Insider-Outsider
Iman Sugema ; Ekonom
|
REPUBLIKA,
17 Desember 2012
Dalam khazanah ilmu ekonomi
ketenagakerjaan, ada sebuah teori yang menerangkan terjadinya benturan
kepentingan antara pekerja dan penganggur, yaitu yang disebut sebagai insider-outsider. Teori ini dapat
menerangkan peran penting gerakan serikat buruh dalam melambungkan upah
minimum.
Sebagaimana kita sudah mafhum,
serikat buruh di berbagai wilayah tampak semakin berhasil dalam menekan
pemerintah daerah untuk menaikkan upah minimum dengan skala yang cukup
fenomenal, yaitu sekitar 30 persen. Tentu saja, hal ini membuat para
pengusaha menjerit karena harus menanggung beban ongkos produksi yang semakin
membubung.
Saat ini, kita harus membuat pemahaman baru mengenai gerakan kaum buruh. Kita tidak lagi bisa memandang mereka sebagai kekuatan pinggiran seperti dilaku kan selama ini. Kita tidak pernah memandang Kemen terian Tenaga Kerja dan Trans migrasi sebagai salah satu pilar yang menjamin maju tidaknya pembangunan ekonomi. Bahkan, hampir semua presiden yang pernah berkuasa di republik ini mengangkat menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara asal-asalan. Pada masa yang akan datang, hal seperti itu tidak bisa dibiarkan terulang kembali.
Barangkali, teori insider-outsiderd apat membantu pemahaman
kita. Teori tersebut sejatinya membahas perbedaan kepentingan antara pekerja
yang sudah bekerja di perusahaan (insider) dan para penganggur yang sedang
mencari pekerjaan (outsider). Kepentingan insideradalah kepastian untuk tetap
bekerja di perusahaan dengan tingkat upah yang semakin membaik. Di lain pihak,
kepentingan outsider adalah secepatnya mendapatkan pekerjaan walaupun harus
menerima tingkat upah yang lebih rendah. Ini merupakan ancaman bagi para insider
sehingga mereka harus mempunyai mekanisme pertahanan yang kuat. Salah satu
manifestasinya adalah menguatnya mekanisme pertahanan kolektif melalui
serikat buruh.
Dalam konteks Indonesia yang tidak selamanya konsisten dengan
teori tersebut, ada beberapa "bumbu cerita" yang harus ditambahkan
untuk bisa menerangkan kenaikan upah minimum secara drastis. Bumbu yang pertama
adalah lemahnya outsider dalam mengorganisasikan diri sehingga tidak ada
perimbangan kekuatan antara kedua kelompok ini. Pernahkah Anda mendengar ada
organisasi serikat penganggur? Kita pun hampir tidak pernah menemukan adanya
media massa yang secara konsisten ikut menyuarakan kepentingan para
penganggur dalam konteks penetapan upah.
Bumbu yang kedua, yaitu adanya common denominator dalam setiap aksi demonstrasi yang melibatkan
ratusan organisasi buruh yang berbeda. Berbagai demonstrasi besar, terutama
di ibu kota provinsi, hampir selalu melibatkan banyak organisasi buruh. Walaupun
organisasinya berbeda, suaranya tetap sama, yaitu perbaikan taraf hidup. Kesamaan
kepentinganlah yang membuat mereka terkonsolidasi.
Bumbu yang ketiga adalah mahalnya ongkos pemilihan kepala
daerah. Ongkos ini dapat dipotong, salah satunya dengan memberi janji kenaikan
upah minimum kalau sang calon kepala daerah terpilih. Strategi ini hanya
berhasil jika memang organisasi buruh benar-benar mengerahkan suara di
tingkat yang terbawah secara signifikan. Artinya, peluang keberhasilannya
akan cenderung lebih besar untuk daerah yang serikat buruhnya terkonsolidasi
secara kuat. Strategi ini juga
cenderung lebih berhasil jika kandidat dapat dipegang janjinya setelah
terpilih. Kredibilitas kandidat turut menentukan. Jangan harap bahwa orang
yang biasa mengumbar janji kosong akan dipercaya oleh para buruh.
Bumbu keempat adalah bangkitnya pengusaha baru yang
mengandalkan koneksi politik untuk memperoleh fasilitas. Ini tentu berlaku
bagi petahana yang suka memotong anggaran proyek untuk membiayai kampanye.
Pengusaha dadakan seperti ini memang mampu memberikan kontribusi uang yang
lebih besar. Di lain pihak,
mereka tidak memiliki basis massa buruh yang kuat. Pengusaha tulen yang
memiliki ribuan buruh pada saat yang sama tidak bisa secara royal memberi
sumbangan dana kampanye. Maklum, margin mereka kerap kali sangat mepet.
Akibatnya, posisi politik pengusaha tulen seperti ini
semakin terpinggirkan. Daya tawar pengusaha disederhanakan sebagai seberapa
besar kontribusinya terhadap politikus. Memang, sekarang ini posisi pengusaha
terjepit. Kalau terlalu royal menyumbang, pasti posisi keuangan menjadi babak
belur dan sebaliknya, kalau kurang menyumbang maka suaranya tak pernah
didengar penguasa.
Bumbu yang kelima adalah ketiadaan common interest antara pemerintah pusat dan daerah. Di sinilah
tentunya peran seorang pemimpin nasional untuk memberikan pemahaman bahwa
kita semua berlayar dalam satu perahu di perairan nusantara. Akibat ketiadaan
ini, pemerintah daerah saling berlomba menelurkan kebijakan yang populis. Toh,
yang paling penting adalah elektabilitas yang merupakan fungsi dari
popularitas. Kombinasi dari
berbagai hal tersebut telah membuat posisi serikat buruh semakin kuat. Itu
dimanfaatkan secara baik oleh para aktivis buruh dalam tawar-menawar upah
minimum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar