Sabtu, 04 Agustus 2012

Redam Cicak Lawan Buaya


Redam Cicak Lawan Buaya
Hifdzil Alim ; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 04 Agustus 2012

Kasus korupsi pengadaan alat simulasi setir di Korps Lalu Lintas Polri menyeret perwira tinggi polisi sebagai tersangka. Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Polri yang kini menjabat kursi Gubernur Akademi Kepolisian, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Kasus ini tampaknya bakal melahirkan konflik kelembagaan antarpenegak hukum dan mengingatkan kembali peristiwa cicak lawan buaya. Pasalnya, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri tidak menemukan indikasi kecurangan dalam proyek pengadaan yang menggunakan anggaran negara sebesar Rp 198,7 miliar.

Beda Hasil

Badan Reserse Kriminal Polri yang menggunakan strategi pemeriksaan ”makan bubur”: memeriksa tersangka mulai dari sisi pinggir ke tengah, dari level bawah ke atas, dari pelaksana proyek baru ke pengguna anggaran, mengatakan belum menemukan tersangka dari kalangan perwira tinggi Polri.

Berbeda dengan Polri, KPK menduga ada tindak pidana suap dan penggelembungan nilai beli alat simulasi kemudi. Informasi harga satuan dari laman adalah 2.000-5.000 dollar AS atau Rp 20 juta-Rp 50 juta. Jika realisasi pembelian tahun 2011 adalah 1.256 unit dengan harga satuan Rp 50 juta, anggaran yang diperlukan cuma Rp 61 miliar, bukan Rp 198,7 miliar (Kompas, 2/8).

Sebelumnya, penggeledahan oleh penyidik KPK di markas Korlantas juga terhambat. Beberapa perwira polisi bersitegang dengan penyidik KPK. Perbedaan hasil pemeriksaan dan ketegangan dalam penggeledahan berpotensi menimbulkan benturan antara Polri dan KPK.

Dari perbandingan angka kebutuhan pengadaan alat simulasi setir yang sangat jauh itu, wajar saja KPK mencurigai ada kecurangan dan kemungkinan suap kepada pejabat negara. Salah satu perwira tinggi Polri ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap Rp 2 miliar.

Spirit Negatif Korps

Penetapan tersangka Irjen Djoko Susilo oleh KPK ”memaksa” publik menyoalkan keseriusan Polri memeriksa kasus korupsi. Hasil pemeriksaan Irwasum—yang berbeda dengan hasil pemeriksaan KPK—menyatakan, pengadaan alat simulasi kemudi berjalan normal dan tak ada indikasi keterlibatan perwira tinggi. Bisa jadi, ini adalah bagian dari semangat melindungi korps dalam arti negatif.

Bukan kali ini saja semangat negatif ini diperlihatkan Polri. Kasus rekening gendut 23 anggota Polri adalah contohnya. Polri bersikukuh tidak mau membuka lembaran nama para anggota yang disangka memiliki rekening mencurigakan. Meski Komisi Informasi Pusat memerintahkan membuka nama-nama tersebut, tetap saja Polri tidak mau memaparkannya.

Semangat negatif korps menjadi penghalang nyata dalam pemberantasan korupsi. Spirit buruk lahir apabila dirasa akan terjadi sesuatu yang dapat menyerang setiap kepala dalam sebuah lembaga. Ada unsur jejaring (network) yang dilindungi. Melindungi kepentingan yang sama, melindungi kepentingan yang lebih besar, melindungi kepentingan tuannya. Jangan-jangan korupsi di Korlantas melibatkan jaringan internal Polri?

Prasangka masyarakat bahwa ada usaha melindungi korps di Korlantas bisa ditepis apabila Polri membuktikan memang tidak ada usaha demikian.
Untuk meruntuhkan syak wasangka, ada satu cara yang bisa diambil. Polri menyusun memo kesepahaman dengan KPK dalam penyidikan pengadaan simulasi kemudi ini. Intinya, Polri membantu penyidikan KPK.

Posisi Bareskrim yang juga menyidik kasus ini bisa dianggap melawan hukum. Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, jika suatu kasus korupsi sudah disidik KPK, kepolisian atau kejaksaan tak punya wewenang menyidik. Bahkan, Ayat (4) dari pasal yang sama berbicara lebih keras. Apabila suatu kasus korupsi sedang disidik secara bersama oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, maka penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Dengan dua ketentuan hukum tersebut, tertutup sudah kewenangan Polri melakukan penyidikan. Maka, pilihan membuat memo untuk mengonfirmasi tidak ada semangat negatif korps di tubuh Polri dan usaha membantu pemberantasan korupsi menjadi logis.

Substansi Memo

Semua substansi memo harus ditaruh di atas meja. Dalam arti, setelah substansi memo disepakati, memo tersebut perlu diumumkan ke khalayak. Apabila di kemudian hari Polri melanggar isi memo, tidak susah bagi masyarakat meminta Polri bertanggung jawab.

Setidaknya ada tiga substansi yang harus masuk dalam memo. Pertama, Polri memberikan jaminan pasti tidak akan mengintervensi dan menghambat penyidikan KPK.
Kedua, Polri harus membuka pintu bagi KPK agar dapat masuk memeriksa semua anggotanya, termasuk perwira tingginya, untuk diperiksa terkait dugaan korupsi pengadaan alat simulasi kemudi.

Ketiga, Polri harus menjamin bahwa yang memimpin penyidikan adalah KPK. Dengan demikian, semua informasi yang diperoleh dari pemeriksaan Polri harus diserahkan kepada KPK. Selanjutnya yang berhak menetapkan ada atau tidak ada tersangka dalam kasus itu adalah KPK, bukan Polri.

Dengan tiga substansi tersebut, niat baik Polri membantu KPK untuk memberantas korupsi di internal Polri dan membersihkan prasangka buruk terhadap Polri bisa dicapai sekaligus meredam lahirnya cicak lawan buaya jilid II. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar