Rabu, 19 Desember 2012

Bola Liar Subsidi BBM


Laporan Akhir Tahun Bidang Energi
Bola Liar Subsidi BBM
KOMPAS, 19 Desember 2012



Pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia ibarat bola liar yang sulit diramal ke mana arahnya. Tahun ini harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang mengacu pada harga di pasar internasional, sempat menyentuh 120 dollar AS per barrel seiring dengan ketegangan politik di Timur Tengah dan krisis di Eropa.
Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) makin terbebani besaran subsidi yang tiap tahun meningkat. Sebagai catatan, subsidi pada APBN 2013 sebesar Rp 317,2 triliun, naik 29,4 persen dari Rp 245,1 triliun di dalam APBN Perubahan 2012. Subsidi energi Rp 274,7 triliun merupakan komponen subsidi. Dari jumlah itu, subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 193,8 triliun.
Peningkatan besaran subsidi itu juga dipicu pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi. Sebagai catatan, sepanjang tahun ini, dua kali pemerintah meminta tambahan kuota BBM bersubsidi. Kuota ditetapkan 40 juta kiloliter (kl) dalam APBN 2012 kemudian ditambah 4,04 juta kl dalam APBN Perubahan 2012. Pada pengujung tahun, pemerintah kembali minta tambahan kuota 1,23 juta kl.
Lonjakan konsumsi BBM bersubsidi itu sebagai konsekuensi atas pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Tanah Air. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, realisasi penjualan mobil periode Januari-Oktober 2012 mencapai 923.132 unit. Sampai akhir tahun ini, penjualan mobil diproyeksikan menembus angka 1,05 juta unit, melebihi perkiraan awal 940.000 unit.
Apalagi, perbedaan harga antara BBM bersubsidi dan produk BBM nonsubsidi masih tinggi. Pada September-Oktober, perbedaan harganya mencapai Rp 5.400 per liter. Hal ini menyebabkan kendaraan pribadi masih menggunakan Premium dan memicu maraknya praktik penyelundupan serta penimbunan BBM bersubsidi.
Sementara program pelarangan pemakaian BBM bersubsidi bagi mobil dinas pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta badan usaha milik negara tidak sepenuhnya berhasil. Alih-alih menghemat subsidi BBM, yang terjadi adalah anggaran operasional di sejumlah daerah melonjak lantaran semua kendaraan dinas harus memakai BBM nonsubsidi yang jauh lebih mahal.
Program pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan operasional perusahaan pertambangan dan perkebunan pun menuai penolakan. Walhasil, kebijakan itu hanya diterapkan pada perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan milik negara, yang tidak berdampak signifikan pada penghematan BBM.
Pengetatan kuota di beberapa daerah pun mendapat reaksi negatif dan menimbulkan kepanikan masyarakat sehingga terjadi pembelian BBM bersubsidi secara berlebihan. Pengendalian pasokan BBM bersubsidi pun dibatalkan setelah terjadi kelangkaan ketersediaan BBM bersubsidi di sejumlah tempat.
Tidak Tegas
Membengkaknya konsumsi BBM bersubsidi itu merupakan buah yang harus dipetik atas ketidaktegasan pemerintah terkait dengan kebijakan subsidi energi. Sejauh ini belum ada tindakan konkret dari pemerintah untuk menurunkan beban subsidi, baik melalui kenaikan harga BBM bersubsidi maupun pengendalian tingkat konsumsinya.
Niat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tahun 2011 tak kunjung diambil meski harga minyak mentah terus naik. Bahkan dalam Undang-Undang APBN 2012, kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tidak diatur. Hanya ada rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi.
Saat harga minyak mentah terus naik melampaui asumsi ICP dalam APBN 2012, pemerintah kelabakan mengantisipasi beban subsidi energi yang makin berat dan akhirnya mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, rencana itu gagal karena tidak didukungi DPR dan memicu gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah.
Pemerintah baru boleh menaikkan harga BBM bersubsidi jika harga ICP dalam 6 bulan terakhir 15 persen di atas asumsi ICP sebesar 105 dollar AS per barrel dalam APBN-P 2012. Penundaan kenaikan harga BBM itu mengakibatkan pembengkakan subsidi Rp 5 triliun per bulan.
Sementara rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi bagi mobil pribadi pun tak jelas realisasinya. Pemerintah berdalih, jika pembatasan itu dilaksanakan, dibutuhkan pengawasan ekstra ketat di setiap stasiun pengisian bahan bakar untuk umum dengan dana amat besar, berpotensi menimbulkan konflik sosial, dan rawan terjadi penyelewengan dalam distribusi.
Maka, sejauh ini tidak ada terobosan nyata dari pemerintah untuk menekan subsidi BBM bersubsidi tahun ini. Tahun depan, konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan 48 juta kl. Padahal, sejumlah analis menyatakan, sekitar 80 persen dari penyaluran subsidi itu tidak tepat sasaran. Lebih banyak dinikmati para pemilik kendaraan pribadi.
Pertanyaan selanjutnya: ke mana arah kebijakan subsidi energi ke depan. Cara termudah mengamankan kondisi keuangan negara dalam APBN adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Jika harga minyak mentah turun, kenaikan harga BBM itu justru bisa dimanfaatkan antara lain membangun infrastruktur, termasuk membangun kilang untuk menekan volume impor produk BBM.
Cara lain adalah mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. PT Pertamina berencana membangun sistem pemantauan dan pengendalian BBM bersubsidi berbasis teknologi pada tahun depan. Sistem ini mencatat semua data transaksi dan pelanggan sehingga transaksi tidak wajar bisa dipantau. Dalam uji coba di Kalimantan, penerapan teknologi ini menurunkan jumlah transaksi pembelian solar dalam jumlah besar.
Teknologi tersebut bisa sekaligus dimanfaatkan untuk menerapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bagi kendaraan tertentu setelah data nomor polisi kendaraan yang dilarang memakai BBM bersubsidi dimasukkan. Kini tinggal kemauan politik pemerintah menekan subsidi BBM dan menggunakannya untuk sektor produktif serta peningkatan kesejahteraan rakyat. (EVY RACHMAWATI)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar