Krisis
Eropa dan Perikanan Kita
M Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA;
Wakil Indonesia pada
Komite Internasional-Forum Rakyat Asia Eropa (IOC AEPF)
SINAR
HARAPAN, 06 Agustus 2012
Di tengah krisis ekonomi yang melanda
negara-negara di Eropa, status sumber daya perikanan Indonesia kian
memprihatinkan. Tak ubahnya masa prakemerdekaan: Indonesia ditempatkan sebagai
pemasok bahan baku (row materials) ke
negara-negara Eropa, termasuk produk perikanan.
Melalui kebijakan pengurangan hingga
penghapusan tarif impor ikan misalnya, Uni Eropa berhasil mendatangkan lebih
dari 70 persen bahan baku perikanan dari berbagai negara produsen, termasuk 115
komoditas perikanan non-olahan asal Indonesia.
Dirincikan, komoditas tersebut, di antaranya
kepiting, lobster, belut, kerang-kerangan, dan ikan air tawar (Commission Regulation No 1832/2002
tanggal 1 Agustus 2002).
Merugi
Beda halnya dengan ekspor perikanan dari
negara-negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, dan Norwegia ke
Indonesia. Sebagian besar komoditasnya berupa produk ikan olahan tidak terbatas
pada ikan belahan (fish fillet);
minyak dan lemak ikan; bahan umpan dan pupuk (Sidatik, 2010).
Belakangan, Indonesia juga tidak mendapatkan
fasilitas transfer teknologi dan pengetahuan yang mudah dan murah, seperti yang
sebelumnya diharapkan. Dalam hal peningkatan pengawasan dan pengelolaan sumber
daya ikan atau INDESO (Infrastructure
Development of Space Oceanography) misalnya, Indonesia harus membayar
sedikitnya US$ 30 juta dalam bentuk utang ke Pemerintah Prancis.
Kondisi demikian telah menyebabkan sumber
daya perikanan Indonesia kian cepat terkuras. Industri pengolahan ikan dalam
negeri semakin terpuruk sejalan dengan langkanya bahan baku ikan di Tanah Air.
Bahkan, alokasi pangan perikanan untuk konsumsi rakyat tidak lagi menjadi
prioritas.
Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa volume
ikan impor Indonesia terus meningkat. Jika tahun 2010 volumenya mencapai
300.000 ton dan 2011 lebih dari 400.000 ton, untuk 2012, volume impor
diperkirakan akan menembus angka 600.000 ton.
Setidaknya, berdasarkan data BPS (2012) yang
diolah KIARA hingga kwartal pertama tahun 2012, volume impor ikan Indonesia
sudah lebih dari 20.000 ton.
Sekitar 20 jenis produk perikanan yang
diimpor tersebut merupakan komoditas yang dapat ditemui di perairan Indonesia,
di antaranya cumi-cumi, udang, dan tuna. Pada kondisi tersebutlah kemiskinan
kian menggurita di kantung-kantung pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdaulat
Kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan
Indonesia mengindikasikan perlunya kerja besar dan sungguh-sungguh seluruh
komponen bangsa, termasuk membangun kemitraan dengan negara-negara sahabat.
Namun “kemitraan” yang dimaksud harus
diletakkan dalam upaya melunasi kewajiban penyelenggara negara memenuhi tugas
konstitusinya; melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahtaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk terlibat
dalam menjaga perdamaian dunia.
Dalam kondisi demikian itulah pemerintah
dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengoreksi maraknya kerja
sama ekonomi, baik bilateral maupun multilateral. Ini juga termasuk kemitraan
ekonomi dengan Uni Eropa dalam kerangka Comprehensive
Economy Partnership Agreement (CEPA).
Belajar dari perjanjian sebelumnya dengan
China dan Jepang, Indonesia justru tidak mendapat banyak manfaat, kecuali
sekadar menjadi pasar potensial bagi produk perikanan mereka (China dan
Jepang). Karena itu, meski sudah sangat terlambat, pemerintah perlu fokus
mempercepat pembenahan dan penguatan tiga modalitas perikanan nasional.
Pertama, modalitas perikanan rakyat. Pada
kenyataannya, lebih dari 91 persen pasokan pangan perikanan Indonesia bersumber
dari kegiatan perikanan tradisional.
Karena itu, pemberian insentif terhadap
subsektor perikanan yang satu ini menjadi sangat strategis, selain dalam rangka
menyejahterakan dan memenuhi akses rakyat terhadap sumber daya pangan
berkualitas (baca: ikan). Pemberian insentif juga dapat meningkatkan daya saing
produk perikanan nasional, di tengah membajirnya ikan impor.
Kedua, modalitas industri dalam negeri. Boleh
jadi prasyarat mutlak bangkitnya industri perikanan dalam negeri adalah
ketersediaan bahan baku ikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan
kebijakan yang diikuti pengawasan melekat untuk menghentikan ekspor ikan
non-olahan. Dengan sendirinya pendapatan negara dari sektor perikanan akan
meningkat, sejalan dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan tumbuh kembangnya
kreativitas rakyat.
Terakhir, modalitas pasar domestik. Pemerintah
perlu mengintensifkan kampanye dan pendidikan publik untuk mengonsumsi ikan
sehat: dari perairan Indonesia dan tangkapan nelayan tradisional Indonesia.
Modalitas ini dapat memicu lahirnya kesadaran
kolektif dan sikap kritis publik. Kesadaran ini pula nantinya dapat
mempersempit perdagangan ikan hasil kejahatan perikanan, seperti pencurian,
pengeboman, pembiusan, dan trawl. Pemerintah perlu menyegerakan ketiganya, agar
krisis ekonomi Eropa tidak justru membebani laut Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar