Sabtu, 22 Desember 2012

Tahun Vivere Pericoloso Sepak Bola


Laporan Akhir Tahun 2012 Olahraga
Tahun Vivere Pericoloso Sepak Bola
KOMPAS, 22 Desember 2012


Sepak bola Indonesia seperti memiliki nyawa lapis tiga karena berkali-kali lolos dari ancaman sanksi pembekuan Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
Dua tahun terakhir, sepak bola Indonesia berada dalam masa-masa berbahaya akibat perpecahan. Ujung tahun vivere pericoloso ini masih samar-samar di balik kabut ego.
Nasib sepak bola Indonesia kini tinggal dalam hitungan hari. FIFA memberikan kesempatan terakhir hingga 13 Februari 2013. Jika para elite sepak bola yang berseteru lebih memilih memelihara konflik, FIFA bisa dipastikan akan menjatuhkan sanksi pembekuan. Palu akan diketok saat sidang Komite Eksekutif di markas FIFA di Zurich, Swiss, 20 Maret 2013.

Mengutip pernyataan FIFA dalam siaran pers seusai Sidang Komite Eksekutif di Tokyo, Jepang, 14 Desember lalu, itu ”batas waktu paling terakhir” (the very final deadline). Meski waktunya sangat pendek, ada dua pilihan di depan mata: membiarkan diri dirajam sanksi pembekuan—yang berarti sepak bola Indonesia dikucilkan dari pergaulan internasional—atau menyelamatkan sepak bola Indonesia?

Akal sehat pasti condong pada pilihan kedua. Di masa-masa penuh bahaya ini, dua kubu yang berseteru, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) harus mempertimbangkan kepentingan nasional. Rekonsiliasi jadi harga mati untuk menyelamatkan persepakbolaan nasional yang terus terpuruk ke jurang kehancuran.

Peran pemerintah juga sangat penting. Sikap tegas Menteri Pemuda dan Olahraga dalam menyelesaikan kasus ini dinantikan oleh jutaan penggemar sepak bola di negeri berpenduduk sekitar 250 juta jiwa ini. Sikap ambigu tidak akan menolong.
FIFA melalui surat tanggal 26 Oktober 2012, yang ditujukan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga, secara tegas memperingatkan, kekacauan dalam persepakbolaan Indonesia sudah terlalu lama dan semakin parah dengan adanya dua tim nasional.

Konflik panjang sejak 2010 ini seperti kanker yang menggerogoti nilai-nilai sportivitas, bahkan akal sehat. ”Dapatkah kalian bayangkan, di Indonesia ada dua kelompok yang mengarahkan sepak bola? Mereka punya liga yang bagus, tetapi pemain dari liga itu tak bisa bermain di tim nasional. Ada sesuatu yang salah,” kata Sepp Blatter, Presiden FIFA, kepada puluhan wartawan internasional saat jumpa pers di Tokyo.

Kemunduran Total

Akibat perpecahan itu, pencinta sepak bola di Tanah Air seolah tak pernah henti-hentinya disuguhi berita penuh penderitaan, di dalam ataupun di luar lapangan. Di dalam lapangan, prestasi timnas terpuruk. Posisi Indonesia dalam rangking FIFA menukik tajam ke titik terendah dalam sejarah, Oktober lalu, saat menembus 170 (dari 209 negara).

Di lapangan juga tim ”Merah-Putih” dipermalukan dengan kekalahan 0-10 dari Bahrain di kualifikasi Piala Dunia 2014. Skor kekalahan yang sangat mencolok dan dicurigai sehingga FIFA turun tangan menginvestigasi laga itu, meski belakangan tak terbukti ada insiden pengaturan skor.

Cerita keterpurukan itu berlanjut hingga kandasnya timnas di penyisihan grup Piala AFF 2012 setelah ditahan Laos 2-2, memukul Singapura 1-0, dan kalah 0-2 dari Malaysia. Dari sembilan kali Piala AFF, ini yang kedua kali Indonesia kandas di penyisihan setelah tahun 2007.

Di luar lapangan ceritanya tak kalah mengenaskan dan memilukan. Pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, meninggal karena sakit saat gajinya selama empat bulan belum dibayar klubnya, Persis Solo ISL. Tragedi ini terjadi akibat kesulitan keuangan klub itu di tengah konflik dan perpecahan sepak bola nasional.

Gaji Mendieta akhirnya dibayarkan, tetapi setelah nyawanya melayang. Ironis sekaligus memilukan.

Secara tidak langsung, Mendieta merupakan korban perpecahan sepak bola negeri ini, seperti ratusan pemain sepak bola yang gajinya tertunggak di klub.
Klub-klub sepak bola yang berlaga di dua kompetisi terpisah, di bawah dua operator berbeda, yaitu Liga Primer Indonesia (IPL) dan Liga Super Indonesia (ISL), dijauhi sponsor. Perpecahan sepak bola negeri ini sudah memakan banyak korban. Akankah menunggu korban berikutnya untuk menghentikan semua ini?

”Quo vadis”?

Konflik dan perpecahan ini sudah berlangsung dua tahun. Ya, dua tahun! Pascasidang Komite Eksekutif FIFA di Tokyo, 14 Desember, tanda-tanda untuk mengakhiri konflik ini tidak kunjung muncul. Akhir dari masa-masa berbahaya ini masih suram.

Sikap KPSI, yang menyatakan tidak mau lagi melebur dengan PSSI dan akan bergerak terus memperjuangkan eksistensinya, menjadi kontraproduktif dengan semangat rekonsiliasi yang diharapkan oleh FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).

Keinginan PSSI mengundang empat anggota komite eksekutif (exco) yang telah dipecat untuk mengikuti rapat exco pada Januari 2013 langsung ditolak. KPSI tetap akan bergerak dengan kepengurusan mereka sendiri. Jika situasi terus seperti ini, kita belum lepas dari masa-masa dalam bahaya, vivere pericoloso.

Tahun 2012 segera berlalu. Seharusnya akhir tahun ini juga menjadi akhir pertikaian di bumi sepak bola Indonesia. Tahun 2013 segera datang, dengan berbagai tantangan yang terbentang. Ke mana kita hendak melangkah? Quo vadis? (AGUNG SETYAHADI/MH SAMSUL HADI)  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar