Sabtu, 25 Agustus 2012

Kecelakaan Memiskinkan Keluarga


Kecelakaan Memiskinkan Keluarga
James Luhulima ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2012


Tingginya angka korban tewas dalam kecelakaan selama mudik membuat banyak pihak terenyak. Sejak 11 Agustus 2012 (H-8) hingga Jumat (24/8) kemarin, tercatat 760 orang tewas akibat kecelakaan dan 585 orang di antaranya tewas dalam kecelakaan yang melibatkan sepeda motor.

Disebut kecelakaan yang melibatkan sepeda motor karena belum tentu kecelakaan itu diakibatkan oleh kesalahan pengendara sepeda motor. Bisa saja kecelakaan itu terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengendara mobil, bus, ataupun truk.

Angka 760 itu cukup tinggi dan masih mungkin bertambah dalam beberapa hari mendatang. Selain puncak arus mudik belum terjadi, kemungkinan korban tewas itu juga masih bisa meningkat jika ada dari 1.222 orang yang luka parah meninggal dunia.
Kerugian materi yang diakibatkan oleh 4.333 kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam dua pekan terakhir itu jumlahnya sekitar Rp 8,3 miliar.

Angka 760 korban tewas tersebut untuk sementara masih di bawah angka korban tewas pada tahun 2010 yang mencapai 835 orang dan tahun 2011 sebesar 779 orang.
Jika jumlah kendaraan bermotor yang mudik tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun 2011, secara rasio angka korban tewas pada tahun ini mengalami penurunan.

Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa angka 760 itu bukan sekadar membicarakan angka-angka, melainkan membicarakan soal manusia yang mempunyai keluarga yang ditanggungnya.

Dari data jumlah pelaku kecelakaan sebesar 6.215 orang, sebanyak 4.345 orang di antaranya adalah karyawan, yang menjadi tumpuan hidup bagi keluarganya. Dalam feature di halaman 1 harian ini, Jumat, 24 Agustus 2012, dikisahkan, Sugiyono (39) tewas ketika minibus yang dikendarainya mengalami kecelakaan di Kendal, Jawa Tengah. Ia meninggalkan istrinya, Rohaya (30), dan dua anaknya, Ridwan Budi Saputra (12) dan Langgeng Dewi Permana (6). Perjalanan hidup Sugiyono di dunia sudah berakhir, tetapi istri dan kedua anaknya masih harus terus melanjutkan perjalanan hidupnya tanpa tahu dari mana biaya untuk menghidupi mereka.

Jika ada imbauan kepada pengendara untuk berhati-hati saat berlalu lintas di jalan atau diminta menggunakan perangkat pengaman, jawaban mereka adalah kalau sudah takdir mau apa lagi. Mereka lupa bahwa ada keluarga yang menantikan mereka selamat sampai di rumah. Jika pengendara mengalami kecelakaan, keluarga mereka di rumah akan dimiskinkan. Jika tewas, selain harus menanggung biaya pemakaman, keluarga juga kehilangan penopang hidup. Jika cacat, keluarga selain kehilangan penopang hidup mereka juga harus menanggung biaya perawatan dan pengobatan.

Tim Kerja Sama Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia pada 2002 atau 10 tahun lalu membuat perkiraan bahwa kecelakaan itu menimbulkan pemiskinan terhadap 62,5 persen dari keluarga korban kecelakaan yang meninggal, sedangkan bagi korban luka berat 20 persen mengalami pemiskinan dan penurunan tingkat kesejahteraan.

Tidak Sederhana

Melihat kejadian yang sama berulang dari tahun ke tahun, kita pun bertanya-tanya siapa yang harus disalahkan. Paling mudah adalah menunjuk pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara. Namun, sesungguhnya persoalannya tidaklah sesederhana itu, setiap pihak mempunyai andil sendiri-sendiri.

Pemerintah tidak mampu menyiapkan prasarana jalan yang memungkinkan mudik itu berlangsung dengan nyaman dan aman. Perbaikan jalan dilakukan mendekati Idul Fitri dan perbaikan itu belum selesai pada saat mudik dimulai. Akibatnya, selain terjadi kemacetan, jalan yang rusak itu juga mengakibatkan terjadinya kecelakaan.

Pemerintah juga belum mampu menyediakan transportasi kereta api yang nyaman dan murah bagi pemudik. Pada tahun 2012, perjalanan dengan kereta api dibuat nyaman dengan membatasi penumpang kereta api sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Akibatnya, 6.000 orang tidak terangkut kereta api. Orang-orang ini kemudian menggunakan bus, mobil pribadi, atau sepeda motor.

Dari 4.334 kecelakaan lalu lintas yang terjadi, penyebab terbesar adalah faktor kesalahan manusia (human error) sebanyak 65 persen, terutama karena mengantuk dan kelelahan. Penyebab kedua terbesar adalah prasarana jalan (13 persen). Penyebab ketiga adalah kelaikan kendaraan (sekitar 10 persen) dan keempat adalah laik jalan (10 persen).
Dan, rendahnya disiplin pengendara juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan. Mulai dari kepatuhan terhadap rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas hingga kepemilikan surat izin mengemudi (SIM). Dari data pelaku kecelakaan diketahui bahwa pelaku yang tidak memiliki SIM berjumlah 3.787 orang.

Ada baiknya, mulai saat ini pemerintah melakukan persiapan sebaik-baiknya agar pada perjalanan mudik mendatang kecelakaan dapat ditekan seminimal mungkin.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pada saat mudik itu ada lebih dari 22 juta warga yang melakukan perjalanan mudik, 8,2 juta di antaranya dari Jakarta dan sekitarnya. Dalam hal pergerakan penduduk sebesar itu, pemerintah tidak dapat menanganinya secara biasa. Diperlukan tindakan mirip dalam keadaan darurat perang, di mana kendali dan koordinasi harusnya dipegang oleh menteri koordinator. Dengan demikian, lintas sektoral dapat dilakukan dengan mudah, termasuk mengerahkan kendaraan TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar