Urbanisasi dan
Lebaran
Budi Rajab ; Pengajar pada Jurusan Antropologi FISIP
Unpad
|
KOMPAS,
25 Agustus 2012
Wacana tentang arus mudik dan arus balik
penduduk kota pada peristiwa Lebaran terkait erat dengan fenomena gerak
penduduk.
Mudik berarti kembalinya sebagian penduduk
dari kota-kota besar ke kota-kota kecil atau desa-desa, tempat mereka
dilahirkan atau hidup pada masa kecil. Ritus tersebut dilakukan dalam rangka
merayakan Lebaran atau Idul Fitri dengan berkumpul bersama sanak saudara dan
handai tolan untuk bersilaturahim, saling memaafkan, sekaligus berlibur.
Sementara balik adalah kembalinya mereka ke kota tempat mencari nafkah,
bersekolah, atau berkarya dalam sektor sosial-budaya.
Namun, tampaknya ada kecenderungan
orang-orang yang balik ke kota jumlahnya menjadi lebih besar ketimbang yang
mudik. Hal ini karena sebagian pemudik—terutama yang berasal dari penduduk
lapisan menengah ke bawah—waktu balik ke kota membawa kerabat, teman, atau
tetangga yang juga hendak mengadu nasib di kota.
Dalam konteks inilah arus balik pada waktu
Lebaran sekaligus menunjuk pada gerak penduduk (population mobility),
perpindahan penduduk dari desa ke kota dan bertambahnya jumlah penduduk kota.
Inilah bagian dari fenomena urbanisasi.
Metodis-Komprehensif
Wilayah perkotaan di Eropa dan Amerika,
terutama mulai abad ke-19, menjadi jauh lebih dinamis daripada wilayah
pedesaan. Para pengambil keputusan pada pemerintahan yang bekerja dan tinggal
di kota terus mendorong wilayah sekitar dan terdekat mereka untuk lebih
berkembang dalam hal perekonomian, pendidikan formal, dan sektor
sosial-budayanya.
Lantaran dorongan itulah kemudian kota tak
lagi melulu sebagai pusat pemerintahan. Lalu, berbondong-bondonglah penduduk
pedesaan mendatanginya untuk mencari peluang usaha dan kesempatan kerja,
meneruskan sekolah, dan mengembangkan kreativitas budaya.
Taiwan pada akhir 1950-an dan Korea Selatan
pada awal 1960-an juga melakukan hal yang sama. Bahkan, untuk wilayah
pedesaannya dilakukan reforma agraria, penataan pada penguasaan dan pemilikan
tanah supaya distribusinya lebih merata, cara produksi pertaniannya menjadi
lebih efisien, dan tenaga kerjanya dapat berkontribusi secara optimal.
Pembangunan kota dan reforma agraria tersebut langsung menambah gerak penduduk
dari desa ke kota.
Namun, dalam rangka pembangunan ekonomi,
pendidikan, dan kebudayaan di sana, negara- negara tersebut melakukan perencanaan
yang metodis-komprehensif. Juga membuat berbagai aturan yang diterapkan secara
konsisten. Tidak dilakukan pembatasan penduduk yang datang ke kota, tetapi
pendatang mesti menaati aturan yang sudah ditetapkan, dan bila melanggar diberi
sanksi keras. Karena itu, kota-kota menjadi lebih teratur dan tertib, di
antaranya dalam penggunaan tata ruang dan perilaku penduduknya di ruang-ruang
publik.
Terlebih dengan berlangsungnya dinamika
ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan di kota serta reforma agraria di desa,
urbanisasi jadi tidak terelakkan. Bahkan, kian membesar. Akan tetapi,
pemerintah pun memperoleh pendapatan yang besar dari hasil pungutan pajak,
retribusi, dan pungutan legal lainnya dari penduduk kota yang bertambah
tersebut. Hasil pengutan itu sebagian dialokasikan untuk membangun
infrastruktur serta sarana ekonomi, pendidikan, dan ruang-ruang publik untuk
pengembangan kreativitas kebudayaan dengan tetap menegakkan aturan secara
konsisten.
Dengan demikian, secara historis urbanisasi
merupakan gejala yang taken for granted. Begitulah yang akan terjadi dalam
konteks dinamika kota.
Dalam sejarah memang terjadi juga perpindahan
penduduk dari kota ke desa atau ruralisasi. Namun, itu berlangsung dalam
situasi ”abnormal”. Umpamanya karena terjadinya kerusuhan atau konflik terbuka
yang dahsyat di perkotaan.
Akan tetapi, gerak penduduk dari kota ke desa
itu bersifat temporer: jika situasi di kota sudah pulih, mereka akan kembali.
Atau ruralisasi itu dilakukan lewat tindakan represif dan koersif, seperti yang
terjadi di China pada masa Revolusi Kebudayaan, yakni ketika Mao Zedong
memegang tampuk kekuasaan pada periode 1960-an. Juga di Kamboja pada masa rezim
Pol Pot periode 1970-an. Namun, ruralisasi yang memakai kekerasan dan paksaan
itu telah menimbulkan korban jiwa yang tak terkira jumlahnya. Jutaan orang mati
dan menderita, dan terjadi kemandekan ekonomi, baik di desa maupun di kota.
Wajar dan Niscaya
Dari waktu ke waktu, kota-kota di Indonesia
pun menghadapi kasus urbanisasi ini. Dan, itu sesuatu yang wajar, yang
dimungkinkan karena terjadinya pertumbuhan ekonomi di kota, sementara di desa
malah terjadi kemandekan ekonomi. Di mana ada gula, di situ ada semut! Lebaran
hanyalah satu momentum dalam proses urbanisasi itu, mungkin beberapa hari
setelah Lebaran penduduk yang datang ke kota sedikit lebih besar ketimbang di
waktu-waktu biasa.
Hanya di Indonesia urbanisasi ini menjadi
masalah. Umumnya tingkat pendidikan pendatang rendah, kurang punya keahlian dan
keterampilan, serta tentunya juga tidak memiliki kapital. Pada akhirnya
sebagian besar dari mereka ”terjebak” ke dalam ekonomi informal dan kerja
serabutan. Di antaranya menjadi pedagang kaki lima yang menempati trotoar,
taman-taman, bahkan sampai menduduki sebagian badan jalan.
Dalam hal kebutuhan permukiman, banyak di
antara mereka yang kemudian tinggal di kolong-kolong jembatan, sempadan sungai,
taman-taman, atau tempat-tempat kosong lain. Di sana mereka mendirikan
gubuk-gubuk liar yang dihuni banyak orang sehingga memperlihatkan permukiman
padat dan kumuh.
Memang, bagi kota-kota di Indonesia
urbanisasi menjadi persoalan besar. Akan tetapi, itu juga karena pemerintah
tidak banyak melakukan persiapan untuk mengakomodasi dan mengelolanya, seperti
yang dilakukan negara-negara yang disebut di atas.
Oleh karena itu, tak usah heran—bahkan dapat
dipastikan— bila mobilitas penduduk dari pedesaan ini (apakah di waktu Lebaran
atau di waktu biasa) membuat kota-kota kian padat dan pengap. Kota menjadi tak
teratur, dipenuhi permukiman kumuh, dijejali para pekerja serabutan di sektor
informal dan ilegal, serta ruang-ruang publik yang tidak tertib alias semrawut.
Fenomena urbanisasi, pergerakan penduduk dari
desa ke kota, pada masa lalu, masa kini, dan juga pada masa yang akan
datang—apakah pada saat Lebaran atau pada hari-hari biasa— pasti terjadi. Jadi,
pemerintah kota harus siap mengelolanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar