Pintu
Kembalinya Militer
Trimedya Panjaitan ; Wakil
Ketua Pansus RUU Kamnas,
Anggota Komisi III DPR Dari Fraksi PDI Perjuangan |
KORAN
TEMPO, 06 Desember 2012
Rancangan
Undang-Undang Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah menggunakan
paradigma yang militeristik. Rancangan ini akan mengkhianati amanat reformasi
yang menjunjung tinggi supremasi sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Pemerintah
telah melakukan revisi terhadap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan
menyerahkannya kepada Panitia Khusus RUU Kamnas DPR dalam rapat kerja pada
akhir Oktober lalu. Tapi tidak ada perubahan signifikan dalam RUU Kamnas
tertanggal 16 Oktober 2012 itu dibandingkan dengan naskah versi 30 Maret 2011.
Revisi yang dilakukan sebatas bongkar-pasang pasal atau perubahan
redaksional.
RUU Kamnas
memberi peran besar kepada TNI dalam sistem kamnas. Rancangan ini bahkan
menempatkan TNI di urutan lebih atas dari Polri saat menyebutkan unsur-unsur
penyelenggara kamnas (Pasal 20). Dari sistematika perundang-undangan, ini
berarti menempatkan TNI menjadi aktor utama. Setelah itu, baru Polri.
Penempatan
posisi TNI setara dengan Polri dalam sistem kamnas, apalagi melebihi, sama
saja mengundang TNI kembali masuk dalam fungsi yang selama ini menjadi
kewenangan Polri. Ini menyalahi amanat reformasi yang memandatkan pemisahan
fungsi TNI dan Polri. Ketetapan MPR Nomor 7 Tahun 2000 telah menegaskan bahwa
tugas Polri di bidang keamanan, sedangkan TNI di bidang pertahanan.
RUU ini
sebenarnya telah mengatur unsur penyelenggara kamnas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 22). Pasal ini seharusnya menjadi rambu
bahwa peran TNI adalah sebatas dalam pertahanan negara. Dengan demikian,
dalam sistem kamnas, ia adalah unsur pendukung untuk membantu Polri. Tapi
ketentuan-ketentuan lain dalam RUU ini tidak konsisten dengan prinsip itu.
RUU ini tidak
menentukan secara limitatif bahwa Polri yang menjadi unsur utama
penyelenggara kamnas. Siapa unsur utama dan unsur pendukung diserahkan kepada
Dewan Keamanan Nasional (Pasal 24) yang diketuai presiden. Presiden pula,
melalui Dewan Keamanan Nasional (DKN), yang merumuskan kebijakan dan strategi
kamnas, mengendalikannya, sampai mengevaluasi penyelenggaraannya. Besarnya kekuasaan
DKN ini membuka potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif
dengan militer sebagai alatnya.
Berbagai
ketentuan dalam RUU bisa menjadi "pintu masuk" bagi kembalinya
supremasi militer. Sebut saja ketentuan Pasal 30 ayat (1) bahwa Presiden
dapat mengerahkan unsur TNI dalam menangani ancaman bersenjata pada keadaan
tertib sipil. Padahal, dalam status tertib sipil, kondisinya masih normal dan
bisa diatasi secara normal oleh institusi yang berwenang di bidang keamanan,
yaitu Polri.
Kemudian TNI,
sebagai unsur penyelenggara kamnas, berperan melakukan pencegahan dini
terhadap berbagai jenis ancaman kamnas (pasal 34), dan melakukan penindakan
dini (pasal 35). Ketentuan ini seperti mempersilakan TNI untuk kembali
berperan seperti pada era Orde Baru dulu, menangani persoalan-persoalan
kemasyarakatan atas nama kamnas.
Kembalinya TNI
dalam fungsi kamnas ini jelas-jelas menjadi ancaman bagi kebebasan dan
supremasi sipil. TNI akan ikut melakukan pengawasan, kontrol, dan tindakan
terhadap warga sipil seperti di era Orde Baru. Atas nama kamnas, orang bisa
dihambat, dibatasi, bahkan dilanggar kebebasan dan hak-hak sipilnya.
Bermasalah
Ditilik dari
latar belakang penyusunan RUU Kamnas ini bisa dibilang cacat sejak lahir.
Sebab, RUU ini dilahirkan oleh Kementerian Pertahanan. RUU ini digodok,
disusun, dan diajukan ke DPR oleh kementerian yang menjadi "induk
semang"-nya TNI itu. Alhasil, materi RUU Kamnas cenderung pada penguatan
militer.
Padahal,
ditinjau dari substansi RUU, ini wilayah atau domain Polri. Pasal 30 UUD 1945
sudah tegas mengatur usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri
sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara.
Sedangkan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
Rumusan
keamanan yang tertuang dalam UUD 1945 adalah keamanan negara yang berdiri
sendiri, tidak menjadi satu (disatu-napaskan) dengan pertahanan sebagaimana
rumusan di masa Orde Baru, yakni pertahanan keamanan (tidak ada kata
"dan"). Dengan demikian, jelas fungsi keamanan negara (nasional)
adalah domainnya Polri.
Bertindaknya
Kementerian Pertahanan sebagai penggodok RUU Kamnas menunjukkan masih
digunakannya paradigma lama, bahwa urusan pertahanan dan keamanan disatukan
di bawah wewenang Departemen Pertahanan Keamanan seperti di era Orde Baru
dulu. Akibatnya, paradigma RUU Kamnas yang disusun pun keliru, yaitu
mencampuradukkan pertahanan dan keamanan.
Bila ditengok
ke belakang, RUU Kamnas ini sebenarnya merupakan reinkarnasi dari RUU
Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disahkan DPR pada tahun 2009.
Namun, karena kuatnya penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil,
Presiden B.J. Habibie menunda menandatangani RUU ini. Hingga sekarang, RUU
ini tidak diundangkan. Namun draf RUU ini terus disimpan hingga akhirnya
"berganti baju" menjadi RUU Pertahanan Negara dan Keamanan Negara,
dan kemudian bertransformasi menjadi RUU Kamnas (Hermawan Sulistyo,
Dimensi-Dimensi Kritis Keamanan Nasional, 2012).
Setelah
2014
Jadi, dari
awal, RUU ini bermasalah. Kalaupun pembahasan RUU Kamnas dengan paradigma
yang keliru ini diteruskan, hanya akan timbul masalah baru. Karena itu, sudah
tepat tindakan Pansus RUU Kamnas yang sempat mengembalikan RUU Kamnas ini ke
pemerintah untuk disempurnakan.
Bahasa yang
digunakan DPR saat itu, dalam surat pimpinan DPR RI tanggal 11 April 2011,
adalah "untuk dilakukan penyempurnaan, baik dari sisi Naskah RUU, Naskah
Penjelasan dan Naskah Akademik, maupun dari sisi koordinasi dan sosialisasi
di lingkup internal pemerintah". Itu sebenarnya penghalusan dari permintaan
DPR kepada pemerintah agar merevisi RUU Kamnas secara total.
Kini, setelah
revisi RUU Kamnas menjadi sebatas kosmetik, DPR harus konsisten pada
sikapnya. DPR harus melaksanakan aspirasi masyarakat yang diterima dalam
proses awal pembahasan RUU, maupun aspirasi masyarakat yang diserukan di luar
dewan seperti seruan Koalisi Masyarakat Sipil, Minggu (18 November), agar RUU
Kamnas direvisi total sebelum dibahas DPR. Koalisi meminta pembahasan RUU
ditunda sampai setelah Pemilihan Umum 2014. Sebab, materi RUU sarat muatan
rezim untuk mempertahankan kekuasaan. Dan, penulis sepakat dengan tuntutan
itu.
Waktu yang ada, sampai setelah
Pemilu 2014, bisa dimanfaatkan pemerintah untuk merombak RUU Kamnas dengan
mengacu pada paradigma bahwa RUU disusun dalam rangka menguatkan kepolisian
dalam pengelolaan kamnas, dan bukan untuk mengundang militer kembali masuk ke
ranah sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar