Sabtu, 25 Agustus 2012

Peran Ekonomi Sinema


Peran Ekonomi Sinema
Satrio Wahono ;  Dosen Filsafat Fakultas Ekonomi, Universitas Pancasila
KOMPAS, 25 Agustus 2012


Tragis! Itulah kesan yang tebersit bercampur haru ketika mengetahui salah satu karya tonggak industri film nasional arahan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Lewat Jam Malam (1954), berhasil direstorasi sempurna.

Bahkan, film ini sudah sukses diputar dalam resolusi berkualitas tinggi pada Festival Film Cannes, 16-27 Mei 2012, menyusul di Tanah Air Juni lalu. Mengapa tragis? Pihak yang punya hajat melakukan kerja budaya luhur itu bukanlah Indonesia sebagai sang empunya aset, melainkan Pemerintah Singapura penggelontor dana proyek mulia itu melalui The National Museum of Singapore.

Fakta memiriskan hati ini kian menambah catatan hitam penelantaran industri sinema di Indonesia. Sebelumnya kita dientakkan kenyataan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sudah sejak lama menghentikan subsidi bagi Sinematek Indonesia sebagai lembaga bentukan Pemerintah DKI Jakarta yang bertanggung jawab mengarsipkan koleksi film. Padahal, Pasal 54 UU No 53/2009 tentang Perfilman sudah tegas mengatur bahwa pemerintah daerah wajib memberi bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film.

Buah pengabaian terhadap pengarsipan film ini jelas: terbengkalainya warisan budaya tinggi negeri kita akibat dana perawatan yang cekak. Memang negeri ini masih memandang sinema sebagai produk kelas dua: film dianggap sebagai produk budaya belaka, yang tak memiliki fungsi dan dampak ekonomi yang kentara bagi Indonesia.
Sungguh persepsi yang keliru. Kita bisa melihat dua contoh konkret betapa film berperan besar mendongkrak perekonomian suatu bangsa.

Pertama, Korea Selatan. Negeri ginseng ini minim sumber daya alam, maka ekspor bahan mentah bukanlah pilihan memajukan perekonomian mereka. Namun, Korsel dikaruniai situs-situs panorama alam indah lagi memukau. Karakteristik empat musimnya menawan. Soalnya kemudian, bagaimana menyosialisasikan keunggulan turisme itu?
Korsel punya jawaban jitu: film, terutama film serial, berdurasi panjang. Ibaratnya Korsel memiliki ide membuat semacam program iklan bersambung.

Karena itu, dalam catatan sejarah sinema Korea, salah satu film serial yang menjadi arus pertama film bersendikan kekuatan panorama alam adalah Summer Love Story (2000). Diramu dengan tema universal romantisisme cinta dan drama menguras air mata, film berlatar keindahan musim panas di Korea ini menuai sukses seketika. Bahkan sekuelnya, Winter Sonata (2002), yang menonjolkan pesona musim dingin tak kalah fenomenal. Sama pentingnya, musik latar film-film itu ikut meroket.

Efek dari kedua film ini dan produk sinema susulannya mengagumkan. Industri pariwisata Korsel melejit pesat karena wisatawan luar negeri ingin menyaksikan langsung pesona keindahan alam yang sebelumnya hanya bisa mereka saksikan di layar kaca. Tak kurang pada 2010 saja, 8,5 juta turis mendatangi Korsel, menghasilkan devisa yang bukan main besar. Saking tingginya, pendapatan pariwisata Korsel menduduki peringkat ke-31 terbesar dunia.

Tambahan lagi, karya sinema di atas merintis apa yang disebut Hallyu alias gelombang Korea: tersebarnya berbagai produk budaya lain seperti musik, bahasa, masakan, dan buku tentang Korea ke seluruh dunia. Masyarakat dunia pun tak bisa lepas dari jerat keranjingan budaya pop Korea yang sering disingkat K-Pop ini.

Komunitas global memang sudah larut dalam buaian film-film Korea yang ceritanya menyentuh jiwa dan pemandangan alam serta bintang-bintangnya enak dipandang. Hasilnya fenomenal: pendapatan yang diraup Korsel dari produk budayanya ini mencapai 4,2 miliar dollar AS pada 2011 saja.

Kedua, Amerika Serikat. Kehebatan industri sinema di sana tak perlu diragukan lagi. Sebagai kiblat gaya hidup dan budaya modern, AS sadar betul akan kekuatan sinema untuk menyebarkan budaya mereka. Industri sinema di sana punya kekuatan ekonomi yang luar biasa hebatnya. Bayangkan, satu film saja, The Avengers, pada dua hari pemutarannya di AS di akhir pekan mampu mencetak 300 juta dollar AS atau Rp 3 triliun. Lebih gila lagi, film terlaris sepanjang masa, Titanic (1997) besutan sineas James Cameron, sejauh ini menghasilkan lebih dari 1 miliar dollar AS atau Rp 10 triliun.

Menggairahkan Sinema

Jadi, tak ada lagi alasan bagi Indonesia menganaktirikan industri sinema. Asalkan digarap serius, industri perfilman niscaya bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi bagi negara kita, terutama dari segi promosi pariwisata dan budaya.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, misalnya, harus berdarma mendongkrak kembali industri sinema. Film kita bisa mendorong turis mancanegara berbondong-bondong ke Indonesia memajukan industri pariwisata kita. Pemerintah juga mesti mengucurkan subsidi bagi industri sinema kita. Beberapa negara bagian di AS, seperti New Mexico, memberi pinjaman bebas bunga untuk film yang diproduksi di sana.
Kementerian BUMN bisa pula mendorong perusahaan seperti Perum Perusahaan Film Negara memproduksi film yang sesuai dengan visi bangsa kita. Kita masih ingat PFN di zaman dulu mampu melahirkan produk film televisi dahsyat Si Unyil.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar