfi Hasan Ishaaq, Zainuddin Paru, menyatakan bahwa kasus ini adalah cara KPK untuk melemahkan dan menghancurkan PKS. Belakangan, seorang elite PKS, Fahri Hamzah, juga turut melontarkan sejumlah tuduhan. Misalnya, dia mengatakan bahwa banyak kebenaran materiil dari peristiwa ini yang ditutup-tutupi oleh KPK. Atau bahwa otak penangkapan Luthfi Hasan Ishaaq adalah Dipo Alam, sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II. Dengan kata lain, Fahri ingin menyatakan bahwa muatan politik kasus korupsi ini jauh lebih mengemuka ketimbang muatan hukumnya.

Saya tak hendak menganalisis kebenaran sejumlah tanggapan dan lontaran oleh PKS tersebut. Apa yang menarik di sini adalah bahwa sejumlah tanggapan tersebut secara gamblang telah menunjukkan sikap PKS yang justru bertentangan dengan citra sebagai partai dakwah. Benar bahwa sikap resistan itu merupakan bentuk sikap untuk menyatakan PKS tidak bersalah. Tetapi, sesungguhnya sikap itu menjadi bukti nyata bahwa PKS tidak hanya telah memperlihatkan etika politik yang cenderung sarkastis dan tidak islami, tetapi juga telah terjebak pada pengambilan strategi politik yang kurang jitu. Jika PKS mengambil sikap yang legawa, misalnya dengan menyerahkan seluruh keputusan kepada penegak hukum dan mengambil sikap kooperatif; itu akan lebih potensial untuk mengembalikan kepercayaan publik. Sikap konfrontatif, meskipun dimaksudkan sebagai perlawanan sekaligus pernyataan PKS tidak bersalah, justru semakin menguatkan keyakinan publik bahwa partai ini sebenarnya terlibat dalam kasus korupsi ini. Wajar, jika pada posisi ini, kebenaran dan kebatilan menjadi kabur.

Sebuah ujaran dalam bahasa Arab mengatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisasi (al-haqqu bila nidhamin) akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi (al-batilu binidhamin). Kita tidak bisa berspekulasi manakah di antara peristiwa-peristiwa ini yang merepresentasi kebenaran yang tidak teorganisasi dan kejahatan yang terorganisasi. 

Dalam panggung politik yang serba diselimuti oleh simulakra seperti yang berlangsung di Indonesia, absurditas sering tampil menggantikan kebenaran. Karena itu, fakta-fakta kebenaran telah disembunyikan dalam absurditas demi pencapaian hasrat kuasa. Dan betapa absurditas itu akan semakin sempurna jika memang PKS benar-benar terbukti terlibat dalam rangkaian peristiwa rasuah ini. Artinya, jika ujaran "kebenaran yang tidak terorganisasi akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi" menyiratkan tanda bahaya, maka sesungguhnya akan semakin berbahaya jika ternyata yang berlaku adalah formula "kejahatan yang terorganisasi dalam bungkus kebenaran yang juga terorganisasi". Semua masih samar, sesungguhnya PKS berada pada kategori yang mana? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar