Sabtu, 25 Agustus 2012

Merdeka dari Korupsi


Merdeka dari Korupsi
Putera Manuaba ;  Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
SUARA KARYA, 23 Agustus 2012


Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-67 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) baru saja kita lewati. Kita memang telah merdeka dari kungkungan penjajah. Namun, sekarang ini kita belum merdeka dari korupsi. Kita masih ada dalam belenggu korupsi yang menyengsarakan bangsa kita. Kapan kita dapat merdeka dari korupsi?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita memang harus memiliki kemerdekaan diri, kemerdekaan spiritual. Maksudnya, kemerdekaan sebagai pribadi-pribadi mandiri dalam kesadaran inklusif, sehingga senantiasa mampu berikhtiar dan membedakan secara tegas mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah. Dalam kemerdekaan ini juga, orientasi kita adalah mengedepankan sikap-sikap positif yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan umat manusia, serta alam lingkungan. Sikap dengan penuh dedikatif, patriotisme, altruisme, kompetitif, optimisme, dan seterusnya menjadi sikap-sikap yang kita utamakan.

Tiadanya kemerdekaan spiritual ini makin menonjol ada dalam masa pasca-Reformasi. Setelah jatuhnya Orde Baru, dan kita masuk pada masa Reformasi, tanpa tersadari, kita justru terjebak dalam belenggu besar korupsi dan suap yang sangat parah. Korupsi dan suap kini sudah merasuk ke segala lini, merusak sistem yang ada, dan seperti merusak moralitas bangsa kita.

Kegilaan akan materi seperti telah menjadi aparatus dan telah sedemikian jauh mengoyak nilai kearifan yang seharusnya menafasi gerak aktivitas dan kreativitas kita. Materi, yang secara ontologis seharusnya kita posisikan sebagai instrumen hidup, justru menjadi belenggu yang mahahebat yang mengontaminasi jiwa dan seperti menggantikan kekejaman berlipat-lipat si penjajah. Kasus spektakuler dan mutakhir, misalnya, kasus dugaan korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama, korupsi simulasi surat izin mengemudi (SIM) di kepolisian, dan suap pengusaha Tuti Murdaya.

Membudaya

Korupsi dan suap di negeri kita ini seolah dianggap sebagai tren dan model saja. Dan, anehnya, orang yang melakukan korupsi itu seperti tak berdosa saja. Sudah berapa orang terhormat di negeri ini melakukan korupsi. Jumlahnya tak terhitung lagi, karena hampir setiap hari di media massa pasti ada pemberitaan terkait tindakan korupsi yang dilakukan orang-orang yang seharusnya justru memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya. Korupsi malah seperti dijadikan paduan suara. Semakin bertambah banyak saja orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk kejahatan korupsi. Bukannya kepintaran mereka digunakan untuk kebaikan.

Kondisi seperti itu tentu menjadi kendala untuk mengisi kemerdekaan yang lebih hakiki. Apa yang didambakan Bung Karno, benar-benar berjalan mundur, sebab yang tumbuh justru adalah pengkhianatan atas apa yang menjadi amanat para pendahulu bangsa.
Peter L Berger, sosiolog kontemporer, menyatakan betapa pentingnya kemajuan itu diraih dengan melakukan pembiasaan atas nilai-nilai yang diharapkan dapat mendukungnya. Pembiasaan itu sangat penting artinya untuk pembudayaan. Jika orang telah terbiasa mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dalam kesehariannya, niscaya budaya yang akan terbina adalah budaya yang baik. Dan, sebaliknya, jika yang terbiasakan adalah nilai yang buruk, maka budaya yang tercipta adalah budaya yang buruk.

Dalam hal ini, tindakan korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan secara sistemik serta dalam jangka waktu yang sangat lama, tentu saja menjadi penyebab lahirkan budaya buruk, yakni budaya koruptif. Dan, jika korupsi telah menjadi budaya, maka budaya itu akan amat sulit untuk disembuhkan. Korupsi yang terlalu lama dilakukan dalam masa pasca-kemerdekaan ini, secara tak langsung dan tak disengaja, juga merupakan proses pembudayaan. Untuk itu, agar korupsi tak menjadi budaya, begitu ada kasus korupsi seharusnya segera ditumpas dengan tegas. Jangan ada pembiaran, apalagi dalam waktu lama.

Perang atas sikap korup dan penyuap ini sebenarnya dapat diatasi dengan melepaskan diri dari belenggu materi. Dan, belenggu ini terjadi justru karena belum adanya kemerdekaan spiritual, sehingga tak ada kekuatan spiritualitas dari dalam diri untuk menangkal apa yang buruk dan salah. Akibatnya, korupsi itu justru oleh sebagian orang dianggap bukan dosa.

Spiritualitas dalam kedirian kita memang sangat penting untuk kita bangun dengan penuh kesadaran. Hanya orang-orang yang mampu menyatukan spiritualitas dengan wacana dan perbuatan itulah yang akan dapat melakukan tindakan terpuji. Ia bisa memosisikan materi dengan yang seharusnya. Ia tak terbelenggu materi. Hanya orang-orang yang demikian yang dapat disebut 'merdeka dari korupsi'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar