Sabtu, 25 Agustus 2012

Kembali pada Pintu Agama


Kembali pada Pintu Agama
Sumasno Hadi ;  Alumnus Master Filsafat UGM,
Dosen Pendidikan Sendratasik Unlam Banjarmasin
SUARA KARYA, 24 Agustus 2012


Membicarakan 'sampah' terkadang seperti terdengar tak etis, atau malah terkesan jorok dan menjijikkan. Selain sampah-sampah material sisa konsumsi manusia, sering kita tak menyadari adanya sampah immaterial dalam diri kita. Sampah pikiran sebagai entitas kekotoran hati manusia ini pun sangat berbahaya. Masyarakat kita sendiri kini sedang mengalami ancaman bahaya akibat sampah immaterial yang menggunung di mana-mana. Inilah suatu refleksi kebobrokan mental manusia dalam bentuk kekotoran (sampah) pikiran.

Jika kita sedikit kritis, bukankah perilaku seks bebas di kalangan remaja kita itu perilaku sampah? Bukankah tawuran antar-kelompok itu adalah tindakan sampah? Bukankah menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk menindas rakyat yang lemah itu adalah sampah? Bukankah menghambur-hamburkan uang rakyat untuk plesiran ke luar negeri itu juga sampah? Dan, masih banyak lagi sampah pikiran yang menggerogoti moralitas manusia.

Jika direnungkan secara lebih mendalam, sumber utama sampah-sampah pikiran yang bertebaran di berbagai dimensi kehidupan adalah hati manusia. Sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad SAW, manakala segumpal daging yang bernama hati itu kotor maka seluruh tubuh juga akan menjadi kotor. Hati yang kotor menjadi sumber utama sehingga menimbulkan kekotoran dalam hidup. Soal hati manusia, kaitannya tentu saja dengan nafsu manusia. Dengan potensi nafsu ini, seringkali pikiran atau akal yang jernih - juga hati yang bersih - dengan mudahnya tergilas oleh nafsu serakah manusia. Dengan nafsu yang tidak terkendali, manusia sering terjerumus dalam perilaku amoral.

Seorang filsuf muslim dari Spanyol, Avempace (Ibnu Bajjah) dalam pemikirannya mengenai Fenomenologi Jiwa, membedakan perbuatan atau tindakan manusia itu dari sisi pendorong atau motif manusia dalam melakukan sesuatu. Manusia setiap akan melakukan sesuatu tak pernah lepas dari motif naluri atau hal-hal yang berhubungan dengannya. Naluri manusia di sini bukanlah hati, melainkan nafsu. Nafsu sangat berkaitan dengan hasrat manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia selama tindakannya itu mengandung unsur-unsur hasrat, itulah nafsu.

Hati yang kotor penuh sampah jelas akan menimbulkan nafsu liar, nafsu yang tiada kenal norma dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, apakah nafsu pada manusia perlu dihentikan dan dibunuh eksistensinya? Apakah dengan menghilangkan nafsu tersebut kemudian segalanya akan membaik? Tentu saja 'tidak!'  Karena, Tuhan memberikan nafsu kepada manusia tidaklah percuma dan sia-sia. Hakikat semua ciptaan-Nya, tiada yang 'dibuat' tanpa maksud dan kegunaan.

Tanpa nafsu, manusia tentu tidak akan berkembang dan tidak akan mampu menghasilkan kehidupan yang dinamis. Tanpa nafsu, manusia hanyalah seonggok daging yang lemah. Maka, dengan nafsunya itu sudah semestinya manusia melahirkan bermacam peradaban dan kebudayaan melalui kreativitasnya. Kreativitas manusia sebagai hasil dorongan nafsu yang diselaraskan dengan akal dan hati, kemudian melahirkan kebudayaan, dan melahirkan peradaban. Jadi, nafsu adalah potensi manusia yang tidak mesti dibunuh. Lebih tepatnya, nafsu-nafsu dalam diri kita mesti dikendalikan.

Penyair besar Rendra menyebut potensi manusia itu dengan istilah 'daya hidup' dan 'daya mati'. Daya hidup, kata Rendra, adalah daya atau kekuatan manusia untuk maju, mengembangkan kemampuan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Daya ini memiliki peranan penting dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan daya mati, menurut Rendra, adalah kekuatan manusia yang merusak dirinya maupun orang lain. Memang, potensi yang dimiliki manusia mengandung nilai positif dan negatif sebagaimana dalam penjelmaan daya hidup dan daya mati.

Kebobrokan dan kejatuhan manusia pada kenistaan, dalam sejarah dunia mencatat bahwa semuanya bersumber pada ketidakmampuan manusia pada usaha pengendalian nafsu-nafsunya. Akibat terlepasnya kendali diri manusia atas nafsunya itu, maka sampahlah jadinya. Manusia seperti itu memang menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan, sehingga perilaku amoral dan non-etis pun tak ayal berlangsung terus-menerus. Dan, sesungguhnya, kunci pengendalian nafsu adalah keselarasan akal dan hati.

Komunikasi yang baik antara akal dan hati sanggup mengendalikan kuatnya dorongan nafsu. Dengan demikian, manusia semestinya mengoptimalkan nafsunya untuk tindakan dan perilaku yang baik dan etis agar berkuranglah sampah-sampah yang menggunung itu.

Dhus, bagaimanakah cara mencapai keselarasan akal dan hati sebagai pengendali nafsu manusia? Tiada lain, manusia mesti kembali pada hakikatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia mesti kembali kepada asal-usulnya. Manusia mesti berlindung kepada Tuhan atas segala kelemahan dan kekurangannya.

Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam esainya, Antara Manusia Memiliki dan Manusia Dipinjami berpandangan bahwa manusia tak pernah memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Menurut Emha, manusia ada karena ada 'sesuatu' yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada, manusia memiliki sesuatu dalam keberadaannya itu bukan karena haknya memiliki sesuatu, melainkan karena ada 'sesuatu' yang meminjamkan kepadanya.

Memang, manusia dapat berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan lantaran sejak semula ia merencanakan dan menentukan bahwa ia bisa berjalan dan menggerakkan badan. Melainkan, karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkan-Nya bisa berjalan dan menggerakkan badan. Sesuatu itu adalah Sang Causa Prima, Tuhan. Maka, menjadi benar bahwa dalam usaha mencapai keselarasan akal dan hati sebagai pengendali nafsu manusia agar 'sampah-sampah' menjadi sirna, jalannya adalah kembali kepada Tuhan. Kembali kepada Sang Penyebab Utama. Dan, kembali kepada-Nya melalui pintu-pintu ajaran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar