Mudik itu
“Gila”, tetapi Mengapa Tetap Nekat
Sururi Alfaruq ; Pemimpin Redaksi SINDO
|
SINDO,
24 Agustus 2012
Kekuatan mudik, dalam momentum Idul Fitri
memang luar biasa. Ada nilai-nilai transendental dan kultural yang terkadang
tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Setiap mereka yang mudik akan merasakan hal itu. Dalam nilai-nilai
transendental, betapa setiap mereka yang mudik, batin dan alam bawah sadarnya
merasakan ada kekuatan yang disebut beyond
us. Kita menyaksikan betapa jutaan orang yang datang dari Jakarta, dan
berbagai penjuru kota di Indonesia, secara serempak seperti memiliki batin yang
sama; mereka ingin merayakan sebuah kemenangan.
“Pertempuran” selama sebulan pada bulan suci Ramadan, yang diakhiri dengan kemenangan, ingin ditumpahkan kebahagiaan kemenangan itu dengan keluarga dan saudara- saudara yang ada di tanah leluhurnya. Sungguh dahsyat! Dan, kekuatan transendental itu seperti telah menjadi energi baru yang membimbing setiap pemudik untuk bisa sampai kampung halamannya masing-masing. Bisa dibayangkan, betapa lelahnya setiap perjalanan mudik ke kampung halaman.
Setiap mudik yang dilakukan pada hari-hari puncaknya, dari Jakarta dengan tujuan Jawa Tengah misalnya, jarak tempuh waktu yang dalam waktu normal hanya delapan jam, bisa berubah menjadi 24 jam, bahkan bisa lebih. Para pemudik tidak semuanya menggunakan mobil baru, namun ada yang menggunakan mobil ala kadarnya, seperti mobil bak terbuka yang atapnya hanya ditutup dengan terpal agar bisa menahan panas. Kondisi kesederhanaan mobil itu pun masih diisi jumlah penumpang yang melebihi batas kewajaran.
Ada juga yang nekat mudik menggunakan bajaj yang seharusnya tidak layak untuk jarak tempuh yang jauh. Namun, tetap saja ada yang nekat membawa bajaj tersebut dengan diisi penumpang melebihi batas kewajaran. Yang lebih “gila”lagi, mereka yang mudik dengan menggunakan kendaraan roda dua. Bisa dibayangkan, seperti apa rasanya? Jumlah mereka juga jutaan.Yang juga seperti di luar akal sehat, bagaimana pemudik menggunakan sepeda motor bisa membawa empat penumpang; dengan formasi, dua anak dan pasangan suami-istri.
Yang membuat miris, di antara penumpang sepeda motor,banyak anak yang hanya diapit bapak dan ibunya. Pertanyaan kita; kok anakanak kecil itu bisa bertahan sampai di kampung tujuan?
Pertanyaan lain; kok bapaknya yang mengendarai motor itu fisiknya kuat menahan terjangan angin kencang sepanjang perjalanan yang ribuan kilometer? Kok ibunya yang membonceng sambil memangku anaknya yang masih sangat kecil, dan di belakangnya dijepit tumpukan kardus, itu kok juga kuat bertahan sampai desanya? Kok anaknya yang masih kelas TK duduk di belakang kemudi yang terbuka terkena terjangan angin kencang, kok juga kuat bertahan sampai tujuan? Kok motornya juga kuat bertahan selama perjalanan pulang-pergi?
Luar biasa bukan! Tidak bisa dibayangkan bukan! Tapi itulah kenyataan di lapangan yang bisa disaksikan sepanjang perjalanan mudik Idul Fitri. Pun kisah yang serupa, pemudik yang mengendarai bajaj yang dalam perjalanannya tentu tidak mulus. Bisa ditebak, berapa kali bajajnya macet alias mogok karena dikendarai dengan tidak biasa. Tetapi pertanyaan yang menggelitik hati kita; mengapa pengendara bajaj itu tabah dan sabar sekali menghadapi bajajnya yang kerap mogok di jalan? Padahal, kita sering lihat di Jakarta, banyak sopir bajaj yang srogal-srogol (agak kacau bahasa prokemnya) di jalanan.
Sampai-sampai para pengendara mobil di Jakarta tidak ada yang berani dengan sopir bajaj, karena sering mengambil jalan sesukanya sehingga sering membuat pengendara mobil lain “jantungan”. Ada gurauan, yang berani dengan sopir bajaj hanya Tuhan.Tapi yang terjadi sekarang, dalam suasana mudik lebaran, para pemudik yang mengendarai bajaj bisa tabah, sabar, dan mengendarai bajajnya dengan sangat tertib. Itulah yang kita sebut sebuah kekuatan beyond us, atau sebuah nilai-nilai transendental yang dimiliki setiap pemudik.
Adapun nilai-nilai kultural lainnya dalam tradisi mudik Idul Fitri, meskipun bersifat ritual tahunan, memberi makna banyak (multi-meaning). Ada upaya merekatkan kembali hubungan kekeluargaan dan pertemanan yang sudah lama renggang. Ada upaya melatih kembali belajar sopan santun terhadap hubungan yang muda dengan keluarga yang tua. Ada upaya melatih menghargai tetangga yang tinggalnya ada di samping rumah, serta guru dan orangorang yang berjasa dalam sejarah hidupnya.
Pembelajaran itu tidak lain adalah dengan bersilaturahmi. Dan, silaturahmi itu menjadi kekuatan yang bisa menetralkan tabir, sekat, kelompok, serta dengki dengan segala jenisnya. Sekeras apa pun wajah seseorang karena hatinya memendam penuh kedengkian dan kemarahan, tatkala ada silaturahmi yang pertemuan antarmuka, wajah, dan hati yang tadinya keras, spontan berubah menjadi lembut dan tersenyum. Secara kultural pula, tradisi mudik mengajarkan giving. Ada adagium, the power of giving.
Dalam tradisi Jawa ada kebiasaan, tatkala Idul Fitri, pertemuan silaturahmi dengan keluarga tidak sekadar bersalaman dan bermaafan, namun harus memberi fitrah (pemberian) berupa amplop yang isinya uang. Wajar, ketika anak-anak sangat senang memasuki momentum lebaran, karena membayangkan akan mendapatkan amplop banyak. Para anak yang sudah mengenal tradisi fitrah (giving), ketika ada salah satu keluarganya atau saudaranya yang tidak memberi fitrah, maka mereka akan dicap; pelit, medit (kikir).
Mereka yang memberi fitrah, apalagi nominalnya besar, anak-anak akan dengan polosnya memuji; om ini, om itu, tante ini, tante itu baik banget. Itulah candaan yang memang ada dalam tradisi di Jawa. Tradisi kultural lainnya, kita menyaksikan betapa dalam giving itu ternyata mampu membangkitkan kemeriahan ekonomi rakyat kecil yang membanjiri sepanjang jalan yang dilalui pemudik. Karena itu, wajar ketika warga yang tempat tinggalnya di sepanjang jalan yang dilalui mudik setiap tahun berdoa agar jalannya selalu macet. Sebab dengan macet, para pemudik kelelahan.
Setelah kelelahan, pemudik beristirahat sejenak. Di situlah terjadinya transaksi ekonomi. Pemudik menghampiri pedagang kaki lima yang hanya menjual minuman, warung makanan, bahkan tempattempat toilet. Di situ ada giving, ada transaksi uang untuk membeli minuman, makanan, dan membayar sewa toilet.
Maka kalau setiap tahun perjalanan mudik selalu macet, sebaiknya berpikir positif, tidak perlu menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak bisa mengatur jalan dengan baik, tetapi “salahkan” warga sepanjang jalan pantura, karena memang doanya menghendaki setiap mudik tahunan itu macet, karena mereka juga bisa berharap berkah giving dari transaksi ekonomi dengan para pemudik. ●
“Pertempuran” selama sebulan pada bulan suci Ramadan, yang diakhiri dengan kemenangan, ingin ditumpahkan kebahagiaan kemenangan itu dengan keluarga dan saudara- saudara yang ada di tanah leluhurnya. Sungguh dahsyat! Dan, kekuatan transendental itu seperti telah menjadi energi baru yang membimbing setiap pemudik untuk bisa sampai kampung halamannya masing-masing. Bisa dibayangkan, betapa lelahnya setiap perjalanan mudik ke kampung halaman.
Setiap mudik yang dilakukan pada hari-hari puncaknya, dari Jakarta dengan tujuan Jawa Tengah misalnya, jarak tempuh waktu yang dalam waktu normal hanya delapan jam, bisa berubah menjadi 24 jam, bahkan bisa lebih. Para pemudik tidak semuanya menggunakan mobil baru, namun ada yang menggunakan mobil ala kadarnya, seperti mobil bak terbuka yang atapnya hanya ditutup dengan terpal agar bisa menahan panas. Kondisi kesederhanaan mobil itu pun masih diisi jumlah penumpang yang melebihi batas kewajaran.
Ada juga yang nekat mudik menggunakan bajaj yang seharusnya tidak layak untuk jarak tempuh yang jauh. Namun, tetap saja ada yang nekat membawa bajaj tersebut dengan diisi penumpang melebihi batas kewajaran. Yang lebih “gila”lagi, mereka yang mudik dengan menggunakan kendaraan roda dua. Bisa dibayangkan, seperti apa rasanya? Jumlah mereka juga jutaan.Yang juga seperti di luar akal sehat, bagaimana pemudik menggunakan sepeda motor bisa membawa empat penumpang; dengan formasi, dua anak dan pasangan suami-istri.
Yang membuat miris, di antara penumpang sepeda motor,banyak anak yang hanya diapit bapak dan ibunya. Pertanyaan kita; kok anakanak kecil itu bisa bertahan sampai di kampung tujuan?
Pertanyaan lain; kok bapaknya yang mengendarai motor itu fisiknya kuat menahan terjangan angin kencang sepanjang perjalanan yang ribuan kilometer? Kok ibunya yang membonceng sambil memangku anaknya yang masih sangat kecil, dan di belakangnya dijepit tumpukan kardus, itu kok juga kuat bertahan sampai desanya? Kok anaknya yang masih kelas TK duduk di belakang kemudi yang terbuka terkena terjangan angin kencang, kok juga kuat bertahan sampai tujuan? Kok motornya juga kuat bertahan selama perjalanan pulang-pergi?
Luar biasa bukan! Tidak bisa dibayangkan bukan! Tapi itulah kenyataan di lapangan yang bisa disaksikan sepanjang perjalanan mudik Idul Fitri. Pun kisah yang serupa, pemudik yang mengendarai bajaj yang dalam perjalanannya tentu tidak mulus. Bisa ditebak, berapa kali bajajnya macet alias mogok karena dikendarai dengan tidak biasa. Tetapi pertanyaan yang menggelitik hati kita; mengapa pengendara bajaj itu tabah dan sabar sekali menghadapi bajajnya yang kerap mogok di jalan? Padahal, kita sering lihat di Jakarta, banyak sopir bajaj yang srogal-srogol (agak kacau bahasa prokemnya) di jalanan.
Sampai-sampai para pengendara mobil di Jakarta tidak ada yang berani dengan sopir bajaj, karena sering mengambil jalan sesukanya sehingga sering membuat pengendara mobil lain “jantungan”. Ada gurauan, yang berani dengan sopir bajaj hanya Tuhan.Tapi yang terjadi sekarang, dalam suasana mudik lebaran, para pemudik yang mengendarai bajaj bisa tabah, sabar, dan mengendarai bajajnya dengan sangat tertib. Itulah yang kita sebut sebuah kekuatan beyond us, atau sebuah nilai-nilai transendental yang dimiliki setiap pemudik.
Adapun nilai-nilai kultural lainnya dalam tradisi mudik Idul Fitri, meskipun bersifat ritual tahunan, memberi makna banyak (multi-meaning). Ada upaya merekatkan kembali hubungan kekeluargaan dan pertemanan yang sudah lama renggang. Ada upaya melatih kembali belajar sopan santun terhadap hubungan yang muda dengan keluarga yang tua. Ada upaya melatih menghargai tetangga yang tinggalnya ada di samping rumah, serta guru dan orangorang yang berjasa dalam sejarah hidupnya.
Pembelajaran itu tidak lain adalah dengan bersilaturahmi. Dan, silaturahmi itu menjadi kekuatan yang bisa menetralkan tabir, sekat, kelompok, serta dengki dengan segala jenisnya. Sekeras apa pun wajah seseorang karena hatinya memendam penuh kedengkian dan kemarahan, tatkala ada silaturahmi yang pertemuan antarmuka, wajah, dan hati yang tadinya keras, spontan berubah menjadi lembut dan tersenyum. Secara kultural pula, tradisi mudik mengajarkan giving. Ada adagium, the power of giving.
Dalam tradisi Jawa ada kebiasaan, tatkala Idul Fitri, pertemuan silaturahmi dengan keluarga tidak sekadar bersalaman dan bermaafan, namun harus memberi fitrah (pemberian) berupa amplop yang isinya uang. Wajar, ketika anak-anak sangat senang memasuki momentum lebaran, karena membayangkan akan mendapatkan amplop banyak. Para anak yang sudah mengenal tradisi fitrah (giving), ketika ada salah satu keluarganya atau saudaranya yang tidak memberi fitrah, maka mereka akan dicap; pelit, medit (kikir).
Mereka yang memberi fitrah, apalagi nominalnya besar, anak-anak akan dengan polosnya memuji; om ini, om itu, tante ini, tante itu baik banget. Itulah candaan yang memang ada dalam tradisi di Jawa. Tradisi kultural lainnya, kita menyaksikan betapa dalam giving itu ternyata mampu membangkitkan kemeriahan ekonomi rakyat kecil yang membanjiri sepanjang jalan yang dilalui pemudik. Karena itu, wajar ketika warga yang tempat tinggalnya di sepanjang jalan yang dilalui mudik setiap tahun berdoa agar jalannya selalu macet. Sebab dengan macet, para pemudik kelelahan.
Setelah kelelahan, pemudik beristirahat sejenak. Di situlah terjadinya transaksi ekonomi. Pemudik menghampiri pedagang kaki lima yang hanya menjual minuman, warung makanan, bahkan tempattempat toilet. Di situ ada giving, ada transaksi uang untuk membeli minuman, makanan, dan membayar sewa toilet.
Maka kalau setiap tahun perjalanan mudik selalu macet, sebaiknya berpikir positif, tidak perlu menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak bisa mengatur jalan dengan baik, tetapi “salahkan” warga sepanjang jalan pantura, karena memang doanya menghendaki setiap mudik tahunan itu macet, karena mereka juga bisa berharap berkah giving dari transaksi ekonomi dengan para pemudik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar