Negara Dagelan
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen
Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta
|
INILAH.COM,
25 Agustus 2012
"Apa kita ini hidup di negara lelucon? Apa kita bangsa yang
kurang serius atau gemar becanda dan dagelan?" tanya seorang teman dalam sebuah halal bihalal.
Pertanyaan itu mengusik mereka
yang hadir dalam acara setahun sekali itu. Tak urung, diskusi mengalir ke sana
kemari. Fokusnya menjawab pertanyaan tadi: apa kita ini bangsa yang tidak
serius, apakah kita hidup di Negara dagelan?
Mari simak beberapa contoh. Saat
menjalani ibadah Ramadhan selama beberapa tahun terakhir, misalnya, kita
menyaksikan mayoritas siaran televisi berisi lelucon, canda dan tawa, dan
segala macam pernak-pernik yang tidak serius.
Tujuannya memang menghibur -- dan
kita paham bahwa acara TV memang harus mengandung *entertainment* (hiburan), jika ingin ditonton banyak orang.
Namun, jika hampir semua
acaranya, khususnya di saat orang diajak makin mawas diri, berkontemplasi dan
merenungkan hakikat ibadah Ramadhan – bukan hanya berpuasa, melainkan solat
malam, *i'tikaf*, dan sebagainya –
maka acara televisi yang penuh canda dan tawa itu tentu sulit untuk
mengingatkan orang agar peduli pada orang lain, dan ikut membantu mengentaskan
rakyat dari kemiskinan, atau membantu para *mustadz'affin*
(kaum lemah).
Bahkan di saat bangun sahur,
ketika kita diharapkan beribadah secara sangat khusyu', secara serius dan penuh
atensi kepada Tuhan -- dan bukan hanya dianjurkan makan sarapan saat dini hari
-- suguhan yang ada di kotak ajaib TV di rumah-rumah kita penuh dengan program
yang asal-asalan atau
Remeh-temeh dan sama sekali tidak
mengandung makna spiritual, atau ajakan yang menggugah pada kepedulian sosial,
yang sejatinya merupakan inti ibadah Ramadhan.
Jika mau contoh lain Anda bisa
cek ke gadget Blackberry Anda
sendiri. Coba saja lihat, *emoticon* manakah yang paling sering digunakan saat
orang berkirim pesan di situ? Saya berani bertaruh tanda pengungkap perasaan
atau emosi (*emoticon*) paling banyak
digunakan adalah tanda tertawa dengan atau tanpa gigi meringis, atau senyum --
kadang malah secara agak berlebihan.
Memang tidak ada yang salah jika
sekali sekali tertawa atau menghibur diri -- malah sampai batas tertentu hal
itu perlu untuk menyegarkan jiwa.
Kiranya bukan suatu dosa bila
seorang pemuda yang doyan 'ngocol' bicara asal melucu di Twittternya, dan lalu
kemudian dianggap sebagai sangat 'gaul', lantas punya followers yang amat banyak -- mengalahkan pengikut Twitter serius para pengamat, motivator,
guru besar, tokoh pendidik, ulama atau pun penulis ternama.
Tetapi yang menjadi masalah
adalah : pertama, tanpa sadar lelucon itu terlampau banyak diulang. Saking
seringnya berlaku demikian, ditambah dukungan lingkungan sekitar yang selalu
'santai ' (oh ya, ditambah pelawak di televisi yang jumlahnya makin membanjir),
maka semuanya menjadi satu kesatuan yang kompak.
Ibarat sebuah orkes simfoni,
semuanya saling sokong menciptakan satu irama merdu yang disukai banyak orang.
Lalu semuanya jadi terbuai, tanpa sadar, saling mendukung bagi terbentuknya
komunitas 'cuek' -- yang tak acuh, yang tidak pernah serius.
Kedua, bukankah 'ketidakacuhan'
itu kemudian berujung kepada ketidakpedulian terhadap hal-hal yang penting dan
serius? Tidakkah itu membuat orang jadi cuek, jadi merasa bisa selalu
'seenaknya saja', sikap 'bagaimana nanti' saja, dan bukan 'nanti bagaimana'?
Sehingga saat tersangka koruptor wanita yang biasanya berbaju seksi tiba-tiba
mengenakan kerudung atau koruptor laki-laki berbaju koko dan peci di pengadilan
-- agar tampak sebagai orang baik-baik atau 'saleh' -- mereka merasa itu
sah-sah saja, dan orang banyak toh tidak akan peduli.
Berpikir
Kebiasaan memang pada gilirannya
melahirkan karakter -- dan kita kuatir kebiasaan 'santai', 'cuek', atau 'boleh
seenaknya' dalam bentuk yang bervariasi yang dilakukan banyak orang di negeri
kita ini, pada gilirannya akan memunculkan karakter tidak peduli, tidak ambil
pusing pada hal yang penting, pada nasib orang lain dan kesengsaraan orang
banyak.
Dan bila itu kian menggejala,
kita akan menyaksikan tindakan yang melanggar etika, semisal merokok di ruang
publik yang tertutup, mengendarai motor di trotoar atau menyerobot antrian,
hingga perilaku koruptif menjadi persoalan biasa yang dilakukan tanpa
segan-segan, tanpa rasa bersalah.* Without
guilty feeling*.
Maka salah seorang dalam diskusi
tadi menimpali,"Jangan-jangan itu semua muncul akibat kita miskin budaya
berpikir?"
"Mengapa Anda beranggapan
begitu?" tanya seorang kawan.
"Ya, coba saja, apakah kita
punya kata sinonim yang tepat untuk kata 'pikir'? Saya sudah cek beberapa kamus
bahasa Indonesia, sulit sekali menemukan padanan kata 'pikir' atau 'berpikir'
yang pas," jawabnya.
"Orang Inggris punya kata *'think', 'contemplating', 'reflect',
'ponder*' dan lain-lain. Sedangkan
kita mengadopsi kata pikir atau 'fikir' dari bahasa Arab -- sebagaimana juga
kata 'akal' yang kita pinjam dari bahasa Arab," tambah teman yang
tampaknya cukup berakal.**
Lho, apa hubungannya kosa kata
itu dengan budaya?
"Ya jelas, bahasa
menunjukkan budaya, dan budaya itu bagian dari bangsa. Bangsa yang hidup di
Kutub punya sekian banyak kosa kata yang menunjukkan budaya yang terkait dengan
'es'. Ada ratusan macam kata terkait dengan es dan produk turunan es,
sebagaimana kita sangat kaya dengan kosa kata yang berkaitan dengan beras,
mulai dari nasi, ketan, buras, *karak* (semacam keripik dari beras di Solo),
bubur, rengginang, serta lontong dan ketupat yang kita sajikan saat lebaran.
Semuanya wujud budaya bangsa pemakan beras," tambah teman tadi.
"Tetapi saya kira itu lebih
karena kita miskin pemimpin yang serius, yang dapat memberi contoh bagaimana
harus bersikap peduli. Pemimpin yang punya rasa malu, yang mau mundur jika
bersalah," seorang teman lain menimpali.
Entahlah, dalam suasana
perenungan halal bihalal begini,
selayaknya memang kita semua berpikir lebih kritis, dan mempertanyakan,
seberapa banyak kita dan para pemimpin mau lebih serius dan lebih acuh kepada
nasib bangsa sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar