Sabtu, 25 Agustus 2012

Indonesia, IMF, dan Krisis


Indonesia, IMF, dan Krisis
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
 Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 24 Agustus 2012


Indonesia akhirnya memberikan pinjaman US$ 1 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Kepastian itu dicapai saat Direktur Eksekutif IMF Christine Lagarde bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juli lalu. Berbeda dengan tahun 1997, ketika Indonesia "sakit" dan meminta kepada IMF agar menjadi dokter penyembuh krisis moneter. Saat ini, kata Presiden SBY, Indonesia gagah di depan IMF. Pada 2006, Indonesia melunasi utang kepada IMF. Ketika negara-negara di kawasan Eropa masih berkutat keluar dari krisis, dua tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh stabil, yang tahun ini diperkirakan mencapai 6,3 persen. Sebagai bagian dari perekonomian dunia, selayaknya Indonesia membantu.

Lagarde bersafari ke berbagai negara di Asia. Ia hendak menghimpun tambahan modal IMF untuk melawan krisis ekonomi Eropa, terutama di Irlandia, Italia, Portugal, Spanyol, Siprus, dan Yunani. IMF membutuhkan US$ 430 miliar. Komitmen Indonesia disampaikan Presiden SBY pada pertemuan G-20 di Los Cabos, Meksiko, Juni lalu. Menurut IMF, jika anggota G-20 tidak memberikan bantuan untuk disalurkan ke negara yang didera krisis, krisis di Eropa bisa menghancurkan ekonomi negara-negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika, termasuk mengancam ekspor negara-negara anggota G-20. Sejumlah negara sudah memberikan pinjaman, seperti Cina (US$ 43 miliar) dan Jepang (US$ 60 miliar). Bahkan negara kecil, seperti Vietnam dan Thailand, juga berpartisipasi. 

Pinjaman kepada IMF bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, komitmen itu memberi sinyal kepada pasar global bahwa ekonomi Indonesia sedang sehat. Indikator-indikator makro-ekonomi Indonesia memang mencorong. Misalnya, kinerja indeks harga saham gabungan terjaga di level 4.000, nilai tukar stabil, dan suku bunga acuan (SBI) 5,75 persen-terendah sepanjang sejarah. Tahun lalu ekonomi tumbuh 6,5 persen, inflasi terjaga di angka 3,64 persen, dan produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 7.427 triliun. Jika PDB itu dibagi dengan jumlah penduduk, pendapatan per kapita Indonesia 2011 mencapai US$ 3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat 17,7 persen dibanding pada 2010, atau naik 3,2 kali lipat daripada 2004.

Di sisi lain, pinjaman itu menjadi puncak aneka ironi di negeri ini. Pertama, Indonesia gagah memberikan pinjaman US$ 1 miliar kepada IMF, tapi pada saat yang sama bergerilya mencari utang US$ 5 miliar dari sejumlah donor. Kalau memang perlu utang, mengapa memberi pinjaman? Kedua, pemberian utang dilakukan saat cadangan devisa merosot, di mana per 29 Juni lalu mencapai US$ 106,5 miliar. Dewasa ini cadangan devisa Indonesia memang membaik. Tapi tidaklah setangguh Cina, misalnya, yang cadangan devisanya mencapai US$ 2,5 triliun, dengan PDB dua kali lebih besar daripada PDB Indonesia. Ketiga, pinjaman diberikan saat Indonesia sendiri kesulitan pendanaan untuk pelbagai kebutuhan, seperti membangun infrastruktur, pengentasan warga dari kemiskinan, dan mengurangi angka pengangguran. Mengapa memberi pinjaman, padahal membuat monorel Rp 1 triliun saja tidak bisa? 

Aneka ironi ini dikemukakan bukan berarti kita tidak peduli terhadap persoalan besar yang dihadapi dunia. Yang kita inginkan adalah sikap adil. Di sinilah penting dikemukakan kembali pengalaman pahit Indonesia jadi pasien IMF saat krisis moneter pada 1997-1998. Lewat letter of intent, IMF memaksakan resep-resep neoliberal ala Konsensus Washington. Teori generik tiga jurus IMF (kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi, privatisasi, serta liberalisasi pasar) saat itu jadi kebenaran tunggal di semua ranah kebijakan publik. Sebagai pasien IMF, Indonesia harus menelan resep itu, meski pahit. Resep serupa pernah berhasil menyembuhkan negara-negara Amerika Latin dari sakit. Yang berlaku one size fit all, semua negara seolah sama, tak ada keunikan.

Dengan wacana "emoh negara" (state denial), negara ditarik dari semua urusan publik. Migas, listrik, air, pangan, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan yang lain diliberalisasi dan diserahkan kepada pasar. Agar kuat dan legal, liberalisasi disangga lewat undang-undang, di mana dalam penyusunannya banyak didanai Bank Dunia, saudara kembar IMF. IMF juga memaksa Indonesia menghapus segala macam subsidi kepada rakyat. Rakyat harus mengencangkan ikat pinggang karena harga-harga barang melambung tinggi. Pendek kata, IMF memberi syarat amat berat bila hendak menerima bantuan. Akibat syarat berat itu, hanya US$ 3 miliar dari US$ 43 miliar komitmen bantuan yang bisa dicairkan.

Prasyarat kucuran kian banyak dan tidak relevan dengan pemulihan ekonomi. Ini karena IMF punya agenda: menjalankan sistem ekonomi neoliberal. Belakangan, terbukti resep IMF salah. Dalam wawancara dengan mingguan Jerman, Die Zeit (24 September 1998), Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus terus terang mengakui kesalahan saat memperkirakan dan mencegah krisis yang menghantam Asia Tenggara. Dalam laporan internal 1998 dan 1999 "World Economic Outlook", IMF secara gamblang mengakui perlunya kehati-hatian negara berkembang sebelum membuka pasar keuangan guna menekan dampak gejolak arus modal bebas. Sebagai dokter, IMF salah mendiagnosis.

Untuk kasus Indonesia, salah satu contoh klasik yang paling sering disebutkan adalah betapa IMF lupa menyiapkan infrastruktur jaring pengaman (safety net) yang memadai saat menutup 16 bank pada 1 November 1997, yang kemudian berefek bola salju raksasa krisis ekonomi yang teramat dalam. IMF dan pemerintah Indonesia baru menyadarinya empat bulan kemudian, lalu meluncurkan skema penjaminan saat rush sudah terjadi dan bank-bank hancur berantakan. Time lag empat bulan itu menimbulkan konsekuensi mahadahsyat, berupa kerusakan mahaberat dalam sistem perbankan. Salah satunya, suntikan BLBI Rp 144,5 triliun dan dana rekapitalisasi perbankan Rp 650 triliun yang terbukti mubazir. Sampai sekarang, APBN masih terbebani bunga obligasi Rp 60 triliun per tahun.

Kini krisis melanda Eropa. Pertanyaannya, apakah IMF memberlakukan syarat yang sama? Sebelum mengucurkan bantuan, IMF harus memaksa negara-negara Eropa mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi subsidi amat besar yang diberikan kepada rakyat mereka. Subsidi yang mahabesar itulah yang membuat beban negara terlalu besar dan tak bisa lagi ditopang perekonomian mereka. Adilkah jika Indonesia harus ikut menopang subsidi yang dikucurkan kepada rakyat Eropa? Rakyat Jerman yang satu zona Eropa saja berkeberatan jika pajak yang mereka bayarkan dipakai untuk menyehatkan negara-negara anggota Uni Eropa yang krisis. Sebagai negara dengan ekonomi terkuat di Eropa, Jerman (didukung Austria, Finlandia, dan Slovenia), seperti ditunjukkan Angela Merkel, terus menolak segala bentuk bantuan dana tanpa persyaratan disiplin fiskal. 

Bagi IMF, pinjaman US$ 1 miliar dari Indonesia tak banyak artinya jika dibandingkan dengan kebutuhan total dana penyelamatan krisis Eropa: US$ 430 miliar. Selain itu, G-20 bukan forum resmi, seperti PBB dan ASEAN. G-20 tak punya sekretariat. G-20 tidak lebih hanya forum lobi dan bertukar pikiran dari para menteri keuangan dan bank sentral. Jika di kemudian hari Asia dan Indonesia terkena krisis, akankah G-20 mengulurkan tangan? Krisis di Eropa menunjukkan, tak mudah mengkoordinasikan kebijakan regional di tengah pasar yang tergerus. Eropa, sebagai kampiun regionalisme, justru terbelah. Saat krisis, masing-masing negara berusaha menyelamatkan diri sendiri. Sudahkah kita mengambil pelajaran? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar