Jumat, 14 Desember 2012

Antara Habibie dan Anwar


Antara Habibie dan Anwar
Firman Noor ;  Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) 
SINDO, 14 Desember 2012


Jika kedua tokoh ini dicarikan perbedaannya tentu saja tidak akan terlalu menarik, mengingat demikian banyaknya perbedaan itu. Namun jika kita cari kesamaannya, kita akan temui beberapa halhal yang patut dihargai dari mereka. 

Hal pertama yang tentu saja tidak dapat dilepaskan saat membandingkan keduanya adalah posisi mereka sebagai figur atau elite politik. Dalam hal ini, dilihat dari kedudukan puncaknya adalah keduanya merupakan mantan tokoh nomor dua dari dua sosok besar simbol keotoriteran Asia Tenggara, yakni Soeharto dan Mahathir Mohammad. Uniknya,meski Habibie dan Anwar dekat dengan tokoh-tokoh otoriter, keduanya punya iktikad untuk tidak berperilaku samadenganmentor-mentornya. 

Inilah yang kemudian, sebenarnya, yang bisa jadi menyebabkan Zainuddin Maidin, mantan menteri penerangan Malaysia, menganggap mereka telah melakukan aksi “menggunting dalam lipatan”. Sepak terjang keduanya tak pelak telah mengecewakan dan melukai perasaan para mentor yang telah mendongkrak nama dan kedudukannya. 

Habibie pascakeruntuhan Soeharto,misalnya,segera saja melakukan beberapa langkah dramatis yang menandai apa yang disebut oleh O’Donnel dan Schmitter (1993) sebagai liberalisasi politik, seperti membebaskan tahanan politik, termasuk misalnya tokoh kritis Mochtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas, membebaskan pers yang berdampak pada munculnya ratusan koran baru di seluruh penjuru Indonesia, dan menyokong berdirinya partai-partai. 

Sementara itu, Anwar bersikap cukup berani menentang pilihan-pilihan kebijakan ekonomi dan politik Mahathir, yang menurut perhitungannya hanya akan makin menguntungkan dan menggendutkan perut kroni-kroni Mahathir. Langkah Anwar yang bersikap welcome terhadap IMF,sebetulnya terkait dengan upayanya untuk menyingkirkan orang-orang yang selama ini telah menikmati kue ekonomi Malaysia tanpa pengawasan yang berarti. Inilah yang kemudian membuat Mahathir demikian geramnya, dan langsung menuduhnya sebagai antek imperialisme atau kaki tangan Barat.

Mahathir pun memecatnya. Tidak cukup dengan itu, Anwar pun dituduhnya gemar bersodomi. Kesamaan yang lain,keduanya adalah intelektual yang andal. Mereka tidak saja berhasil dalam dunia akademis yang ditempuhnya, tetapi memiliki kepedulian besar untuk memajukan bangsa dan negaranya melalui tulisan ataupun aksi-aksi konkret. Habibie tidak saja telah menelurkan sebuah teori keretakan pesawat yang kemudian mendunia dan dikenal sebagai “Teori Habibie”, yang menyebabkan dirinya juga dikenal sebagai “Mr. Crack”, namun turut mencurahkan perhatian dan pikirannya memajukan citra bangsanya di mata dunia. 

Dia memilih untuk mudik meski sudah hidup amat enak di Jerman. Dia sempat mendapatkan kantor amat sederhana dan seadanya,selama setidaknya setahun, untuk kemudian berkesempatan membangun sebuah imperium kedirgantaraan yang dia yakini merupakan sebuah langkah besar (great leap) yang harus ditempuh untuk menandingi kemajuan negara-negara lain. 

Meski menimbulkan banyak kritik,langkah yang ditempuhnya jelas tidak terlalu salah dan sejujurnya tetap saja membanggakan. Terbukti kemudian cukup banyak anak yang bercita-cita ingin menjadi Habibie. Bahkan, seorang penyanyi sekelas Iwan Fals pun mengakui kehebatan Habibie dalam salah satu magnus opumnya “Oemar Bakri”. 

Kejeniusan Habibie dan upayanya membumikan ilmu yang dimilikinya itu menarik perhatian banyak orang hingga level dunia; hingga dia menjadi satu di antara orang-orang yang beruntung diundang secara personal oleh Raja Saudi untuk naik haji.Konon hal itu dilakukan karena sang raja amat mengagumi kejeniusannya dalam soal kedirgantaraan. Sementara Anwar Ibrahim, terobsesi dengan potensi besar yang dimiliki oleh bangsa Asia, dia pun menuliskan sebuah buku yang cukup menggugah yangberjudul AsianRenaissance. 

Dalam bukunya itu, dengan bahasa Inggris yang amat baik, dia berupaya meyakinkan bahwa bangsa Asia berpotensi besar untuk berdiri tegak sejajar dan bahkan melebih bangsa-bangsa Barat dalam menciptakan peradaban besar, yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Gaya menulisnya yang retorik menyadarkan orang bahwa bangsa Asia tidak perlu berkecil hati. Kelahiran kembali bangsa-bangsa Asia yang pernah memengaruhi bumi di masa lampau adalah tinggal tunggu waktu saja. 

Bedanya jika peradaban Barat berdiri tegak di atas sekularisme, menurut Anwar kebangunan peradaban bangsa Asia berjalan seiring dengan aspek-aspek moralitas keagamaannya. Kegelisahan intelektualnya membuat dirinya tidak merasa takut untuk berhadapan dengan sebentuk negara yang menikmati Internal Security Act (ISA), sebagai sarana memberangus kebebasan berpendapat dan berpikir waras.

Harga yang harus dibayarnya cukup mahal.Tidak saja badan yang remuk dihajar alat negara, namun kebebasan yang terenggut, terpisah dari keluarga tercinta dan para pendukung kebebasan dan demokrasi. Namun justru itulah yang membuat namanya makin mendunia, menjadi pembicara yang dihormati di banyak seminar level internasional dan dosen di berbagai perguruan tinggi ternama,mengisi materi khususnya mengenai Islam, Asia dan demokrasi. Hal lain adalah keduanya mewakili sosok muslim modern yang moderat. 

Gaya hidup Habibie merupakan percampuran antara seorang muslim taat,yang pada saat bersamaan meyakini rasionalitas,kebebasan berpendapat dan disiplin tinggi ala Barat. Sementara Anwar telah lama memosisikan dirinya sebagai pengusung modernisme Islam, dan mengakui dirinya sebagai murid dan pengagum Mohammad Natsir, yang tidak alergi terhadap hal-hal baik yang dapat diadopsi dari sikap dan pemikiran Barat. 

Pendidikan Barat telah merasuki keduanya sehingga mereka terbiasa dengan argumentasi dan debatdebat panjang yang kaya data dan fakta, bukan sekadar taklid buta. Adapun sikap moderat mereka tercermin dari penerimaan ideologi kebangsaan yang menganjurkan hidup berbagi dalam keberbedaan. 

Habibie tidak pernah lekang sebagai pendukung Pancasila. Adapun Anwar tatkala dirinya memegang tampuk pimpinan teras Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), periode 1974–1982, pernah mengkritik keras praktik diskriminasi kalangan elite Melayu atas etnis China dan India, dan penggunaan isu etnisitas demi kepentingan politik.Dalam Partai Keadilan Nasional yang dibentuknya, yang sekarang menjadi Partai Keadilan Rakyat, banyak pula kalangan non-Melayu dan nonmuslim yang berkecimpung di dalamnya. 

Kesamaan kecil di atas memperlihatkan keduanya bukanlah figur sembarangan. Bagi yang bersimpati, kehidupan keduanya banyak memberi inspirasi. Namun bagi yang tidak menyukainya, sosok Habibie dan Anwar tetap menimbulkan kekhawatiran bahkan kenangan pahit. Tidak mengherankan jika mereka pun banyak dihujat, diibaratkan sebagai pesakitan yang harus dilawan dan dicitrakan buruk. Kalau perlu sebut saja mereka sebagai the dog of imperialism.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar