Indonesia, IMF,
dan Krisis
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-2014)
|
KORAN
TEMPO, 24 Agustus 2012
Indonesia akhirnya memberikan
pinjaman US$ 1 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Kepastian itu
dicapai saat Direktur Eksekutif IMF Christine Lagarde bertemu dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juli lalu. Berbeda dengan tahun 1997, ketika Indonesia
"sakit" dan meminta kepada IMF agar menjadi dokter penyembuh krisis
moneter. Saat ini, kata Presiden SBY, Indonesia gagah di depan IMF. Pada 2006,
Indonesia melunasi utang kepada IMF. Ketika negara-negara di kawasan Eropa
masih berkutat keluar dari krisis, dua tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh
stabil, yang tahun ini diperkirakan mencapai 6,3 persen. Sebagai bagian dari
perekonomian dunia, selayaknya Indonesia membantu.
Lagarde bersafari ke berbagai
negara di Asia. Ia hendak menghimpun tambahan modal IMF untuk melawan krisis
ekonomi Eropa, terutama di Irlandia, Italia, Portugal, Spanyol, Siprus, dan
Yunani. IMF membutuhkan US$ 430 miliar. Komitmen Indonesia disampaikan Presiden
SBY pada pertemuan G-20 di Los Cabos, Meksiko, Juni lalu. Menurut IMF, jika
anggota G-20 tidak memberikan bantuan untuk disalurkan ke negara yang didera
krisis, krisis di Eropa bisa menghancurkan ekonomi negara-negara di kawasan
Afrika, Asia, dan Amerika, termasuk mengancam ekspor negara-negara anggota
G-20. Sejumlah negara sudah memberikan pinjaman, seperti Cina (US$ 43 miliar)
dan Jepang (US$ 60 miliar). Bahkan negara kecil, seperti Vietnam dan Thailand,
juga berpartisipasi.
Pinjaman kepada IMF bagai pedang
bermata dua. Di satu sisi, komitmen itu memberi sinyal kepada pasar global
bahwa ekonomi Indonesia sedang sehat. Indikator-indikator makro-ekonomi
Indonesia memang mencorong. Misalnya, kinerja indeks harga saham gabungan
terjaga di level 4.000, nilai tukar stabil, dan suku bunga acuan (SBI) 5,75
persen-terendah sepanjang sejarah. Tahun lalu ekonomi tumbuh 6,5 persen,
inflasi terjaga di angka 3,64 persen, dan produk domestik bruto (PDB) mencapai
Rp 7.427 triliun. Jika PDB itu dibagi dengan jumlah penduduk, pendapatan per
kapita Indonesia 2011 mencapai US$ 3.542. Pendapatan per kapita itu meningkat
17,7 persen dibanding pada 2010, atau naik 3,2 kali lipat daripada 2004.
Di sisi lain, pinjaman itu
menjadi puncak aneka ironi di negeri ini. Pertama, Indonesia gagah memberikan
pinjaman US$ 1 miliar kepada IMF, tapi pada saat yang sama bergerilya mencari
utang US$ 5 miliar dari sejumlah donor. Kalau memang perlu utang, mengapa
memberi pinjaman? Kedua, pemberian utang dilakukan saat cadangan devisa
merosot, di mana per 29 Juni lalu mencapai US$ 106,5 miliar. Dewasa ini
cadangan devisa Indonesia memang membaik. Tapi tidaklah setangguh Cina,
misalnya, yang cadangan devisanya mencapai US$ 2,5 triliun, dengan PDB dua kali
lebih besar daripada PDB Indonesia. Ketiga, pinjaman diberikan saat Indonesia
sendiri kesulitan pendanaan untuk pelbagai kebutuhan, seperti membangun
infrastruktur, pengentasan warga dari kemiskinan, dan mengurangi angka
pengangguran. Mengapa memberi pinjaman, padahal membuat monorel Rp 1 triliun
saja tidak bisa?
Aneka ironi ini dikemukakan bukan
berarti kita tidak peduli terhadap persoalan besar yang dihadapi dunia. Yang
kita inginkan adalah sikap adil. Di sinilah penting dikemukakan kembali
pengalaman pahit Indonesia jadi pasien IMF saat krisis moneter pada 1997-1998.
Lewat letter of intent, IMF
memaksakan resep-resep neoliberal ala Konsensus Washington. Teori generik tiga
jurus IMF (kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi,
privatisasi, serta liberalisasi pasar) saat itu jadi kebenaran tunggal di semua
ranah kebijakan publik. Sebagai pasien IMF, Indonesia harus menelan resep itu,
meski pahit. Resep serupa pernah berhasil menyembuhkan negara-negara Amerika
Latin dari sakit. Yang berlaku one size
fit all, semua negara seolah sama, tak ada keunikan.
Dengan wacana "emoh
negara" (state denial), negara
ditarik dari semua urusan publik. Migas, listrik, air, pangan, ketenagakerjaan,
pendidikan, kesehatan, dan yang lain diliberalisasi dan diserahkan kepada
pasar. Agar kuat dan legal, liberalisasi disangga lewat undang-undang, di mana
dalam penyusunannya banyak didanai Bank Dunia, saudara kembar IMF. IMF juga
memaksa Indonesia menghapus segala macam subsidi kepada rakyat. Rakyat harus
mengencangkan ikat pinggang karena harga-harga barang melambung tinggi. Pendek
kata, IMF memberi syarat amat berat bila hendak menerima bantuan. Akibat syarat
berat itu, hanya US$ 3 miliar dari US$ 43 miliar komitmen bantuan yang bisa
dicairkan.
Prasyarat kucuran kian banyak dan
tidak relevan dengan pemulihan ekonomi. Ini karena IMF punya agenda:
menjalankan sistem ekonomi neoliberal. Belakangan, terbukti resep IMF salah.
Dalam wawancara dengan mingguan Jerman, Die Zeit (24 September 1998), Direktur
Pelaksana IMF Michael Camdessus terus terang mengakui kesalahan saat
memperkirakan dan mencegah krisis yang menghantam Asia Tenggara. Dalam laporan
internal 1998 dan 1999 "World
Economic Outlook", IMF secara gamblang mengakui perlunya kehati-hatian
negara berkembang sebelum membuka pasar keuangan guna menekan dampak gejolak
arus modal bebas. Sebagai dokter, IMF salah mendiagnosis.
Untuk kasus Indonesia, salah satu
contoh klasik yang paling sering disebutkan adalah betapa IMF lupa menyiapkan
infrastruktur jaring pengaman (safety net)
yang memadai saat menutup 16 bank pada 1 November 1997, yang kemudian berefek
bola salju raksasa krisis ekonomi yang teramat dalam. IMF dan pemerintah
Indonesia baru menyadarinya empat bulan kemudian, lalu meluncurkan skema
penjaminan saat rush sudah terjadi
dan bank-bank hancur berantakan. Time lag
empat bulan itu menimbulkan konsekuensi mahadahsyat, berupa kerusakan mahaberat
dalam sistem perbankan. Salah satunya, suntikan BLBI Rp 144,5 triliun dan dana
rekapitalisasi perbankan Rp 650 triliun yang terbukti mubazir. Sampai sekarang,
APBN masih terbebani bunga obligasi Rp 60 triliun per tahun.
Kini krisis melanda Eropa.
Pertanyaannya, apakah IMF memberlakukan syarat yang sama? Sebelum mengucurkan
bantuan, IMF harus memaksa negara-negara Eropa mengencangkan ikat pinggang
dengan mengurangi subsidi amat besar yang diberikan kepada rakyat mereka.
Subsidi yang mahabesar itulah yang membuat beban negara terlalu besar dan tak
bisa lagi ditopang perekonomian mereka. Adilkah jika Indonesia harus ikut
menopang subsidi yang dikucurkan kepada rakyat Eropa? Rakyat Jerman yang satu
zona Eropa saja berkeberatan jika pajak yang mereka bayarkan dipakai untuk
menyehatkan negara-negara anggota Uni Eropa yang krisis. Sebagai negara dengan
ekonomi terkuat di Eropa, Jerman (didukung Austria, Finlandia, dan Slovenia),
seperti ditunjukkan Angela Merkel, terus menolak segala bentuk bantuan dana tanpa
persyaratan disiplin fiskal.
Bagi IMF, pinjaman US$ 1 miliar
dari Indonesia tak banyak artinya jika dibandingkan dengan kebutuhan total dana
penyelamatan krisis Eropa: US$ 430 miliar. Selain itu, G-20 bukan forum resmi,
seperti PBB dan ASEAN. G-20 tak punya sekretariat. G-20 tidak lebih hanya forum
lobi dan bertukar pikiran dari para menteri keuangan dan bank sentral. Jika di
kemudian hari Asia dan Indonesia terkena krisis, akankah G-20 mengulurkan
tangan? Krisis di Eropa menunjukkan, tak mudah mengkoordinasikan kebijakan
regional di tengah pasar yang tergerus. Eropa, sebagai kampiun regionalisme,
justru terbelah. Saat krisis, masing-masing negara berusaha menyelamatkan diri
sendiri. Sudahkah kita mengambil pelajaran?
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar