Bangkitlah
Bangsaku!
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
04 Desember 2012
Refleksi adalah kemampuan kodrati manusia
yang tidak dimiliki oleh makhluk nonmanusia. Manusia yang tidak memanfaatkan
anugerah Tuhan tersebut berarti merendahkan diri sebagai insan submanusia.
Kemampuan berkontemplasi itu pulalah yang membuat manusia mencapai peradaban
tinggi. Manusia yang tidak mau bermenung akan menjalani hidup sekadar rutin
mudah terjebak perbuatan sesat dan menyengsarakan orang lain.
Bertafakur biasanya dilakukan saat akan
mengambil keputusan sangat penting. Tahun depan semakin dekat dengan Pemilu
2014. Dalam kehidupan bangsa dan negara, masyarakat, terutama elite politik,
sebaiknya mempergunakan momen tersebut untuk mencari terobosan guna
membongkar akumulasi kejumudan perilaku politik negara. Tanpa bangkitnya
semua komponen bangsa aktif mengambil bagian terobosan politik, pemilu
mendatang hanya menjadi rute yang menghasilkan penguasa republik yang semakin
tidak peduli kepada rakyat.
Gejala itu tampak dari perilaku politik
para elite dalam kurun waktu setahun terakhir. Eskalasi pertarungan
kepentingan politik kekuasaan sangat meningkat dengan cepat. Perburuan
kekuasaan dilakukan dengan politik fantasi (citra) yang mengandalkan
popularitas semu, bukan produk otentik. Misalnya, rancangan regulasi yang
dapat menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan secara mendasar tidak pernah
disentuh. Akibatnya, buruh dan pengusaha merasa sama-sama dirugikan. Konon,
investor pun ragu-ragu berinvestasi. Demikian pula kebijakan subsidi bahan
bakar minyak yang justru hanya menguntungkan orang kaya dan membuat rakyat
menderita tetap dipertahankan.
Limbah politik imaji juga tampak dari sikap
negara yang mengesankan ”ogah-ogahan” mengatasi konflik horizontal yang
eskalasinya terbentang secara sporadis dari Provinsi Aceh hingga Papua.
Penyebab konflik sangat beragam, mulai dari sentimen primordial, ekonomi,
ketidakadilan, perburuhan, ataupun agenda politik. Sikap abai juga
diberlakukan terhadap masyarakat di sepanjang wilayah perbatasan yang semakin
termarjinalkan. Ungkapan petinggi negara bahwa perbatasan adalah halaman
depan negara hanya retorika kosong. Kunjungan pejabat negara di daerah
tersebut tidak membuahkan apa pun. Artinya, negara melemahkan ketahanan
negara di depan mata.
Peristiwa yang lebih membuat rontok
martabat negara adalah terbongkarnya skandal dugaan pemalsuan vonis oleh
hakim Mahkamah Agung terhadap gembong narkotika. Lembaga yang seharusnya jadi
benteng terakhir rakyat kecil mendapatkan keadilan telah melakukan tindakan
yang sangat tidak terpuji.
Kemandekan negara juga disebabkan para
politisi, terutama anggota parlemen, semakin kesengsem melakukan akrobat
politik dengan memanfaatkan daya jangkau penetrasi mereka dalam hampir semua
cabang kekuasaan. Mereka sangat leluasa menggoreng isu-isu yang dapat
merugikan kepentingannya. Praktik tersebut, antara lain, adalah rencana
merevisi pasal kewenangan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Masyarakat percaya manuver mereka karena
ketentuan itu dapat menjebloskan para koruptor kakap dari birokrasi dan
parlemen. Agenda yang senapas adalah rencana mempergunakan hak interpelasi
terhadap kasus Bank Century. Dalam perspektif desentralisasi, regulasi
pemekaran daerah otonom lebih didorong nafsu berkuasa daripada upaya serius
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pencermatan tersebut menegaskan politik
tahun 2012 sarat dengan akrobat dan hegemoni politik citra. Praktik politik
jauh dari wilayah refleksi yang memuliakan kodrat manusia. Praktik politik
kekuasaan semakin jauh dari wilayah pemaknaan politik sebagai wilayah yang
memerdekakan rakyat dari kesengsaraan. Politisi telanjur kecanduan memeluk
kepalsuan daripada menghadapi kenyataan. Elite politik semakin terisolasi di
wilayah nyaman dan jauh dari suara rintihan masyarakat.
Karena itu, hampir dapat dipastikan tahun
depan ranah politik akan didominasi pertarungan ”hidup atau mati” politisi
dalam perburuan kekuasaan. Politik akan semakin gaduh dan memekakkan telinga
oleh janji- janji petualang politik yang tuli terhadap suara nurani publik.
Ketergesaan mereguk kekuasaan juga tampak dalam bursa pencalonan presiden
yang asal tubruk tanpa menilai rekam jejak yang bersangkutan.
Namun, skenario gelap tersebut dapat
dicegah kalau bangsa Indonesia memanfaatkan Pemilu 2014 sebagai kesempatan
untuk melakukan terobosan politik. Pengalaman selama ini membuktikan,
kekuatan demokratis masyarakat mempunyai tingkat efektivitas tinggi untuk
menekan negara. Misalnya, kegigihan rakyat membela KPK dalam kasus simulator
SIM. Masyarakat berhasil meyakinkan Presiden bahwa KPK yang berhak memeriksa
kasus tersebut, bukan Polri.
Demikian pula prakarsa masyarakat
menawarkan kandidat presiden dalam Pemilu 2014 agar sumber calon tidak
didominasi oleh parpol juga mendapat tanggapan positif masyarakat. Kalau
upaya itu mendapat dukungan publik, masyarakat akan mempunyai lebih banyak
pilihan. Saringan untuk menjaring tokoh-tokoh tersebut dilakukan berdasarkan
rekam jejak dan kriteria integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas mereka.
Urgensi tersebut dirasakan mendesak karena
pasca-Pemilu Presiden 2014 agar diperoleh pemimpin nasional yang realistis
serta berani menghadapi risiko dalam mencari solusi yang tepat. Bukan
pemimpin yang seperti burung unta, menyusupkan kepalanya di semak kalau
menghadapi bahaya. Bangkitlah bangsaku
untuk masa depan yang gemilang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar