Minggu, 26 Agustus 2012

Negara Dagelan


Negara Dagelan
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta
INILAH.COM, 25 Agustus 2012


"Apa kita ini hidup di negara lelucon? Apa kita bangsa yang kurang serius atau gemar becanda dan dagelan?" tanya seorang teman dalam sebuah halal bihalal.

Pertanyaan itu mengusik mereka yang hadir dalam acara setahun sekali itu. Tak urung, diskusi mengalir ke sana kemari. Fokusnya menjawab pertanyaan tadi: apa kita ini bangsa yang tidak serius, apakah kita hidup di Negara dagelan?

Mari simak beberapa contoh. Saat menjalani ibadah Ramadhan selama beberapa tahun terakhir, misalnya, kita menyaksikan mayoritas siaran televisi berisi lelucon, canda dan tawa, dan segala macam pernak-pernik yang tidak serius.

Tujuannya memang menghibur -- dan kita paham bahwa acara TV memang harus mengandung *entertainment* (hiburan), jika ingin ditonton banyak orang.

Namun, jika hampir semua acaranya, khususnya di saat orang diajak makin mawas diri, berkontemplasi dan merenungkan hakikat ibadah Ramadhan – bukan hanya berpuasa, melainkan solat malam, *i'tikaf*, dan sebagainya – maka acara televisi yang penuh canda dan tawa itu tentu sulit untuk mengingatkan orang agar peduli pada orang lain, dan ikut membantu mengentaskan rakyat dari kemiskinan, atau membantu para *mustadz'affin* (kaum lemah).

Bahkan di saat bangun sahur, ketika kita diharapkan beribadah secara sangat khusyu', secara serius dan penuh atensi kepada Tuhan -- dan bukan hanya dianjurkan makan sarapan saat dini hari -- suguhan yang ada di kotak ajaib TV di rumah-rumah kita penuh dengan program yang asal-asalan atau

Remeh-temeh dan sama sekali tidak mengandung makna spiritual, atau ajakan yang menggugah pada kepedulian sosial, yang sejatinya merupakan inti ibadah Ramadhan.
Jika mau contoh lain Anda bisa cek ke gadget Blackberry Anda sendiri. Coba saja lihat, *emoticon* manakah yang paling sering digunakan saat orang berkirim pesan di situ? Saya berani bertaruh tanda pengungkap perasaan atau emosi (*emoticon*) paling banyak digunakan adalah tanda tertawa dengan atau tanpa gigi meringis, atau senyum -- kadang malah secara agak berlebihan.

Memang tidak ada yang salah jika sekali sekali tertawa atau menghibur diri -- malah sampai batas tertentu hal itu perlu untuk menyegarkan jiwa.

Kiranya bukan suatu dosa bila seorang pemuda yang doyan 'ngocol' bicara asal melucu di Twittternya, dan lalu kemudian dianggap sebagai sangat 'gaul', lantas punya followers yang amat banyak -- mengalahkan pengikut Twitter serius para pengamat, motivator, guru besar, tokoh pendidik, ulama atau pun penulis ternama.

Tetapi yang menjadi masalah adalah : pertama, tanpa sadar lelucon itu terlampau banyak diulang. Saking seringnya berlaku demikian, ditambah dukungan lingkungan sekitar yang selalu 'santai ' (oh ya, ditambah pelawak di televisi yang jumlahnya makin membanjir), maka semuanya menjadi satu kesatuan yang kompak.

Ibarat sebuah orkes simfoni, semuanya saling sokong menciptakan satu irama merdu yang disukai banyak orang. Lalu semuanya jadi terbuai, tanpa sadar, saling mendukung bagi terbentuknya komunitas 'cuek' -- yang tak acuh, yang tidak pernah serius.

Kedua, bukankah 'ketidakacuhan' itu kemudian berujung kepada ketidakpedulian terhadap hal-hal yang penting dan serius? Tidakkah itu membuat orang jadi cuek, jadi merasa bisa selalu 'seenaknya saja', sikap 'bagaimana nanti' saja, dan bukan 'nanti bagaimana'? 
Sehingga saat tersangka koruptor wanita yang biasanya berbaju seksi tiba-tiba mengenakan kerudung atau koruptor laki-laki berbaju koko dan peci di pengadilan -- agar tampak sebagai orang baik-baik atau 'saleh' -- mereka merasa itu sah-sah saja, dan orang banyak toh tidak akan peduli.

Berpikir

Kebiasaan memang pada gilirannya melahirkan karakter -- dan kita kuatir kebiasaan 'santai', 'cuek', atau 'boleh seenaknya' dalam bentuk yang bervariasi yang dilakukan banyak orang di negeri kita ini, pada gilirannya akan memunculkan karakter tidak peduli, tidak ambil pusing pada hal yang penting, pada nasib orang lain dan kesengsaraan orang banyak.

Dan bila itu kian menggejala, kita akan menyaksikan tindakan yang melanggar etika, semisal merokok di ruang publik yang tertutup, mengendarai motor di trotoar atau menyerobot antrian, hingga perilaku koruptif menjadi persoalan biasa yang dilakukan tanpa segan-segan, tanpa rasa bersalah.* Without guilty feeling*.

Maka salah seorang dalam diskusi tadi menimpali,"Jangan-jangan itu semua muncul akibat kita miskin budaya berpikir?"

"Mengapa Anda beranggapan begitu?" tanya seorang kawan.
"Ya, coba saja, apakah kita punya kata sinonim yang tepat untuk kata 'pikir'? Saya sudah cek beberapa kamus bahasa Indonesia, sulit sekali menemukan padanan kata 'pikir' atau 'berpikir' yang pas," jawabnya.

"Orang Inggris punya kata *'think', 'contemplating', 'reflect', 'ponder*' dan lain-lain. Sedangkan kita mengadopsi kata pikir atau 'fikir' dari bahasa Arab -- sebagaimana juga kata 'akal' yang kita pinjam dari bahasa Arab," tambah teman yang tampaknya cukup berakal.**

Lho, apa hubungannya kosa kata itu dengan budaya?
"Ya jelas, bahasa menunjukkan budaya, dan budaya itu bagian dari bangsa. Bangsa yang hidup di Kutub punya sekian banyak kosa kata yang menunjukkan budaya yang terkait dengan 'es'. Ada ratusan macam kata terkait dengan es dan produk turunan es, sebagaimana kita sangat kaya dengan kosa kata yang berkaitan dengan beras, mulai dari nasi, ketan, buras, *karak* (semacam keripik dari beras di Solo), bubur, rengginang, serta lontong dan ketupat yang kita sajikan saat lebaran. Semuanya wujud budaya bangsa pemakan beras," tambah teman tadi.

"Tetapi saya kira itu lebih karena kita miskin pemimpin yang serius, yang dapat memberi contoh bagaimana harus bersikap peduli. Pemimpin yang punya rasa malu, yang mau mundur jika bersalah," seorang teman lain menimpali.

Entahlah, dalam suasana perenungan halal bihalal begini, selayaknya memang kita semua berpikir lebih kritis, dan mempertanyakan, seberapa banyak kita dan para pemimpin mau lebih serius dan lebih acuh kepada nasib bangsa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar