Selasa, 18 Desember 2012

Insider-Outsider


Insider-Outsider
Iman Sugema ;  Ekonom
REPUBLIKA, 17 Desember 2012


Dalam khazanah ilmu ekonomi ketenagakerjaan, ada sebuah teori yang menerangkan terjadinya benturan kepentingan antara pekerja dan penganggur, yaitu yang disebut sebagai insider-outsider. Teori ini dapat menerangkan peran penting gerakan serikat buruh dalam melambungkan upah minimum.

Sebagaimana kita sudah mafhum, serikat buruh di berbagai wilayah tampak semakin berhasil dalam menekan pemerintah daerah untuk menaikkan upah minimum dengan skala yang cukup fenomenal, yaitu sekitar 30 persen. Tentu saja, hal ini membuat para pengusaha menjerit karena harus menanggung beban ongkos produksi yang semakin membubung.

Saat ini, kita harus membuat pemahaman baru mengenai gerakan kaum buruh. Kita tidak lagi bisa memandang mereka sebagai kekuatan pinggiran seperti dilaku kan selama ini. Kita tidak pernah memandang Kemen terian Tenaga Kerja dan Trans migrasi sebagai salah satu pilar yang menjamin maju tidaknya pembangunan ekonomi. Bahkan, hampir semua presiden yang pernah berkuasa di republik ini mengangkat menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara asal-asalan. Pada masa yang akan datang, hal seperti itu tidak bisa dibiarkan terulang kembali.

Barangkali, teori insider-outsiderd apat membantu pemahaman kita. Teori tersebut sejatinya membahas perbedaan kepentingan antara pekerja yang sudah bekerja di perusahaan (insider) dan para penganggur yang sedang mencari pekerjaan (outsider). Kepentingan insideradalah kepastian untuk tetap bekerja di perusahaan dengan tingkat upah yang semakin membaik. Di lain pihak, kepentingan outsider adalah secepatnya mendapatkan pekerjaan walaupun harus menerima tingkat upah yang lebih rendah. Ini merupakan ancaman bagi para insider sehingga mereka harus mempunyai mekanisme pertahanan yang kuat. Salah satu manifestasinya adalah menguatnya mekanisme pertahanan kolektif melalui serikat buruh.

Dalam konteks Indonesia yang tidak selamanya konsisten dengan teori tersebut, ada beberapa "bumbu cerita" yang harus ditambahkan untuk bisa menerangkan kenaikan upah minimum secara drastis. Bumbu yang pertama adalah lemahnya outsider dalam mengorganisasikan diri sehingga tidak ada perimbangan kekuatan antara kedua kelompok ini. Pernahkah Anda mendengar ada organisasi serikat penganggur? Kita pun hampir tidak pernah menemukan adanya media massa yang secara konsisten ikut menyuarakan kepentingan para penganggur dalam konteks penetapan upah.

Bumbu yang kedua, yaitu adanya common denominator dalam setiap aksi demonstrasi yang melibatkan ratusan organisasi buruh yang berbeda. Berbagai demonstrasi besar, terutama di ibu kota provinsi, hampir selalu melibatkan banyak organisasi buruh. Walaupun organisasinya berbeda, suaranya tetap sama, yaitu perbaikan taraf hidup. Kesamaan kepentinganlah yang membuat mereka terkonsolidasi.

Bumbu yang ketiga adalah mahalnya ongkos pemilihan kepala daerah. Ongkos ini dapat dipotong, salah satunya dengan memberi janji kenaikan upah minimum kalau sang calon kepala daerah terpilih. Strategi ini hanya berhasil jika memang organisasi buruh benar-benar mengerahkan suara di tingkat yang terbawah secara signifikan. Artinya, peluang keberhasilannya akan cenderung lebih besar untuk daerah yang serikat buruhnya terkonsolidasi secara kuat. Strategi ini juga cenderung lebih berhasil jika kandidat dapat dipegang janjinya setelah terpilih. Kredibilitas kandidat turut menentukan. Jangan harap bahwa orang yang biasa mengumbar janji kosong akan dipercaya oleh para buruh.

Bumbu keempat adalah bangkitnya pengusaha baru yang mengandalkan koneksi politik untuk memperoleh fasilitas. Ini tentu berlaku bagi petahana yang suka memotong anggaran proyek untuk membiayai kampanye. Pengusaha dadakan seperti ini memang mampu memberikan kontribusi uang yang lebih besar.  Di lain pihak, mereka tidak memiliki basis massa buruh yang kuat. Pengusaha tulen yang memiliki ribuan buruh pada saat yang sama tidak bisa secara royal memberi sumbangan dana kampanye. Maklum, margin mereka kerap kali sangat mepet.

Akibatnya, posisi politik pengusaha tulen seperti ini semakin terpinggirkan. Daya tawar pengusaha disederhanakan sebagai seberapa besar kontribusinya terhadap politikus. Memang, sekarang ini posisi pengusaha terjepit. Kalau terlalu royal menyumbang, pasti posisi keuangan menjadi babak belur dan sebaliknya, kalau kurang menyumbang maka suaranya tak pernah didengar penguasa.

Bumbu yang kelima adalah ketiadaan common interest antara pemerintah pusat dan daerah. Di sinilah tentunya peran seorang pemimpin nasional untuk memberikan pemahaman bahwa kita semua berlayar dalam satu perahu di perairan nusantara. Akibat ketiadaan ini, pemerintah daerah saling berlomba menelurkan kebijakan yang populis. Toh, yang paling penting adalah elektabilitas yang merupakan fungsi dari popularitas. Kombinasi dari berbagai hal tersebut telah membuat posisi serikat buruh semakin kuat. Itu dimanfaatkan secara baik oleh para aktivis buruh dalam tawar-menawar upah minimum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar