Kembali pada
Pintu Agama
Sumasno Hadi ; Alumnus Master Filsafat UGM,
Dosen Pendidikan Sendratasik Unlam Banjarmasin |
SUARA
KARYA, 24 Agustus 2012
Membicarakan 'sampah' terkadang seperti terdengar
tak etis, atau malah terkesan jorok dan menjijikkan. Selain sampah-sampah
material sisa konsumsi manusia, sering kita tak menyadari adanya sampah
immaterial dalam diri kita. Sampah pikiran sebagai entitas kekotoran hati
manusia ini pun sangat berbahaya. Masyarakat kita sendiri kini sedang mengalami
ancaman bahaya akibat sampah immaterial yang menggunung di mana-mana. Inilah
suatu refleksi kebobrokan mental manusia dalam bentuk kekotoran (sampah)
pikiran.
Jika kita sedikit kritis, bukankah perilaku
seks bebas di kalangan remaja kita itu perilaku sampah? Bukankah tawuran
antar-kelompok itu adalah tindakan sampah? Bukankah menggunakan jabatan dan
kekuasaan untuk menindas rakyat yang lemah itu adalah sampah? Bukankah
menghambur-hamburkan uang rakyat untuk plesiran ke luar negeri itu juga sampah?
Dan, masih banyak lagi sampah pikiran yang menggerogoti moralitas manusia.
Jika direnungkan secara lebih mendalam, sumber
utama sampah-sampah pikiran yang bertebaran di berbagai dimensi kehidupan
adalah hati manusia. Sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad SAW, manakala segumpal
daging yang bernama hati itu kotor maka seluruh tubuh juga akan menjadi kotor.
Hati yang kotor menjadi sumber utama sehingga menimbulkan kekotoran dalam
hidup. Soal hati manusia, kaitannya tentu saja dengan nafsu manusia. Dengan
potensi nafsu ini, seringkali pikiran atau akal yang jernih - juga hati yang
bersih - dengan mudahnya tergilas oleh nafsu serakah manusia. Dengan nafsu yang
tidak terkendali, manusia sering terjerumus dalam perilaku amoral.
Seorang filsuf muslim dari Spanyol, Avempace
(Ibnu Bajjah) dalam pemikirannya mengenai Fenomenologi
Jiwa, membedakan perbuatan atau tindakan manusia itu dari sisi pendorong
atau motif manusia dalam melakukan sesuatu. Manusia setiap akan melakukan sesuatu
tak pernah lepas dari motif naluri atau hal-hal yang berhubungan dengannya.
Naluri manusia di sini bukanlah hati, melainkan nafsu. Nafsu sangat berkaitan
dengan hasrat manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia selama tindakannya itu
mengandung unsur-unsur hasrat, itulah nafsu.
Hati yang kotor penuh sampah jelas akan
menimbulkan nafsu liar, nafsu yang tiada kenal norma dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan begitu, apakah nafsu pada manusia perlu dihentikan dan
dibunuh eksistensinya? Apakah dengan menghilangkan nafsu tersebut kemudian
segalanya akan membaik? Tentu saja 'tidak!'
Karena, Tuhan memberikan nafsu kepada
manusia tidaklah percuma dan sia-sia. Hakikat semua ciptaan-Nya, tiada yang 'dibuat' tanpa maksud dan kegunaan.
Tanpa nafsu, manusia tentu tidak akan
berkembang dan tidak akan mampu menghasilkan kehidupan yang dinamis. Tanpa
nafsu, manusia hanyalah seonggok daging yang lemah. Maka, dengan nafsunya itu
sudah semestinya manusia melahirkan bermacam peradaban dan kebudayaan melalui
kreativitasnya. Kreativitas manusia sebagai hasil dorongan nafsu yang
diselaraskan dengan akal dan hati, kemudian melahirkan kebudayaan, dan
melahirkan peradaban. Jadi, nafsu adalah potensi manusia yang tidak mesti
dibunuh. Lebih tepatnya, nafsu-nafsu dalam diri kita mesti dikendalikan.
Penyair besar Rendra menyebut potensi manusia
itu dengan istilah 'daya hidup' dan 'daya mati'. Daya hidup, kata Rendra,
adalah daya atau kekuatan manusia untuk maju, mengembangkan kemampuan dalam
mencapai kehidupan yang lebih baik. Daya ini memiliki peranan penting dalam
mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan daya mati, menurut
Rendra, adalah kekuatan manusia yang merusak dirinya maupun orang lain. Memang,
potensi yang dimiliki manusia mengandung nilai positif dan negatif sebagaimana
dalam penjelmaan daya hidup dan daya mati.
Kebobrokan dan kejatuhan manusia pada
kenistaan, dalam sejarah dunia mencatat bahwa semuanya bersumber pada
ketidakmampuan manusia pada usaha pengendalian nafsu-nafsunya. Akibat
terlepasnya kendali diri manusia atas nafsunya itu, maka sampahlah jadinya.
Manusia seperti itu memang menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi
kehidupan, sehingga perilaku amoral dan non-etis pun tak ayal berlangsung
terus-menerus. Dan, sesungguhnya, kunci pengendalian nafsu adalah keselarasan
akal dan hati.
Komunikasi yang baik antara akal dan hati
sanggup mengendalikan kuatnya dorongan nafsu. Dengan demikian, manusia
semestinya mengoptimalkan nafsunya untuk tindakan dan perilaku yang baik dan etis
agar berkuranglah sampah-sampah yang menggunung itu.
Dhus,
bagaimanakah cara mencapai keselarasan akal dan hati sebagai pengendali nafsu
manusia? Tiada lain, manusia mesti kembali pada hakikatnya sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Manusia mesti kembali kepada asal-usulnya. Manusia mesti
berlindung kepada Tuhan atas segala kelemahan dan kekurangannya.
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam
esainya, Antara Manusia Memiliki dan
Manusia Dipinjami berpandangan bahwa manusia tak pernah memiliki dirinya
sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Menurut Emha, manusia ada
karena ada 'sesuatu' yang
memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada, manusia memiliki sesuatu dalam
keberadaannya itu bukan karena haknya memiliki sesuatu, melainkan karena ada 'sesuatu' yang meminjamkan kepadanya.
Memang, manusia dapat
berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan lantaran sejak semula ia merencanakan
dan menentukan bahwa ia bisa berjalan dan menggerakkan badan. Melainkan, karena
ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkan-Nya bisa berjalan dan
menggerakkan badan. Sesuatu itu adalah Sang Causa Prima, Tuhan. Maka, menjadi benar
bahwa dalam usaha mencapai keselarasan akal dan hati sebagai pengendali nafsu
manusia agar 'sampah-sampah' menjadi
sirna, jalannya adalah kembali kepada Tuhan. Kembali kepada Sang Penyebab
Utama. Dan, kembali kepada-Nya melalui pintu-pintu ajaran agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar