Menjaga sang
Induk Generasi
Nurul Inayah ; Mengurus
rumah tangga sekaligus dokter di instansi pemerintah
|
JAWA
POS, 21 Desember 2012
JIKA ingin meramal masa depan suatu bangsa, lihatlah kaum ibunya. Ibu
pancang negara. Bunyi ungkapan kuno ini sederhana, namun jelas sarat makna
dan tentu penting untuk kita renungkan bersama. Ibu adalah sekelompok wanita,
induk bagi anak-anaknya. Dari ibulah terlahir generasi. Dari buaian ibu pula seharusnya
terdidik generasi. Karena itu, ungkapan kuno di atas tidaklah berlebih,
bahkan relevan sepanjang zaman. Dari ibulah penerus negeri ini tergenerasi.
Generasi unggul terlahir dari ibu yang unggul.
Suatu negara yang memiliki cita-cita tinggi, tentu tinggi pula perhatiannya pada komunitas strategis ini. Negara yang demikian mestinya memiliki grand design untuk mencetak ibu berkualitas tinggi. Filosofi ini wajar dan bahkan seharusnya demikian. Lalu, bagaimana realitasnya di negeri ini? Dalam Pendidikan Pasar Di negeri ini, ibu dihargai baru sebatas seremoni, sekadar rutinitas di pengujung tahun. Itulah yang terjadi. Nasib kaum ibu bisa kita lihat sendiri. Andai Kartini masih hidup hingga kini, barangkali dia akan meneteskan air mata. Meratapi perjuangannya yang belum sepenuhnya berhasil. Kartini simbolisasi wanita cerdas, berani, sekaligus pendobrak kemandekan. Dia menuntut akses pendidikan yang mencerdaskan bagi kaumnya. "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama," [suratnya kepada Prof Anton dan Nyonya, 04 Oktober 1902]. Kartini sepenuhnya menyadari arti penting pendidikan bagi para ibu, puluhan tahun lalu. Hari ini, 67 tahun sudah kita merdeka, namun kebodohan tetap menyelimuti. Memang, bangku sekolah (termasuk bangku kuliah) saat ini tidak lagi didominasi kaum pria -bahkan sebagian didominasi kaum hawa. Tetapi, apakah tingginya jenjang pendidikan seorang wanita berkorelasi lurus dengan cita-cita pendidikan atas generasi-seperti yang dicita-citakan Kartini? Tidak. Pendidikan kini hampir sepenuhnya berwajah pasar. Kaum ibu disiapkan dan mempersiapkan diri survive di bursa pasar (kerja). Jujur harus kita akui kondisi ini. Investasi pendidikan untuk kaum ibu tak lebih dari sekadar orientasi mengais modal materi semata. Dengarlah pembicaraan Anda, tetangga, dan teman kerja Anda. Realitas itu benar adanya. Pendidikan kaum ibu dalam belenggu pasar perekonomian. Eksploitasi Gender Ekonomi Pasar bebas yang kini mengangkangi otoritas negeri ini membidik kaum ibu dengan sangat tajam. Wanita pendidik generasi ini adalah komoditas ekonomi yang cukup menjanjikan. Keelokan fisiknya, senyum manisnya, keuletan jarinya adalah tangible asset seorang wanita dalam meningkatkan daya tarik pasar. Dibukalah lowongan-lowongan kerja beraroma eksploitasi gender yang amat tajam. Berbagai varian profesi kini lebih memilih wanita. Tingginya angkatan kerja berjenis kelamin wanita di tengah impitan ekonomi memaksa kaum wanita menerima imbalan murah atas jerih payah mereka. Buruh-buruh pabrik yang bergaji rendah tak sedikit adalah wanita-kaum ibu ini. Rupiah yang mereka bawa pulang betul tak seberapa. Pergi pagi, pulang petang. Bocah-bocah kecil kehilangan inayah (perhatian, hangatnya uluran tangan) karena ditinggalkan, ditemani nenek, dititipkan di tetangga. Atau lebih trendi dan bergengsi ''disekolahkan dini'' di TPA (tempat penitipan anak). Fenomena yang akhir-akhir ini marak tumbuh bak jamur di musim hujan. Itulah nasib anak-anak kita -generasi masa depan- saat ini. Karir wanita di sektor publik sering kali ditantang aneka masalah. Kaum ibu sendiri bertambah masalah. Lahan yang menyempit, upah yang pelit memberi dorongan pula kepada kaum ibu melintas negara, merantau ke negara orang. Ancaman kekerasan tak lagi menakutkan. Itu hanya rutinitas pemberitaan. Toh, nyawa di tangan Tuhan. Mereka ke luar negeri juga bukan tanpa rida negara. Negara "mengizinkan", setidaknya membiarkan. Negara senang dan bahkan merasa punya peran besar. Para wanita bisa makan, mengirim uang pulang, dan menghasilkan devisa bagi negara. Lagi-lagi, dolar membuat negara salah tingkah. Pasar bebas mengorbankan kaum ibu beserta anaknya. Terus Diintip Maut Darah ibu terus mengalir menderas, melahirkan generasi tanpa standar kelayakan. Meroketnya biaya persalinan akibat kapitalisasi (etalase) pelayanan kesehatan menjadi ancaman bagi ibu saat melahirkan. Hamil, melahirkan berubah menjadi momen yang paling menakutkan dan kalau perlu dihindarkan. Apakah memang keadaan seperti ini yang dicita-citakan?! Betul, jampersal (jaminan persalinan normal) telah turun memberi bantuan. Namun, seperti kata guru saya, kalau diibaratkan, program ini sebatas pemadam kebakaran -peredam sementara. Angka kematian ibu (AKI) di negeri ini masih tinggi. Bukan hanya karena bea persalinan yang mahal, lalu ibu nekat "babaran" tanpa kontrol tenaga kesehatan. Pengetahuan ibu akan kehamilan sehat juga masih kurang. Begitu pula, kemiskinan dan stres sosial menambah beban berat bagi ibu selama masa kehamilan. Persoalannya begitu kompleks. Hari ibu tahun ini seharusnya melihat kembali konteks ibu sebagai induk lahirnya generasi. Bukan pemutar utama roda ekonomi, bukan pula pelaku politik praktis karena memang tak selalu berkorelasi. Grand design negeri ini yang menjerat wanita dalam dekapan kapitalisme global dan neoliberalisasi haruslah diakhiri. Jika tidak, ibu akan terseret dalam ranah yang makin jauh meninggalkan perannya sebagai wanita-meregenerasi bangsa. Mencipta manusia unggul penopang masa depan bangsa. Kita mencari dan menanti desain baru negeri ini dalam mencipta manusia unggul pendidik generasi (ibu). Wahai ibu, dalam buaianmu lah generasi ini tumbuh. Kalaulah sistem ini dibentuk begitu kejam sehingga memaksamu terjerat pada belenggu, aku yakin pembebasmu akan datang. Didiklah putra-putrimu dalam buaian kasih sayangmu. Itulah harapan, doa dalam tindakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar