Efek
Pembubaran BP Migas
Eddy Purwanto ; Deputi
BP Migas 2002-2009
|
REPUBLIKA,
19 Desember 2012
Keputusan MK untuk memakzulkan UU
Migas No 22 Tahun 2001 dan membubarkan BP Migas sedikit banyak telah
mencoreng wajah DPR dan pemerintah pada masa lalu yang telah menggodok dan
mengesahkan UU Migas tersebut. Seperti dimaklumi pemerintah dan DPR dibantu
akademisi dan pakar hukum, butuh waktu lebih dari tiga tahun untuk
menyempurnakan UU Migas tersebut hingga akhirnya semua fraksi di DPR setuju
meratifikasi UU Migas No 22 (kecuali satu fraksi yang menyatakan keberatan,
yaitu partai yang berbasis agama Kristen).
Walaupun sah-sah saja, cukup mengejutkan
bila 10 tahun kemudian MK memutuskan bahwa BP Migas tidak konstitusional
sehingga harus dibubarkan. Hakiki konstitusionalitas ternyata bisa berubah
dalam waktu yang begitu singkat.
Kita maklum keputusan MK bersifat final sehingga harus dihormati dan
dilaksanakan. Keputusan politik ke depan sepenuhnya kita percayakan kepada
pemerintah dan para wakil rakyat di DPR untuk segera merampungkan revisi UU
Migas sekaligus menetapkan badan yang terbaik sebagai pengganti BP Migas agar
kelak tidak lagi menjadi target `jihad konstitusi' bagi pemangku kepentingan
tertentu pada masa depan.
Perlu
Asing
Kontrak Kerja Sama (KKS) tidak dibuat
oleh BP Migas, tetapi oleh pemerintah berdasarkan amanat UU Migas. Dalam
pelaksanaannya, BP Migas bertandatangan mewakili pemerintah. Sejak awal,
keberadaan KKS hanyalah satu pilihan sementara, kelak setelah negara memiliki
kemampuan dana dan teknologi maka negara harus memilih kebijakan untuk
melakukan pengelolaan secara langsung dan mandiri. Pertanyaannya, kapan
negara dianggap mampu, tentu pemerintah dan DPR yang dapat menjawab, bukan
MK.
Sebagai ilustrasi untuk mengukur
kemampuan negara, berikut ini fakta statistik kegiatan eksplorasi khusus di
wilayah Indonesia timur, utamanya di daerah frontier Papua dan laut dalam
Selat Makassar. Sejak 2009, telah diselesaikan pengeboran eksplorasi 21
sumur, biaya yang telah dikeluarkan kontraktor hampir dua miliar dolar AS.
Namun, sayang, kegiatan eksplorasi tersebut ti dak menemukan cadangan migas
yang ekonomis, sesuai KKS seluruh kerugian tersebut menjadi risiko
kontraktor.
Seandainya kerugian hampir dua
miliar dolar AS tersebut harus di tanggung oleh negara atau perusahaan negara
maka cita-cita `untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat' seperti yang
diamanatkan MK akan semakin jauh dari kenyataan. Rakyat membutuhkan migas
sekarang, tidak mungkin menunggu sampai negara dan perusahaan negara benar-benar
mampu memikul pendanaan, teknologi, dan risiko sehingga siap mendepak
investor asing untuk menghapus stigma pro-asing.
UU Migas sangat erat terkait dengan
tata kelola usaha hulu migas yang berisiko tinggi dan membutuhkan investasi
besar. Wajar bila sangat sensitif terhadap kepastian hukum dan kepastian
usaha. Belajar dari pengalaman pergantian UU Nomor 8/1971 oleh UU Nomor
22/2001 terbukti dampaknya sangat signifikan, yaitu turunnya investasi untuk
kegiatan eksplorasi. Sebagai contoh, dalam wilayah kerja produksi, pada
1998 porsi eksplorasi masih senilai 1,519 juta dolar AS atau 31 persen dari
total ekspenditur migas. Namun, selepas krisis ekonomi, terjadi
perubahan UU Migas maka porsi eks plorasi pada 2002 anjlok tinggal 190 juta
dolar AS atau empat persen dari total ekspenditur migas. Penurunan eksplorasi
ini berlanjut hingga lima tahun, dampaknya terhadap cadangan dan produksi
migas nasional masih terasa.
Penggantian UU Migas dan pembubaran
BP Migas di tengah kondisi ekonomi global, khususnya AS dan Eropa yang belum
pulih, dikhawatirkan akan berdampak serupa. Porsi eksplorasi yang sudah
lumayan meningkat akan kembali turun secara drastis di mana International Oil Company (IOC) akan
lebih konsentrasi pada aktivitas produksi untuk menguras cadangan migas yang
tersisa di Indonesia dan mengalihkan portofolio eksplorasi ke negara lain.
Banyak suara untuk mengembalikan
kewenangan BP Migas kepada Pertamina.
Alasannya, Pertamina adalah entitas nasional yang bisa duduk sejajar dengan investor, utamanya asing, sehingga kedaulatan negara tetap terjaga. Namun, Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah menegaskan keberatannya bila Pertamina kembali dibebani tugas regulasi hulu migas. Sikap Pertamina ini didukung oleh pemerintah, khususnya menteri BUMN.
Kita patut mengapresiasi
pernyataan Dirut Pertamina, kebijakan ini sangat strategis dan taktis untuk
menangkal intervensi para pemburu rente politik dan ekonomi, seperti yang
pernah dialami Pertamina pada masa-masa sebelum UU Migas No 22/2001, serta
mencegah terulangnya praktik oligarki penguasaan sumber daya, seperti pada
zaman Orde Baru.
Pertamina tampaknya bertekad untuk
mengembangkan bisnis di dalam dan luar negeri dengan memancang target harus
menjadi perusahaan kelas regional pada 2014 dengan produksi minyak 200 ribu
barel per hari. Walaupun dinilai ambisius, seluruh pemangku kebijakan patut
mendukung Pertamina dengan tidak memaksakan mengambil alih tugas BP Migas.
Tidak ada satu pun National Oil Company
(NOC) mampu berkibar di dunia tanpa bantuan nyata dari negara.
Lembaga
Pengganti
Ada banyak model badan pengganti
BP Migas yang bisa diacu dari negara lain. Memang, tidak harus kembali ke
Pertamina dan tidak harus dari nol. Badan yang ditugasi UU Migas baru
dapat memanfaatkan sumber daya eks BP Migas. Apabila harus berbentuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan diwajibkan menguasai aset maka badan itu tidak
harus terlibat langsung dalam kegiatan operasional migas di lapangan. Badan
usaha tersebut berhak menguasai portofolio aset dalam bentuk saham atau participating interest di semua blok
migas di Indonesia dan luar negeri. Badan baru tersebut juga seyogianya
di beri kewenangan untuk mengelola dana perminyakan yang disisihkan dari
penerimaan migas.
Putusan MK harus menjadi momentum
bagi pemerintah untuk tidak setengah hati membesarkan badan usaha yang
ditunjuk UU Migas baru. Upaya tersebut pasti sangat berat, terutama pada saat
postur APBN masih defisit. Namun, selama negara tidak memiliki program
untuk mendekati kondisi kondisi di atas, dikhawatirkan putusan MK tidak akan
menjadi berkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar