Puasa
di Tengah Ancaman Geopolitik Pangan
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SINAR
HARAPAN, 06 Agustus 2012
Pada bulan Ramadan ini, seluruh umat muslim
di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa dengan menahan rasa lapar dan haus,
mengendalikan hawa nafsu, sambil lebih banyak mengisi hari-hari dengan
berdoa-mendekatkan diri pada Sang Pencipta, serta lebih mengedepankan perilaku
amal.
Dengan begitu, bagi umat muslim, tidak ada
bulan dengan hari-hari yang penuh bersahaja daripada bulan suci Ramadan.
Oleh karena itulah dapat dikatakan ini
sebagai bulan sangat istimewa, yang sangat disayangkan dilewatkan kaum muslim,
tanpa diisi secara maksimal dengan kegiatan-kegiatan rohani-religius. Tetapi,
sayang, di tengah kekhusyukan menjalankan ibadah puasa itu, masyarakat,
khususnya rakyat kecil, diganggu terus melonjaknya harga-harga barang kebutuhan
pokok.
Bagi rakyat kecil yang menjalankan puasa,
bukan kenikmatan menahan rasa lapar dan haus yang dirasa, lantaran itu sudah
dialaminya sehari-hari, melainkan pening memikirkan makin beratnya beban hidup.
Belum lagi di awal bulan puasa tahun ini
masyarakat diganggu dengan hilangnya tahu dan tempe di pasaran lantaran
harganya melonjak.
Bagi kaum berada, pangan bukan lagi masalah
perut, melainkan telah menjadi gaya hidup. Citra menjadi sangat penting
ketimbang pangan itu sendiri. Jadi, tidak heran menu dan tempat berbuka puasa
bagi kelompok masyarakat berada kerap dipilih yang eksekutif dan prestise.
Sementara itu, bagi kelompok masyarakat
miskin, makan dengan lauk agak berbeda dengan menu keseharian saja, sudah
menggembirakan. Lalu, siapa yang peduli dengan nasib rakyat kecil yang tak
mampu menyediakan menu bergizi saat berbuka puasa? Pemerintah kita, seperti
biasa, tetap tidak bisa berbuat banyak.
Geopolitik Pangan
Kenaikan harga kebutuhan pokok ini bukan saja
terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara yang mayoritas muslim.
Karena di negara-negara itu, mayoritas masyarakatnya menjalankan ibadah puasa.
Di sana pun harga-harga kebutuhan pokok ikut melambung tinggi. Seperti biasa
juga, pengelola pangan selalu hilang pegangan.
Secara umum, memang kenaikan harga dapat
disebabkan dua sisi, yakni permintaan maupun penawaran. Desakan permintaan
dapat menyebabkan harga-harga pangan terus meningkat seperti di bulan puasa dan
Lebaran atau Natal/tahun baru.
Di Indonesia, biasanya kenaikan harga juga
disebabkan informasi soal gagal panen, atau informasi kekurangan pasokan. Para
pedagang seperti selalu mengambil satu langkah di depan untuk mengantisipasi
kelebihan atau kekurangan pasokan.
Karena kenaikan harga-harga itu tejadi di
banyak negara di dunia, bukan tidak mungkin dunia dirundung kelangkaan akut.
Ini mengingat semakin banyaknya umat muslim yang berpuasa, karena setiap tahun
jumlah umat muslim terus bertambah, berbarengan dengan jumlah penduduk dunia
yang juga terus bertambah.
Ingat teori Thomas Maltus 200 tahun lalu,
bahwa pertumbuhan penduduk seperti deret ukur, sementara ketersediaan pangan
seperti deret hitung. Bisa dibayangkan setiap malam ada tambahan sekitar
219.000 perut yang minta diisi.
Sejak krisis pangan global 2008, harga-harga
masih terus melambung, sehingga terus berlanjut pada ancaman krisis pangan yang
mengglobal. Acaman krisis pangan, diiringi resesi ekonomi dan melambungnya
harga minyak bumi, membuat dunia makin penuh ketidakpastian.
Negara-negara dirundung kegelisahan.
Kompetisi untuk memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan negara-negara
akhirnya menjadi kriteria penentu arah geopolitik global.
Lalu, pangan bukan hanya kebutuhan dasar masyarakat,
tetapi dijadikan sebagai kekuatan politik atau kepentingan kelompok negara.
Untuk itu, muncullah pandangan bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata
(weapon).
“Food is the weapon” adalah ungkapan yang
sering digunakan untuk mempertegas posisi, peran, dan kedudukan pangan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat di mana pun.
Benar kata Oliver de Schutter (2011), hunger
is not natural disaster, it’s a political problem. Kelaparan, rawan pangan,
lebih sebagai persoalan politik ketimbang masalah pertanian.
Bencana kelaparan bukanlah takdir yang tidak
terelakkan, melainkan bergantung pada bagaimana pemimpin politik mengatasi
skandal dan menyusun kebijakan. Kebijakan yang dibuat juga harus berdimensi
global, mengingat krisis pangan saat ini sudah terjadi secara global pula.
Mengarahkan pangan ke arah berbau politis ini
juga memiliki alasan kuat. Dalam buku Lapar, Negeri Salah Urus (2005), Khudori
secara gamblang menegaskan bahwa kedaulatan pangan di sebuah negara agraris
sekaliber Indonesia mestilah mampu dirajut sedemikian rupa sehingga dapat
melepaskan diri dari intervensi dan gerakan komersialisasi pangan secara
global.
Ingat bahwa orkestra tata kelola pangan
global tidak lepas dari campur tangan Bank Dunia, IMF, dan WTO, yang menerapkan
dan mengendalikan ekonomi liberal.
Liberalisasi ekonomi negara berkembang
membuka pasar, sementara negara maju memproteksi dan menyubsidi petaninya.
Akhirnya, petani miskin di pedesaan tetap kekurangan pangan dan menjadi miskin.
Sementara itu, korporasi dan tuan tanah dianakemaskan, menjadi kaya dan
berkelimpahan.
Kedaulatan Pangan
Untuk itu, kini kedaulatan pangan harus
menjadi solusi bagi negara-negara, khususnya Indonesia yang berpenduduk besar
(melampaui 240 juta jiwa).
Konsep dan kebijakan kedaulatan pangan
dimaksudkan menghapus kelaparan dan kekurangan gizi, serta untuk bisa
mengendalikan harga, seperti yang terjadi pada bulan puasa dan Lebaran ini,
atau pada hari Natal. Yang paling utama adalah demi menjamin ketahanan pangan
yang berkelanjutan dan bebas dari tekanan atau ancaman krisis pangan global.
Hakikat politik kedaulatan pangan mesti
diarahkan untuk membangun kemandirian petani domestik dalam menentukan
kebijakan dan strategi petani sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi
pangan yang berkelanjutan. Untuk mendukung itu, pemerintah mesti memberi
jaminan hak atas tanah milik petani.
Ingat juga bahwa kedaulatan pangan adalah hak
dasar tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka
sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi,
distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri, sesuai kondisi sosial ekologis,
ekonomi, dan budaya khas masing-masing (Hines, 2005).
Persoalannya kini, apakah pemerintah kita
sungguh-sungguh serius membangun kedaulatan pangan bagi masyarakat kita,
terutama petani kita?
Jangan-jangan kedaulatan pangan hanyalah
bahan dan topik seksi pidato para pejabat dan tidak pernah terjewantah riil
dalam kehidupan nyata petani dan masyarakat. Jika demikian, laju dan lonjakan
harga akan terus berulang setiap kali bulan puasa atau hari-hari raya lainnya,
seperti Natal dan tahun baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar