Rabu, 05 Desember 2012

Menguatkan LPSK, Suatu Keharusan


Menguatkan LPSK, Suatu Keharusan
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM, 
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 04 Desember 2012


Hari Jumat, 30 November lalu, saya berada di Bogor, memenuhi undangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Setiap ada undangan dari LPSK, saya memang mengupayakan benar untuk hadir. 

Acara kemarin adalah untuk menyiapkan RUU perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), yang di antaranya menguatkan lagi keberadaan LPSK. Sejak lama saya berpendapat, merevitalisasi LPSK sangat penting untuk membantu pengungkapan kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crime). Kejahatan seperti korupsi, pelanggaran HAM, narkoba, teroris, pencucian uang, perdagangan manusia dan sejenisnya, adalah jenis kejahatan yang sulit untuk dibongkar. 

Pelakunya pintar merekayasa kejadian, sekaligus menyembunyikan bahkan menghilangkan alat bukti. Maka membongkar kejahatan terorganisasi demikian, tidak ada jalan lain, salah satunya hanya dengan memecah kongsi para pelaku itu sendiri. Atau, jikapun bukan pelaku yang membongkar sendiri kejahatan sindikat mereka, saksilah yang kemudian berbagi informasi kepada penegak hukum, sehingga suatu kejahatan sindikasi terungkap. 

Namun, mengingat praktik kejahatan terorganisir lazimnya dilakukan secara rapi, minim alat bukti, dan tersembunyi, maka tak heran jika keberadaan saksi menjadi sesuatu yang sangat langka.Yang hadir, dan mau berbagi informasi, biasanya saksi yang juga bertindak sebagai pelaku, yang biasa disebut saksi pelaku (justice collaborator).Itu adalah kondisi ideal. Tidak jarang, saksi pelaku tidak tersedia, yang ada hanyalah saksi pelapor (whistle blower). 

Untuk lebih meng-Indonesia,mudah dipahami masyarakat, saya tidak menyebutnya sebagai peniup peluit, tetapi sang ”pemukul kentungan”, yang mengirimkan alarm tanda bahaya. Saksi pelaku biasanya bernyanyi karena kesepakatan kongkalikong dengan para pelaku lainnya ada yang mengecewakan. Titik ini sebenarnya harus dimaksimalkan untuk menjadi entry point bagi lembaga penegak hukum, menjadikan sang pelaku yang bekerja sama selaku saksi kunci, yang dapat membantu pengungkapan kasus. 

Namun, fakta sering kali berbicara sebaliknya, sejarah mencatat justru sang pemukul kentungan ataupun pelaku bekerja sama yang menjadi sasaran tembak dengan berbagai senjata. Misalnya supercepatnya proses hukum balik yang melibatkan dirinya, pemberhentian dari pekerjaan, pengucilan dari lingkungan kerja, penurunan pangkat, pembunuhan karakter (character assassination), hingga ancaman fisik dan psikis. 

Kalaupun harus diproses secara hukum, strategi penyidikan dan penuntutan sebaiknya menempatkan pelaku yang bekerja sama sebagai pihak yang paling akhir diusut, setelah semua borok sindikat kejahatan berhasil diangkat. Bukan malah sebaliknya, pelaku yang bekerja sama justru diproses terlebih dahulu. Sehingga tak heran,pengungkapan kejahatan terorganisir sulit untuk tuntas, karena sang pelaku yang bekerja sama merasa terancam secara hukum, fisik dan psikis. 

Sampai sejauh ini, cerita sukses bagi pelaku yang bekerja sama masih sangat terbatas. Yang banyak justru adalah cerita gagal. Salah satu yang sering menjadi contoh gagal adalah Vincentius Amin Sutanto, yang memberikan informasi dugaan penggelapan pajak di suatu grup perusahaan. Tetapi yang bersangkutan justru dengan supercepat diproses dengan tindak pidana pencucian uang,dan divonis 11 tahun penjara. Itulah vonis money laundering terlama yang pernah ada hingga saat ini. 

LPSK sendiri sudah menetapkan perlindungan kepada yang bersangkutan, sebagai penguat bahwa dia adalah justice collaborator. Di antara sedikit cerita sukses adalah kasus yang menimpa Agus Condro.Dalam kasus dugaan korupsi pemilihan pejabat di BI, Agus dianggap sebagai pelaku yang bekerja sama. Dia mengakui dan mengembalikan uang suap Rp500 juta, lalu berbagi informasi detail kepada KPK tentang pelaku lainnya.

Peran Agus tentu sangat sentral dalam pengungkapan kasus suap pemilihan tersebut. Kepadanya karenanya, diberikan beberapa insentif mulai tuntutan dan vonis yang lebih ringan,hingga remisi dan pembebasan bersyarat. Sewaktu saya masih di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, kepada Menkumham Patrialis Akbar saat itu, kami mintakan agar Agus ditempatkan di lapas yang dekat dengan keluarganya di Jawa Tengah. 

Namun, cerita sukses pelaku yang bekerja sama seperti Agus masih langka.Tidak sedikit yang takut mengungkapkan kejahatan di mana dia terlibat, karena nyawa yang terancam dan hukuman berat yang menghadang. Pada titik itulah, peran LPSK menjadi sangat krusial.Pada titik itulah revitalisasi LPSK menjadi suatu keniscayaan.Maka di Bogor, Jumat lalu,untuk ke sekian kalinya saya menyampaikan pandangan dan dukungan saya untuk revisi UU PSK. 

Saat ini UU PSK hanya mengatur: seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Artinya, UU PSK hanya memberikan hak atau perlindungan bagi saksi yang berstatus tersangka berupa keringanan hukuman pidana, jika kasusnya diteruskan ke pengadilan.

Maknanya, perlindungan terhadap saksi masihlah berlaku secara terbatas. Ke depan, perbaikan regulasi terkait perlindungan saksi mutlak dilakukan agar pemberantasan kejahatan terorganisasi makin efektif. Di beberapa negara maju, perlindungan bagi pelaku yang bekerja sama bukan hanya dengan keringanan hukuman, namun hingga pembebasan dari sanksi pidana, jika informasi yang diberikannya terbukti kebenarannya. 

Lebih jauh, bukan hanya perlindungan dari sisi hukum, kepada pelaku yang bekerja sama mendapatkan perlindungan fisik, hingga kebutuhan mengganti seluruh identitas pribadinya, jika diperlukan. Untuk keperluan demikian, suatu lembaga perlindungan saksi yang kuat adalah keharusan. Maka LSPK yang kuat, sama pentingnya dengan KPK yang kuat dalam kasus korupsi. LPSK yang kuat, sama pentingnya dengan PPATK yang kuat dalam kasus pencucian uang. LPSK yang kuat, sama pentingnya dengan BNN yang kuat dalam kasus narkoba. 

LPSK yang kuat sama pentingnya dengan BNPT yang kuat dalam kasus terorisme, dan seterusnya. Karena itu, Jumat lalu saya mendukung agar di LPSK ada pejabat selevel eselon I untuk mengatur dukungan teknis dan administratif di lembaga tersebut. Bagi saya, seluruh komisi negara independen yang diatur UUD 1945 dan UU,mempunyai pejabat eselon I. Sebutlah beberapa di antaranya: KPU,KY, KPK, Komnas HAM dan Ombudsman. 

Maka jika LPSK yang juga diatur berdasarkan UU PSK tidak mempunyai pejabat eselon I, sangat mungkin efektivitas kerjanya menjadi terganggu. Meski tentu saja,keberadaan eselon I saja bukan jaminan bahwa kinerja LPSK akan lebih baik. Untuk menjamin kinerjanya makin efektif, LPSK perlu dikuatkan sifat kemandiriannya yang telah diatur di dalam UU PSK.Prinsip independensi lembaga penegak HAM dan komisi antikorupsi, yang telah saya tulis dalam kolom ”Novum” ini minggu lalu, tentu dapat juga dijadikan dasar penguatan independensi LPSK, tentu dengan penyesuaian kebutuhan LPSK. 

Akhirnya, kita harus bekerja keras agar tidak ada lagi serangan balik terhadap pihakpihak yang memiliki niat baik untuk mengungkap praktik kejahatan terorganisasi. Seharusnya tidak ada lagi whistle blower yang berubah menjadi ”whistle blunder”, yang justru menjadi pesakitan karena informasinya untuk membongkar praktik haram korupsi dan sejenisnya. Untuk Indonesia yang lebih bersih dari kejahatan terorganisasi, kita butuh di antaranya KPK yang kuat, PPATK, serta LPSK yang makin kuat. Keep on fighting for the better Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar