Selasa, 11 Desember 2012

Juri, Festival, dan Piala


Juri, Festival, dan Piala
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
SINDO, 10 Desember 2012


Ungkapan baku bahwa “keputusan dewan juri tak bisa diganggu gugat” itu kedengarannya menakutkan dan final. Di sini yang namanya juri dengan sendirinya serbaterlindung, aman, dan punya sejenis kekebalan untuk “tak tersentuh”. 

Di mana-mana—dalam perkara penjurian apa pun—memang sudah begitu. Ini potret pendekatan yuridis-formal, dan otoritatif di dalam hidup yang begitu terbuka dan merdeka ini. “Pintu” harus tertutup atau dianggap tertutup. Tak boleh ada mata dan telinga yang turut melihat atau mendengarkan apa saja yang dianggap hanya merupakan hak istimewa juri. Sebenarnya posisi juri— siapa pun anggota-anggota dan ketuanya—rentan. 

Apa pun yang diputuskannya tak mungkin final karena apa yang dianggap final di mata juri—yang merupakan sebuah “dewan” itu—tak mungkin final pula di mata mereka yang bukan juri. Apalagi bila mereka memiliki kepentingan yang tak terakomodasi di dalam keputusan juri yang tak bisa diganggu gugat tadi. Kelompok yang memiliki kepentingan ini—apa pun kepentingan mereka—tak mungkin tinggal diam dan menerima begitu saja apa yang bagi mereka tidak adil. Dan patut dicatat di sini bahwa yang “tidak adil” itu selalu ada dan mudah dibikin ada. 

Keadilan yang Selalu Menjauh 

Di dunia yang seluas ini keadilan memang tak mungkin ditetapkan secara ad hoc atau sementara dan terbatas dengan menggunakan ukuranukuran yang hanya bisa diterima oleh suatu lingkungan atau kelompok yang terbatas pula. Dalam frame pemikiran seperti ini, tiap keputusan bisa diganggu-gugat. Dan itu baik, sehat, dan membuka cakrawala berpikir lebih luas tentang filsafat dan rasa keadilan yang didambakan manusia. 

Apalagi oleh manusia yang tidak puas sebelum aspirasi keadilannya terpenuhi. Mungkin di sini bisa dicatat, bila kepentingan pribadinya telah terpenuhi, sangat boleh jadi dia—atau mereka— tak akan peduli lagi apakah masih ada keadilan “tertinggi”(?) yang belum menjawab rasa keadilan pihak-pihak lain. Dan jika aspirasi keadilan “pihak-pihak lain” ini pun kemudian diakomodasi, sehingga makin terasa bahwa “pintu” keadilan telah dibuka lebar-lebar, siapa yang bakal menjamin bahwa protes atau tuntutan tak akan muncul lagi? 

Apakah dengan kata lain otomatis bisa disebutkan di sini bahwa dia—atau mereka—pada hakikatnya hanya berbicara mengenai kepentingan pribadi mereka? Dan jika kita dianggap terlalu cepat mengambil kesimpulan ini, bolehkah sebuah pertanyaan diajukan: jika mereka yang menjadi juri mengambil keputusan, dapatkah mereka memenuhi rasa keadilan umum, yang tak memungkinkan lagi datangnya protes atau keluhan pihak lain? 

Keadilan, yang jika didekati dengan suatu kerangka tertentu terasa dekat, faktual, dan seolah bisa diraba, dalam dinamika yang selalu berkembang lebih luas, itu menjengkelkan. Dia ibaratnya bergerak terus dan selalu menjauh dari kita. Sejak zaman dahulu—kenyataan praktisnya—keputusan juri selalu bisa diprotes meskipun sudah final. Juri tak pernah “terlindung”,tidak “kebal”, dan sebaiknya memang tak usah terlindung dan tak usah kebal.Dan siapa bilang tak tersentuh? 

Juri yang sudah memasang pagar baku dan kaku—sehingga terasa begitu tertutup dan seolah enggan berdialog—pun bisa dan mudah “ditusuk” dengan keluhan halus yang bernada persahabatan, mengapa Bung kok film saya tak terpilih? Apa ukuran Anda hingga penyutradaraan dan cerita yang demikian bagus di film saya tak masuk dalam kategori yang Anda tetapkan? Ini benar-benar lebih “menusuk” karena bila sebuah persahabatan masih juga memprotes, maka kita percaya atau tak usah curiga bahwa protesnya “valid” dan layak menjadi pelajaran. 

Bisa juga juri “ditembak” oleh orang yang marah dan kecewa. Lebih-lebih bila yang marah dan kecewa itu memang “orang besar” dan sangat “berwibawa” di dalam bidangnya. Tokoh-tokoh dunia film yang paling otoritatif di dalam aspek perfilman yang beragam itu—pengarah sinematografi, pemeran utama pria atau wanita, penulis skenario,penulis cerita asli, sutradara—bisa dengan mudah me-nonsens-kan keputusan juri yang mana pun dalam lomba atau festival film kapan pun. 

Nama beken, kewibawaan besar, yang sudah dianggap sebagai “ikon” dunia perfilman dengan mudah mencemooh tiap jenis keputusan juri. Dan itu sebaiknya diperbolehkan karena demi keadilan, yang bersangkutan juga akan membolehkan— terlepas dari wibawa dan kebesaran namanya— untuk dilecehkan orang lain pada saat dia menjadi juri dan mengambil suatu keputusan. 

Tanggung Jawab Etis dan Profesional 

Syahdan ada setidaknya enam orang senior yang sudah berpuluh-pluh tahun bergulat di dunia film dan ibarat kata sudah “khatam” membaca segenap ayat dalam dunia besar perfilman nasional kita. Para ahli perfilman ini juga dosen di bidang film yang mengasuh mata kuliah, yang menghasilkan insan-insan film juga. Mereka ini termasuk dalam 15 anggota juri. 

Di bawah usia mereka sejumlah orang muda, masih orang film juga dan ahli dalam berbagi segi yang berbeda, yang melengkapi namanama juri tadi. Ada juga orang teater. Hanya saya dan Prof Musdah Mulia yang sama sekali bukan orang film. Saya bahkan ditetapkan sebagai ketua dewan juri, dengan sedikit paksaan, seperti kita memilih ketua RT. Alasan mereka, saya disebut budayawan dan memiliki latar belakang pendidikan antropologi yang bakal bagus buat melengkapi cara juri “membaca” film demi film dengan perspektif lebih luas dari sekedar perspektif orang film itu sendiri. 

Prof Musdah Mulia seorang pluralis dan merupakan salah satu “ikon” penting di dalam kajian gender dalam Islam. Kurang lebih, begitulah komposisi dewan juri. Tugas ketua, dalam konteks keahlian yang beragam itu,lebih bersifat “administratif” dan menjaga agar rapat yang sering tegang bisa selalu berakhir dengan baik tanpa melupakan kreativitas yang diidealkan. Dewan juri mengembangkan etika yang dipegang teguh bersama dan menjaga profesionalitas agar pilihan bersama bukan tanda kemalasan berpikir serius untuk bisa adil dan profesional. 

Kita berusaha bertanggung jawab secara etis maupun profesional seperti disebut di atas untuk menegaskan bahwa ini bukan sebuah arisan untuk membagi-bagi piala. Kami tidak menodai atau melecehkan keluhuran piala dan gengsi yang menempel pada pribadi-pribadi yang menerimanya. Ini bukti bahwa kami bukan “tak tersentuh” meskipun keputusan adalah keputusan. 

Suatu diskusi ilmiah dan hangat mengenai film, pascafestival ini, sebaiknya diadakan. Forum pertanggungjawaban publik ini penting agar publik tahu, piala dianugerahkan dalam festival, dengan kehormatan, bagi mereka yang memang terhormat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar