Peran Ekonomi
Sinema
Satrio Wahono ; Dosen Filsafat Fakultas Ekonomi,
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
25 Agustus 2012
Tragis! Itulah kesan yang tebersit bercampur
haru ketika mengetahui salah satu karya tonggak industri film nasional arahan
Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Lewat Jam Malam (1954), berhasil
direstorasi sempurna.
Bahkan, film ini sudah sukses diputar dalam
resolusi berkualitas tinggi pada Festival Film Cannes, 16-27 Mei 2012, menyusul
di Tanah Air Juni lalu. Mengapa tragis? Pihak yang
punya hajat melakukan kerja budaya luhur itu bukanlah Indonesia sebagai sang
empunya aset, melainkan Pemerintah Singapura penggelontor dana proyek mulia itu
melalui The National Museum of Singapore.
Fakta memiriskan hati ini kian menambah
catatan hitam penelantaran industri sinema di Indonesia. Sebelumnya kita
dientakkan kenyataan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sudah sejak lama
menghentikan subsidi bagi Sinematek Indonesia sebagai lembaga bentukan
Pemerintah DKI Jakarta yang bertanggung jawab mengarsipkan koleksi film.
Padahal, Pasal 54 UU No 53/2009 tentang Perfilman sudah tegas mengatur bahwa
pemerintah daerah wajib memberi bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan
film.
Buah pengabaian terhadap pengarsipan film ini
jelas: terbengkalainya warisan budaya tinggi negeri kita akibat dana perawatan
yang cekak. Memang negeri ini masih memandang sinema sebagai produk kelas dua:
film dianggap sebagai produk budaya belaka, yang tak memiliki fungsi dan dampak
ekonomi yang kentara bagi Indonesia.
Sungguh persepsi yang keliru. Kita bisa
melihat dua contoh konkret betapa film berperan besar mendongkrak perekonomian
suatu bangsa.
Pertama, Korea Selatan. Negeri ginseng ini
minim sumber daya alam, maka ekspor bahan mentah bukanlah pilihan memajukan
perekonomian mereka. Namun, Korsel dikaruniai situs-situs panorama alam indah
lagi memukau. Karakteristik empat musimnya menawan. Soalnya kemudian, bagaimana
menyosialisasikan keunggulan turisme itu?
Korsel punya jawaban jitu: film, terutama
film serial, berdurasi panjang. Ibaratnya Korsel memiliki ide membuat semacam
program iklan bersambung.
Karena itu, dalam catatan sejarah sinema
Korea, salah satu film serial yang menjadi arus pertama film bersendikan
kekuatan panorama alam adalah Summer Love Story (2000). Diramu dengan tema
universal romantisisme cinta dan drama menguras air mata, film berlatar
keindahan musim panas di Korea ini menuai sukses seketika. Bahkan sekuelnya,
Winter Sonata (2002), yang menonjolkan pesona musim dingin tak kalah fenomenal.
Sama pentingnya, musik latar film-film itu ikut meroket.
Efek dari kedua film ini dan produk sinema
susulannya mengagumkan. Industri pariwisata Korsel melejit pesat karena
wisatawan luar negeri ingin menyaksikan langsung pesona keindahan alam yang
sebelumnya hanya bisa mereka saksikan di layar kaca. Tak kurang pada 2010 saja,
8,5 juta turis mendatangi Korsel, menghasilkan devisa yang bukan main besar.
Saking tingginya, pendapatan pariwisata Korsel menduduki peringkat ke-31
terbesar dunia.
Tambahan lagi, karya sinema di atas merintis
apa yang disebut Hallyu alias gelombang Korea: tersebarnya berbagai produk
budaya lain seperti musik, bahasa, masakan, dan buku tentang Korea ke seluruh
dunia. Masyarakat dunia pun tak bisa lepas dari jerat keranjingan budaya pop
Korea yang sering disingkat K-Pop ini.
Komunitas global memang sudah larut dalam
buaian film-film Korea yang ceritanya menyentuh jiwa dan pemandangan alam serta
bintang-bintangnya enak dipandang. Hasilnya fenomenal: pendapatan yang diraup
Korsel dari produk budayanya ini mencapai 4,2 miliar dollar AS pada 2011 saja.
Kedua, Amerika Serikat. Kehebatan industri
sinema di sana tak perlu diragukan lagi. Sebagai kiblat gaya hidup dan budaya
modern, AS sadar betul akan kekuatan sinema untuk menyebarkan budaya mereka.
Industri sinema di sana punya kekuatan ekonomi yang luar biasa hebatnya.
Bayangkan, satu film saja, The Avengers,
pada dua hari pemutarannya di AS di akhir pekan mampu mencetak 300 juta dollar
AS atau Rp 3 triliun. Lebih gila lagi, film terlaris sepanjang masa, Titanic (1997) besutan sineas James
Cameron, sejauh ini menghasilkan lebih dari 1 miliar dollar AS atau Rp 10
triliun.
Menggairahkan Sinema
Jadi, tak ada lagi alasan bagi Indonesia
menganaktirikan industri sinema. Asalkan digarap serius, industri perfilman
niscaya bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi bagi negara kita, terutama dari
segi promosi pariwisata dan budaya.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
misalnya, harus berdarma mendongkrak kembali industri sinema. Film kita bisa
mendorong turis mancanegara berbondong-bondong ke Indonesia memajukan industri
pariwisata kita. Pemerintah juga mesti mengucurkan subsidi bagi industri sinema
kita. Beberapa negara bagian di AS, seperti New Mexico, memberi pinjaman bebas
bunga untuk film yang diproduksi di sana.
Kementerian BUMN bisa pula mendorong
perusahaan seperti Perum Perusahaan Film Negara memproduksi film yang sesuai
dengan visi bangsa kita. Kita masih ingat PFN di zaman dulu mampu melahirkan produk
film televisi dahsyat Si Unyil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar