Kasmaran
Berilmu Pengetahuan
Iwan Pranoto ; Guru Besar ITB
|
KOMPAS,
14 Desember 2012
Sesudah perang dan
Belanda memegang kekuasaan, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang bernama
Kiai Song memilih mengasingkan diri di dekat Yogyakarta, sekarang dikenal
sebagai daerah Kasongan.
Dalam bukunya Surat Malam untuk Presiden, Acep Iwan
Saidi menulis tentang Kiai Song yang menetap dan mengajari para ibu cara
membuat gerabah. Gerakan belajar membuat gerabah tampak sebagai gerakan
”produktivitas” untuk bertahan hidup secara ekonomi dan politik.
Namun, sebenarnya kegiatan ini mengajarkan semangat
perlawanan dan keteguhan. Masyarakat yang semula sekadar belajar membuat
gerabah, meningkat menjadi belajar nilai dan sikap mulia manusia. Seperti
orang kasmaran, pembuatan gerabah kemudian melibatkan rasa takjub,
kesungguhan, dan gairah total. Tataran berkegiatan pembelajaran inilah yang
disebut kasmaran berilmu pengetahuan.
Semula produknya benda mati, kemudian menjadi
pengembangan diri dengan pencerahan pada nilai-nilai luhur manusia. Membuat
gerabah menjadi kegiatan yang mulia.
Bagaimana mereplikasikan gerakan kebudayaan Kiai Song
pada persekolahan saat ini? Bagaimana bentuk kurikulumnya?
Di sini terletak pentingnya memahami bahwa dalam
pendidikan ada tiga jenis kurikulum dengan tiga tataran berbeda: written,
taught, dan learned curriculum. Terjemahannya: kurikulum tertulis, kurikulum
yang diajarkan guru, dan kurikulum yang dipelajari siswa.
Dalam kasus Kiai Song, justru yang paling menentukan
pengembangan nilai-nilai luhur dan sikap mulia kemanusiaan, terletak pada dua
hal terakhir, yakni kurikulum yang diajarkan dan kurikulum yang dipelajari.
Sayang, justru di dua tataran itu pendidikan kita bermasalah.
Kurikulum tertulis adalah hal paling kecil dan
sederhana. Maka membenahi benda mati seperti dokumen kurikulum tertulis itu
adalah bagian paling mudah dalam kebijakan pendidikan. Memang kurikulum
nasional dan juga dokumen standar sekarang tidak sempurna. Namun,
ketidaksempurnaan ini bukan satu-satunya sumber masalah. Permasalahan
persekolahan kita adalah kegagalan mengangkat kegiatan belajar menulis
menjadi menulis untuk belajar (berpikir). Dari learning to write menjadi
writing to learn (and think).
Menulis untuk belajar adalah tanda kasmaran berbahasa.
Hal yang sama terjadi pada hampir semua mata pelajaran. Dalam Matematika
terjadi kegagalan mengangkat kegiatan belajar berhitung menjadi berhitung
untuk belajar sebagai tanda kasmaran bermatematika.
Analoginya dalam cerita Kiai Song ialah pendidikan saat
ini gagal karena masih berkutat di jenjang belajar membuat gerabah.
Persekolahan gagal mengangkat kegiatan membuat gerabah untuk belajar nilai
dan sikap-sikap luhur manusia.
Para peserta didik sekarang umumnya belum di jenjang
kasmaran berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan baru sekadar obyek yang
dipelajari, terlepas dari diri pemelajar. Siswa yang berfisika belum takjub
dan kasmaran terhadap rumus F>ma. Kebanyakan siswa belum mencapai jenjang
kasmaran terhadap rumus sederhana yang memodelkan pena jatuh sampai
pergerakan benda di angkasa itu.
Kebanyakan siswa belum kasmaran terhadap rumus
Bernoulli yang memungkinkan sayap sederhana berpenampang gemuk di tengah
dapat mengangkat pesawat dengan beban berton-ton. Ilmu pengetahuan masih
sekadar dikumpulkan, disimpan, dan ditumpahkan lagi saat ujian. Belum
mengubah jati diri pemelajar dalam berperilaku dan berpikir.
Betul bahwa semua harus mulai belajar menulis dulu
sebelum dapat menulis untuk belajar. Harus dapat membuat gerabah dulu sebelum
dapat memahami pembuatan gerabah untuk belajar sikap dan nilai-nilai luhur.
Para pengikut Kiai Song harus cakap membuat celengan dulu sebelum memaknai
nilai ”menahan hasrat” dari sebuah celengan.
Maka kurikulum yang baik harus merumuskan sebuah
rekacipta tahapan pembelajaran yang terstruktur jelas guna memungkinkan siswa
berkembang: dari proses menyerap pengetahuan dan keterampilan hingga
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan memekarkan sikap serta
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Oleh karena itu, para siswa yang mempelajari mata
pelajaran berdasarkan kurikulum baru harus berproses menjadi memahami mata
pelajaran itu untuk mengembangkan keterampilan yang relevan dengan zaman
sekarang. Misalnya mampu berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan ataupun
menyampaikan argumen secara runtun, tertata, dan meyakinkan orang lain.
Peserta didik juga perlu mengembangkan sikap-sikap
universal, seperti gigih, berpikir luwes, dan menghargai hak orang lain untuk
berbeda pendapat. Inilah jenjang kasmaran berilmu pengetahuan yang harus
direkacipta dalam kurikulum baru.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono tentang Empat Pilar
Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang akan
masuk kurikulum mendatang tentu sangat tepat. Hanya saja, permasalahannya
kembali pada kurikulum yang diajarkan dan kurikulum yang dipelajari, bukan
pada kurikulum tertulis.
Memasukkan atau menuliskan Empat Pilar Kebangsaan dalam
dokumen kurikulum itu mudah, tetapi tidak akan serta-merta gagasan itu subur
bermekaran di sanubari anak didik. Belajar matematika dan sains jika
dilaksanakan seperti pada kebanyakan persekolahan sekarang, mustahil akan
sampai pada tataran kasmaran berilmu pengetahuan. Hampir mustahil pula dengan
sistem persekolahan sekarang para siswa sanggup berkontemplasi dan menghayati
Empat Pilar Kebangsaan itu.
Di sini pentingnya peran guru. Keadaan anak didik yang
sampai tataran kasmaran berilmu pengetahuan hanya mungkin terwujud jika
gurunya sudah mengalami kasmaran berilmu pengetahuan. Tak mungkin guru dapat
menularkan kecintaan pada kegiatan bernalar jika dirinya belum piawai
bernalar serta belum menghargai proses bernalar.
Upaya membenahi dokumen kurikulum tanpa dibarengi
pembenahan pendidikan keguruan (pre-service)
dan program pengembangan profesi guru (in-service),
akan sia-sia memperbaiki pendidikan. Upaya merampingkan kurikulum untuk
meningkatkan kedalaman proses belajar siswa, belum tentu mencapai tujuan jika
taught and learned curriculum tidak
berubah.
Yang tak kalah penting ialah dua kurikulum terselubung
lain. Yang pertama buku. Kenyataannya, dokumen kurikulum lebih sedikit dibaca
dibanding buku. Banyak guru mengajar mengikuti buku semata. Perilaku tidak
ideal ini dapat dibenahi melalui pembuatan buku yang baik.
Buku pelajaran tak perlu tebal, tetapi harus dirancang
agar memicu siswa kasmaran berilmu pengetahuan. Paradigma pada kehidupan
sekarang bukan tahu banyak, melainkan berhasrat belajar. Penguasaan kumpulan
fakta dan prosedur memang masih dibutuhkan, tetapi buku harus fokus pada
pengetahuan esensial saja.
Kurikulum terselubung lainnya ialah Ujian Nasional.
Kurikulum sebaik apa pun jika kelulusannya masih dipengaruhi oleh UN seperti
sekarang, anak didik akan tetap belajar untuk ujian. Kurikulum tinggal
kurikulum karena guru dan bahkan birokrasi pendidikan diukur performanya
berdasarkan nilai UN.
Bukankah sudah jamak program kurikulum SMP dan SMA yang
seharusnya enam semester, diajarkan hanya dalam lima semester atau kurang.
Sisanya khusus untuk menghafal rumus cepat dan latihan soal UN. Pelanggaran
kolektif seperti ini dibarengi rendahnya mutu soal UN akan merusak itikad
baik yang mendasari perancangan kurikulum baru. Maka, berbarengan dengan
kurikulum baru, harus ada reposisi menyeluruh terhadap fungsi UN sebagai
pemetaan dan diagnostik semata.
Satu catatan akhir yang juga sangat penting adalah
penyerasian kembali ilmu pengetahuan alam dan ilmu kemanusiaan. Pemisahan
satu disiplin dengan disiplin lain sungguh tak sesuai.
Kebijakan penjurusan IPA- IPS-Bahasa di SMA harus
ditinjau ulang. Kehidupan modern ini membutuhkan lintas disiplin. Selain itu,
pendewaan IPA yang berlebihan seperti sekarang juga sangat merugikan upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional.
Semua disiplin dalam ilmu pengetahuan, teknologi,
rekayasa, seni, dan matematika perlu dikembangkan bersamaan. Semua disiplin
butuh siswa-siswa terbaik untuk mengembangkannya.
Jika hal-hal di atas diperhatikan, bukan mustahil dalam
12 tahun mendatang tiap pelajar di Republik Indonesia berhasrat mengembangkan
sikap dan nilai-nilai luhur kemanusiaan serta kasmaran berilmu pengetahuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar