Selasa, 07 Agustus 2012

Puasa di Tengah Ancaman Geopolitik Pangan


Puasa di Tengah Ancaman Geopolitik Pangan
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 06 Agustus 2012


Pada bulan Ramadan ini, seluruh umat muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa dengan menahan rasa lapar dan haus, mengendalikan hawa nafsu, sambil lebih banyak mengisi hari-hari dengan berdoa-mendekatkan diri pada Sang Pencipta, serta lebih mengedepankan perilaku amal.

Dengan begitu, bagi umat muslim, tidak ada bulan dengan hari-hari yang penuh bersahaja daripada bulan suci Ramadan.

Oleh karena itulah dapat dikatakan ini sebagai bulan sangat istimewa, yang sangat disayangkan dilewatkan kaum muslim, tanpa diisi secara maksimal dengan kegiatan-kegiatan rohani-religius. Tetapi, sayang, di tengah kekhusyukan menjalankan ibadah puasa itu, masyarakat, khususnya rakyat kecil, diganggu terus melonjaknya harga-harga barang kebutuhan pokok.

Bagi rakyat kecil yang menjalankan puasa, bukan kenikmatan menahan rasa lapar dan haus yang dirasa, lantaran itu sudah dialaminya sehari-hari, melainkan pening memikirkan makin beratnya beban hidup.

Belum lagi di awal bulan puasa tahun ini masyarakat diganggu dengan hilangnya tahu dan tempe di pasaran lantaran harganya melonjak.

Bagi kaum berada, pangan bukan lagi masalah perut, melainkan telah menjadi gaya hidup. Citra menjadi sangat penting ketimbang pangan itu sendiri. Jadi, tidak heran menu dan tempat berbuka puasa bagi kelompok masyarakat berada kerap dipilih yang eksekutif dan prestise.

Sementara itu, bagi kelompok masyarakat miskin, makan dengan lauk agak berbeda dengan menu keseharian saja, sudah menggembirakan. Lalu, siapa yang peduli dengan nasib rakyat kecil yang tak mampu menyediakan menu bergizi saat berbuka puasa? Pemerintah kita, seperti biasa, tetap tidak bisa berbuat banyak.

Geopolitik Pangan

Kenaikan harga kebutuhan pokok ini bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara yang mayoritas muslim. Karena di negara-negara itu, mayoritas masyarakatnya menjalankan ibadah puasa. Di sana pun harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung tinggi. Seperti biasa juga, pengelola pangan selalu hilang pegangan.

Secara umum, memang kenaikan harga dapat disebabkan dua sisi, yakni permintaan maupun penawaran. Desakan permintaan dapat menyebabkan harga-harga pangan terus meningkat seperti di bulan puasa dan Lebaran atau Natal/tahun baru.

Di Indonesia, biasanya kenaikan harga juga disebabkan informasi soal gagal panen, atau informasi kekurangan pasokan. Para pedagang seperti selalu mengambil satu langkah di depan untuk mengantisipasi kelebihan atau kekurangan pasokan.

Karena kenaikan harga-harga itu tejadi di banyak negara di dunia, bukan tidak mungkin dunia dirundung kelangkaan akut. Ini mengingat semakin banyaknya umat muslim yang berpuasa, karena setiap tahun jumlah umat muslim terus bertambah, berbarengan dengan jumlah penduduk dunia yang juga terus bertambah.

Ingat teori Thomas Maltus 200 tahun lalu, bahwa pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara ketersediaan pangan seperti deret hitung. Bisa dibayangkan setiap malam ada tambahan sekitar 219.000 perut yang minta diisi.

Sejak krisis pangan global 2008, harga-harga masih terus melambung, sehingga terus berlanjut pada ancaman krisis pangan yang mengglobal. Acaman krisis pangan, diiringi resesi ekonomi dan melambungnya harga minyak bumi, membuat dunia makin penuh ketidakpastian.

Negara-negara dirundung kegelisahan. Kompetisi untuk memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan negara-negara akhirnya menjadi kriteria penentu arah geopolitik global.

Lalu, pangan bukan hanya kebutuhan dasar masyarakat, tetapi dijadikan sebagai kekuatan politik atau kepentingan kelompok negara. Untuk itu, muncullah pandangan bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata (weapon).

“Food is the weapon” adalah ungkapan yang sering digunakan untuk mempertegas posisi, peran, dan kedudukan pangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di mana pun.

Benar kata Oliver de Schutter (2011), hunger is not natural disaster, it’s a political problem. Kelaparan, rawan pangan, lebih sebagai persoalan politik ketimbang masalah pertanian.

Bencana kelaparan bukanlah takdir yang tidak terelakkan, melainkan bergantung pada bagaimana pemimpin politik mengatasi skandal dan menyusun kebijakan. Kebijakan yang dibuat juga harus berdimensi global, mengingat krisis pangan saat ini sudah terjadi secara global pula.

Mengarahkan pangan ke arah berbau politis ini juga memiliki alasan kuat. Dalam buku Lapar, Negeri Salah Urus (2005), Khudori secara gamblang menegaskan bahwa kedaulatan pangan di sebuah negara agraris sekaliber Indonesia mestilah mampu dirajut sedemikian rupa sehingga dapat melepaskan diri dari intervensi dan gerakan komersialisasi pangan secara global.

Ingat bahwa orkestra tata kelola pangan global tidak lepas dari campur tangan Bank Dunia, IMF, dan WTO, yang menerapkan dan mengendalikan ekonomi liberal.

Liberalisasi ekonomi negara berkembang membuka pasar, sementara negara maju memproteksi dan menyubsidi petaninya. Akhirnya, petani miskin di pedesaan tetap kekurangan pangan dan menjadi miskin. Sementara itu, korporasi dan tuan tanah dianakemaskan, menjadi kaya dan berkelimpahan.

Kedaulatan Pangan

Untuk itu, kini kedaulatan pangan harus menjadi solusi bagi negara-negara, khususnya Indonesia yang berpenduduk besar (melampaui 240 juta jiwa).

Konsep dan kebijakan kedaulatan pangan dimaksudkan menghapus kelaparan dan kekurangan gizi, serta untuk bisa mengendalikan harga, seperti yang terjadi pada bulan puasa dan Lebaran ini, atau pada hari Natal. Yang paling utama adalah demi menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan dan bebas dari tekanan atau ancaman krisis pangan global.

Hakikat politik kedaulatan pangan mesti diarahkan untuk membangun kemandirian petani domestik dalam menentukan kebijakan dan strategi petani sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang berkelanjutan. Untuk mendukung itu, pemerintah mesti memberi jaminan hak atas tanah milik petani.

Ingat juga bahwa kedaulatan pangan adalah hak dasar tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri, sesuai kondisi sosial ekologis, ekonomi, dan budaya khas masing-masing (Hines, 2005).

Persoalannya kini, apakah pemerintah kita sungguh-sungguh serius membangun kedaulatan pangan bagi masyarakat kita, terutama petani kita?

Jangan-jangan kedaulatan pangan hanyalah bahan dan topik seksi pidato para pejabat dan tidak pernah terjewantah riil dalam kehidupan nyata petani dan masyarakat. Jika demikian, laju dan lonjakan harga akan terus berulang setiap kali bulan puasa atau hari-hari raya lainnya, seperti Natal dan tahun baru. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar