Kamis, 20 Desember 2012

Efek Pembubaran BP Migas


Efek Pembubaran BP Migas
Eddy Purwanto ;  Deputi BP Migas 2002-2009
REPUBLIKA, 19 Desember 2012



Keputusan MK untuk memakzulkan UU Migas No 22 Tahun 2001 dan membubarkan BP Migas sedikit banyak telah mencoreng wajah DPR dan pemerintah pada masa lalu yang telah menggodok dan mengesahkan UU Migas tersebut. Seperti dimaklumi pemerintah dan DPR dibantu akademisi dan pakar hukum, butuh waktu lebih dari tiga tahun untuk menyempurnakan UU Migas tersebut hingga akhirnya semua fraksi di DPR setuju meratifikasi UU Migas No 22 (kecuali satu fraksi yang menyatakan keberatan, yaitu partai yang berbasis agama Kristen). 

Walaupun sah-sah saja, cukup mengejutkan bila 10 tahun kemudian MK memutuskan bahwa BP Migas tidak konstitusional sehingga harus dibubarkan. Hakiki konstitusionalitas ternyata bisa berubah dalam waktu yang begitu singkat.

Kita maklum keputusan MK bersifat final sehingga harus dihormati dan dilaksanakan. Keputusan politik ke depan sepenuhnya kita percayakan kepada pemerintah dan para wakil rakyat di DPR untuk segera merampungkan revisi UU Migas sekaligus menetapkan badan yang terbaik sebagai pengganti BP Migas agar kelak tidak lagi menjadi target `jihad konstitusi' bagi pemangku kepentingan tertentu pada masa depan. 

Perlu Asing

Kontrak Kerja Sama (KKS) tidak dibuat oleh BP Migas, tetapi oleh pemerintah berdasarkan amanat UU Migas. Dalam pelaksanaannya, BP Migas bertandatangan mewakili pemerintah. Sejak awal, keberadaan KKS hanyalah satu pilihan sementara, kelak setelah negara memiliki kemampuan dana dan teknologi maka negara harus memilih kebijakan untuk melakukan pengelolaan secara langsung dan mandiri. Pertanyaannya, kapan negara dianggap mampu, tentu pemerintah dan DPR yang dapat menjawab, bukan MK. 

Sebagai ilustrasi untuk mengukur kemampuan negara, berikut ini fakta statistik kegiatan eksplorasi khusus di wilayah Indonesia timur, utamanya di daerah frontier Papua dan laut dalam Selat Makassar. Sejak 2009, telah diselesaikan pengeboran eksplorasi 21 sumur, biaya yang telah dikeluarkan kontraktor hampir dua miliar dolar AS. Namun, sayang, kegiatan eksplorasi tersebut ti dak menemukan cadangan migas yang ekonomis, sesuai KKS seluruh kerugian tersebut menjadi risiko kontraktor. 

Seandainya kerugian hampir dua miliar dolar AS tersebut harus di tanggung oleh negara atau perusahaan negara maka cita-cita `untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat' seperti yang diamanatkan MK akan semakin jauh dari kenyataan. Rakyat membutuhkan migas sekarang, tidak mungkin menunggu sampai negara dan perusahaan negara benar-benar mampu memikul pendanaan, teknologi, dan risiko sehingga siap mendepak investor asing untuk menghapus stigma pro-asing.

UU Migas sangat erat terkait dengan tata kelola usaha hulu migas yang berisiko tinggi dan membutuhkan investasi besar. Wajar bila sangat sensitif terhadap kepastian hukum dan kepastian usaha. Belajar dari pengalaman pergantian UU Nomor 8/1971 oleh UU Nomor 22/2001 terbukti dampaknya sangat signifikan, yaitu turunnya investasi untuk kegiatan eksplorasi. Sebagai contoh, dalam wilayah kerja produksi, pada 1998 porsi eksplorasi masih senilai 1,519 juta dolar AS atau 31 persen dari total ekspenditur migas. Namun, selepas krisis ekonomi, terjadi perubahan UU Migas maka porsi eks plorasi pada 2002 anjlok tinggal 190 juta dolar AS atau empat persen dari total ekspenditur migas. Penurunan eksplorasi ini berlanjut hingga lima tahun, dampaknya terhadap cadangan dan produksi migas nasional masih terasa. 

Penggantian UU Migas dan pembubaran BP Migas di tengah kondisi ekonomi global, khususnya AS dan Eropa yang belum pulih, dikhawatirkan akan berdampak serupa. Porsi eksplorasi yang sudah lumayan meningkat akan kembali turun secara drastis di mana International Oil Company (IOC) akan lebih konsentrasi pada aktivitas produksi untuk menguras cadangan migas yang tersisa di Indonesia dan mengalihkan portofolio eksplorasi ke negara lain.

Banyak suara untuk mengembalikan kewenangan BP Migas kepada Pertamina.
Alasannya, Pertamina adalah entitas nasional yang bisa duduk sejajar dengan investor, utamanya asing, sehingga kedaulatan negara tetap terjaga. Namun, Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah menegaskan keberatannya bila Pertamina kembali dibebani tugas regulasi hulu migas. Sikap Pertamina ini didukung oleh pemerintah, khususnya menteri BUMN.

Kita patut mengapresiasi pernyataan Dirut Pertamina, kebijakan ini sangat strategis dan taktis untuk menangkal intervensi para pemburu rente politik dan ekonomi, seperti yang pernah dialami Pertamina pada masa-masa sebelum UU Migas No 22/2001, serta mencegah terulangnya praktik oligarki penguasaan sumber daya, seperti pada zaman Orde Baru. 

Pertamina tampaknya bertekad untuk mengembangkan bisnis di dalam dan luar negeri dengan memancang target harus menjadi perusahaan kelas regional pada 2014 dengan produksi minyak 200 ribu barel per hari. Walaupun dinilai ambisius, seluruh pemangku kebijakan patut mendukung Pertamina dengan tidak memaksakan mengambil alih tugas BP Migas. Tidak ada satu pun National Oil Company (NOC) mampu berkibar di dunia tanpa bantuan nyata dari negara.

Lembaga Pengganti

Ada banyak model badan pengganti BP Migas yang bisa diacu dari negara lain. Memang, tidak harus kembali ke Pertamina dan tidak harus dari nol. Badan yang ditugasi UU Migas baru dapat memanfaatkan sumber daya eks BP Migas. Apabila harus berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan diwajibkan menguasai aset maka badan itu tidak harus terlibat langsung dalam kegiatan operasional migas di lapangan. Badan usaha tersebut berhak menguasai portofolio aset dalam bentuk saham atau participating interest di semua blok migas di Indonesia dan luar negeri. Badan baru tersebut juga seyogianya di beri kewenangan untuk mengelola dana perminyakan yang disisihkan dari penerimaan migas. 

Putusan MK harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk tidak setengah hati membesarkan badan usaha yang ditunjuk UU Migas baru. Upaya tersebut pasti sangat berat, terutama pada saat postur APBN masih defisit. Namun, selama negara tidak memiliki program untuk mendekati kondisi kondisi di atas, dikhawatirkan putusan MK tidak akan menjadi berkah. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar