Keprihatinan
Awal Tahun Ajaran
A Kardiyat Wiharyanto ; Dosen
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA
KARYA, 06 Agustus 2012
Negeri ini belum memiliki visi dan misi pendidikan yang benar,
Pancasilais, dan solid. Diakui atau tidak, pemerintah masih suka mencoba-coba
berbagai sistem pendidikan dengan alasan peningkatan kualitas. Karena, setiap
ganti menteri ada kecenderungan ganti kebijakan, maka boleh dikatakan sistem
pendidikan kita terus berubah-ubah dari waktu ke waktu, bahkan sistem yang satu
belum dipahami, sudah ganti sistem baru.
Kalau begitu, penanganan pendidikan di Indonesia sering
membingungkan. Aneka titipan dari kepentingan kementerian-lementerian
dimasukkan. Sehingga, anak didik dibebani mata-pelajaran yang over-loaded.
Metode-metode pembelajaran yang didapat dari negara-negara asing begitu saja
diterapkan, sehingga terciptalah visi-misi pendidikan yang amburadul, tidak
karuan. Karena hal itu telah berlangsung lama, maka tidak mengherankan kalau
hasil-hasil pendidikan di Indonesia semakin ketinggalan dari negara-negara yang
lebih memiliki visi dan misi pendidikan nasional jelas dan kuat.
Salah satu ekses dari kebijakan yang berubah-ubah itu, maka
muncullah ketidakadilan dalam pendidikan. Tiap sekolah atau lembaga pendidikan
membuat label-label sendiri sebagai daya tarik merekrut siswa baru. Karena itu,
tidak mengherankan, di negeri ini masyarakat menyebut sekolah menengah
(terutama SLTP dan SLTA) ada yang berlabel favorit atau top, walaupun
sekolah-sekolah tersebut jauh dari tempat kediamannya.
Padahal, sekolah favorit itu sendiri sebenarnya tidak ada, kecuali
sebagai ciptaan atau penafsiran kalangan masyarakat saja. Sebab, bagaimana pun
kualitas dan keadaan sekolah-sekolah negeri tersebut semuanya sama, berkat
pengaturan yang demikian rupa oleh pemerintah. Mereka berpendapat, jika bisa
masuk sekolah favorit maka akan mudah melanjutkan atau mendapat pekerjaan.
Buntut dari pengkotak-kotakan itu, maka sistem rekrutmen siswa
menjadi mencemaskan, para orangtua merasa runyam dan pusing memikirkan sekolah
anak-anaknya yang berada di sekolah-sekolah negeri atau sekolah swasta, sebab
ternyata biayanya jauh dari yang dibayangkan dan hampir-hampir tak terjangkau
oleh kekuatan ekonominya.
Semula, banyak orangtua murid mengira bahwa masuk ke sekolah
negeri biayanya akan jauh lebih murah. Itu kan dulu, sebelum otonomi. Namun,
setelah otonomi, tiap sekolah bisa mengatur sendiri anggarannya. Bahkan, dengan
adanya Komite Sekolah, banyak kegiatan bisa dimunculkan, yang ujung-ujungnya
duit pula. Karena itu, banyak orangtua terkejut melihat sejumlah uang yang
segera harus dibayar agar nama anaknya tidak dicoret dari sekolah yang akan
dimasuki itu.
Bagi para orangtua berpenghasilan cukupan, dan punya sejumlah anak
yang harus sekolah di TK, SD, SLTP dan SLTA, bahkan perguruan tinggi, mereka harus
memeras otak untuk mendapatkan uang agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah.
Karena itu, kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak, terutama kebutuhan
orangtua, terpaksa ditunda.
Walaupun demikian, ada juga sekolah-sekolah yang dana pengembangan
pendidikannya sedang-sedang saja, namun masih cukup mahal untuk ukuran pegawai
negeri golongan rendah. Karena itu, jika ada anak pegawai negeri saja tidak
bisa melanjutkan belajar karena tipisnya dana yang ada.
Kadang-kadang kemiskinan orangtua membawa penderitaan berganda. Di
samping biaya untuk anaknya yang masuk sekolah hanya pas-pasan, kondisi makan
juga berkadar rendah menyebabkan anak mengalami kelambatan berpikir. Jadi,
keluarga miskin merasa sangat berat untuk membayar uang sekolah, sedangkan anak
yang dibiayai juga hanya memiliki kemampuan yang pas-pasan saja.
Dengan demikian, dalam tahun ajaran baru 2012/ 2013 ini, banyak
orangtua kembali harus mengalami keprihatinan dalam mengupayakan lanjutan
pendidikan putra-putri mereka. Untuk mendapatkan tempat di sekolah-sekolah yang
diinginkan, ternyata gagal. Hal ini disebabkan, selain tempat yang tersedia
terbatas, juga peminatnya melimpah. Lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap
baik dan bermutu pun, menuntut pembayaran yang relatif tinggi.
Banyak orangtua dan anak-anak kita pun harus kecewa, karena
keinginan untuk mendapatkan tempat belajar yang baik belum terpenuhi. Mereka
kalah dalam hal prestasi studi lewat tes dan kemampuan finansial.
Adalah benar bahwa salah satu dari kedua faktor penyebab kegagalan
itu sering dapat mengkompensir atau mengimbangi faktor yang lainnya. Misalnya,
prestasi studi yang baik dapat mengkompensir kemampuan finansial yang kurang,
dan sebaliknya, sehingga akhirnya dapat diterima. Namun, kebanyakan mereka
harus mengalami kekecewaan itu memang lemah untuk kedua-duanya, sehingga tidak
dapat tertolong lagi.
Dalam kesempatan ini kita tidak merefleksikan mahalnya biaya
pendidikan yang bermutu yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan
negeri maupun swasta. Hal itu sudah merupakan kenyataan yang sampai saat ini
masih sulit dicarikan jalan keluarnya, meski ada label sekolah gratis, karena
masalahnya kompleks dan sukar dipecahkan.
Dhus, kiranya dapat kita ketahui bahwa peluang dan kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pada umumnya lebih terbuka hanya bagi
mereka yang berasal dari lingkungan sosial-ekonomi kuat. Di sisi lain, kaum
lemah atau si miskin tetap terpinggirkan. Keprihatinan ini selalu terjadi di
setiap tahun ajaran baru.
Di sinilah letak persoalannya, apabila kita mempermasalahkan
keadilan di bidang pendidikan. Sebab, kenyataan yang tidak adil itu telah
membelenggu sebagian besar masyarakat kita. Mudah-mudahan problema pendidikan
yang gawat itu terus menggetarkan hati para pimpinan kita, sebab sebenarnya
masih banyak cara dan upaya lain yang masih bisa ditempuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar