Jumat, 07 Desember 2012

Pintu Kembalinya Militer


Pintu Kembalinya Militer
Trimedya Panjaitan ;   Wakil Ketua Pansus RUU Kamnas,
Anggota Komisi III DPR Dari Fraksi PDI Perjuangan
KORAN TEMPO, 06 Desember 2012


Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah menggunakan paradigma yang militeristik. Rancangan ini akan mengkhianati amanat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia. 
Pemerintah telah melakukan revisi terhadap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan menyerahkannya kepada Panitia Khusus RUU Kamnas DPR dalam rapat kerja pada akhir Oktober lalu. Tapi tidak ada perubahan signifikan dalam RUU Kamnas tertanggal 16 Oktober 2012 itu dibandingkan dengan naskah versi 30 Maret 2011. Revisi yang dilakukan sebatas bongkar-pasang pasal atau perubahan redaksional. 
RUU Kamnas memberi peran besar kepada TNI dalam sistem kamnas. Rancangan ini bahkan menempatkan TNI di urutan lebih atas dari Polri saat menyebutkan unsur-unsur penyelenggara kamnas (Pasal 20). Dari sistematika perundang-undangan, ini berarti menempatkan TNI menjadi aktor utama. Setelah itu, baru Polri. 
Penempatan posisi TNI setara dengan Polri dalam sistem kamnas, apalagi melebihi, sama saja mengundang TNI kembali masuk dalam fungsi yang selama ini menjadi kewenangan Polri. Ini menyalahi amanat reformasi yang memandatkan pemisahan fungsi TNI dan Polri. Ketetapan MPR Nomor 7 Tahun 2000 telah menegaskan bahwa tugas Polri di bidang keamanan, sedangkan TNI di bidang pertahanan.
RUU ini sebenarnya telah mengatur unsur penyelenggara kamnas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 22). Pasal ini seharusnya menjadi rambu bahwa peran TNI adalah sebatas dalam pertahanan negara. Dengan demikian, dalam sistem kamnas, ia adalah unsur pendukung untuk membantu Polri. Tapi ketentuan-ketentuan lain dalam RUU ini tidak konsisten dengan prinsip itu.
RUU ini tidak menentukan secara limitatif bahwa Polri yang menjadi unsur utama penyelenggara kamnas. Siapa unsur utama dan unsur pendukung diserahkan kepada Dewan Keamanan Nasional (Pasal 24) yang diketuai presiden. Presiden pula, melalui Dewan Keamanan Nasional (DKN), yang merumuskan kebijakan dan strategi kamnas, mengendalikannya, sampai mengevaluasi penyelenggaraannya. Besarnya kekuasaan DKN ini membuka potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dengan militer sebagai alatnya.
Berbagai ketentuan dalam RUU bisa menjadi "pintu masuk" bagi kembalinya supremasi militer. Sebut saja ketentuan Pasal 30 ayat (1) bahwa Presiden dapat mengerahkan unsur TNI dalam menangani ancaman bersenjata pada keadaan tertib sipil. Padahal, dalam status tertib sipil, kondisinya masih normal dan bisa diatasi secara normal oleh institusi yang berwenang di bidang keamanan, yaitu Polri. 
Kemudian TNI, sebagai unsur penyelenggara kamnas, berperan melakukan pencegahan dini terhadap berbagai jenis ancaman kamnas (pasal 34), dan melakukan penindakan dini (pasal 35). Ketentuan ini seperti mempersilakan TNI untuk kembali berperan seperti pada era Orde Baru dulu, menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan atas nama kamnas. 
Kembalinya TNI dalam fungsi kamnas ini jelas-jelas menjadi ancaman bagi kebebasan dan supremasi sipil. TNI akan ikut melakukan pengawasan, kontrol, dan tindakan terhadap warga sipil seperti di era Orde Baru. Atas nama kamnas, orang bisa dihambat, dibatasi, bahkan dilanggar kebebasan dan hak-hak sipilnya. 
Bermasalah 
Ditilik dari latar belakang penyusunan RUU Kamnas ini bisa dibilang cacat sejak lahir. Sebab, RUU ini dilahirkan oleh Kementerian Pertahanan. RUU ini digodok, disusun, dan diajukan ke DPR oleh kementerian yang menjadi "induk semang"-nya TNI itu. Alhasil, materi RUU Kamnas cenderung pada penguatan militer. 
Padahal, ditinjau dari substansi RUU, ini wilayah atau domain Polri. Pasal 30 UUD 1945 sudah tegas mengatur usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara. Sedangkan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Rumusan keamanan yang tertuang dalam UUD 1945 adalah keamanan negara yang berdiri sendiri, tidak menjadi satu (disatu-napaskan) dengan pertahanan sebagaimana rumusan di masa Orde Baru, yakni pertahanan keamanan (tidak ada kata "dan"). Dengan demikian, jelas fungsi keamanan negara (nasional) adalah domainnya Polri. 
Bertindaknya Kementerian Pertahanan sebagai penggodok RUU Kamnas menunjukkan masih digunakannya paradigma lama, bahwa urusan pertahanan dan keamanan disatukan di bawah wewenang Departemen Pertahanan Keamanan seperti di era Orde Baru dulu. Akibatnya, paradigma RUU Kamnas yang disusun pun keliru, yaitu mencampuradukkan pertahanan dan keamanan.
Bila ditengok ke belakang, RUU Kamnas ini sebenarnya merupakan reinkarnasi dari RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disahkan DPR pada tahun 2009. Namun, karena kuatnya penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, Presiden B.J. Habibie menunda menandatangani RUU ini. Hingga sekarang, RUU ini tidak diundangkan. Namun draf RUU ini terus disimpan hingga akhirnya "berganti baju" menjadi RUU Pertahanan Negara dan Keamanan Negara, dan kemudian bertransformasi menjadi RUU Kamnas (Hermawan Sulistyo, Dimensi-Dimensi Kritis Keamanan Nasional, 2012).
Setelah 2014
Jadi, dari awal, RUU ini bermasalah. Kalaupun pembahasan RUU Kamnas dengan paradigma yang keliru ini diteruskan, hanya akan timbul masalah baru. Karena itu, sudah tepat tindakan Pansus RUU Kamnas yang sempat mengembalikan RUU Kamnas ini ke pemerintah untuk disempurnakan. 
Bahasa yang digunakan DPR saat itu, dalam surat pimpinan DPR RI tanggal 11 April 2011, adalah "untuk dilakukan penyempurnaan, baik dari sisi Naskah RUU, Naskah Penjelasan dan Naskah Akademik, maupun dari sisi koordinasi dan sosialisasi di lingkup internal pemerintah". Itu sebenarnya penghalusan dari permintaan DPR kepada pemerintah agar merevisi RUU Kamnas secara total.
Kini, setelah revisi RUU Kamnas menjadi sebatas kosmetik, DPR harus konsisten pada sikapnya. DPR harus melaksanakan aspirasi masyarakat yang diterima dalam proses awal pembahasan RUU, maupun aspirasi masyarakat yang diserukan di luar dewan seperti seruan Koalisi Masyarakat Sipil, Minggu (18 November), agar RUU Kamnas direvisi total sebelum dibahas DPR. Koalisi meminta pembahasan RUU ditunda sampai setelah Pemilihan Umum 2014. Sebab, materi RUU sarat muatan rezim untuk mempertahankan kekuasaan. Dan, penulis sepakat dengan tuntutan itu.
Waktu yang ada, sampai setelah Pemilu 2014, bisa dimanfaatkan pemerintah untuk merombak RUU Kamnas dengan mengacu pada paradigma bahwa RUU disusun dalam rangka menguatkan kepolisian dalam pengelolaan kamnas, dan bukan untuk mengundang militer kembali masuk ke ranah sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar