Tidak
Mampu atau Tidak Mau?
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber : KOMPAS,
20 Juni 2012
Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator
Partai Demokrat baru saja berlangsung pada 13-14 Juni. ”Dipimpin” langsung oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, sebenarnya forum ini bisa dikatakan tidak
menghasilkan apa-apa dalam konteks desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Kalaupun ada ”sesuatu”, paling hanya meminggirkan Anas Urbaningrum dari elite
Partai Demokrat.
Padahal, pertemuan penting yang dihelat di
tengah lautan gelombang panas skandal Hambalang itu sangat diharapkan banyak
pihak langkah nyatanya. Paling tidak, sebagai respons terhadap indikasi korupsi
atas sejumlah petinggi Partai Demokrat (PD), baik dalam skandal wisma atlet,
Hambalang, maupun suap pembangunan fasilitas di beberapa perguruan tinggi.
Langkah nyata ini penting untuk membantu mendorong proses hukum agar bekerja
lebih cepat.
Kenyataannya, jangankan langkah besar, forum
ini justru digunakan pendiri dan deklarator PD untuk ngeles. Dengan menggunakan
data kuantitatif, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina malah berupaya menunjukkan
bahwa PD lebih baik dibandingkan beberapa partai politik lain di DPR. Misalnya,
menurut SBY, selama 2004-2012, korupsi yang dilakukan kader PD dari tingkat
pusat sampai ke daerah (eksekutif ataupun legislatif) masih jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan empat partai politik lain.
Takut Risiko
Orang paham, forum darurat PD itu digelar sebagai
langkah penyelamatan di tengah melorotnya popularitas partai politik pemenang
Pemilu 2009 itu. Namun, melihat perdebatan yang muncul setelah pertemuan,
jangankan penyelamatan, forum tersebut justru makin menenggelamkan PD.
Penilaian demikian muncul karena PD tidak memiliki keberanian untuk
menghasilkan langkah radikal bagi kader mereka yang terkait dengan sejumlah
skandal korupsi.
Publik juga semakin kecewa karena bukannya
membereskan masalah, SBY malah mengeluh mengapa hanya partainya yang disorot di
tengah lautan korupsi di negeri ini. Jadilah ini pembenaran empiris, betapa
janji ”akan memimpin langsung
pemberantasan korupsi” dan kampanye ”katakan
tidak pada korupsi” hanya pepesan kosong belaka. Maka, apa yang disebut
langkah penyelamatan pun semakin meluluhlantakkan kepercayaan publik kepada PD.
Tentulah publik tidak akan mempersoalkan data
yang diungkap Yudhoyono. Kalaupun tumpukan data yang tersedia menunjukkan
korupsi oleh anggota PD berada pada posisi terendah dari semua partai politik
di DPR, tidak cukup alasan bagi Yudhoyono menggugat sorotan publik. Apalagi
fakta yang terkuak justru menunjukkan banyak kader PD berada di episentrum
sejumlah skandal korupsi.
Tidak hanya itu, merujuk rentetan pengalaman
yang ada, fakta empiris selama ini membuktikan bahwa hancurnya kepercayaan
publik juga disebabkan oleh SBY yang tidak memiliki nyali untuk bertindak tegas
terhadap kader PD yang terlibat korupsi. Sekiranya memang memiliki keinginan
memberantas korupsi, kekuasaan besar sebagai Ketua Dewan Pembina bisa dengan
mudah digunakan untuk memberikan shock therapy.
Paling tidak, di antara bukti yang
menunjukkan lumpuhnya nyali tersebut dapat dilacak dari sikap terhadap M
Nazaruddin. Sebagaimana diketahui, ketika skandal suap yang melibatkan bekas
bendahara umum ini terkuak ke publik, PD memerlukan waktu lama dan bertele-tele
untuk memberhentikan Nazaruddin.
Yang tak kalah menggelikan, Angelina Sondakh
dipindahkan ke Komisi III DPR ketika yang bersangkutan ditetapkan menjadi
tersangka skandal suap wisma atlet. Lebih dari sekadar kebablasan, kejadian itu
sekaligus menunjukkan betapa PD mengalami mati rasa di tengah agenda
pemberantasan korupsi.
Merujuk fakta tersebut, langkah besar yang
diharapkan muncul dalam ”Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator PD” tak ubahnya
seperti menunggu ayam jantan bertelur. Karena itu, capaian ala kadarnya forum
itu hanya sebatas menambah tumpukan bara panas di bawah kursi panas Ketua Umum
PD Anas Urbaningrum. Selain tidak mau mengambil risiko, biasanya langkah
seperti ini diambil karena mengetahui dan menyimpan kelemahan setiap pihak.
Karena itu, Dewan Pembina dan pendiri PD sengaja mendesain skenario yang
membuat Anas tak nyaman (Kompas, 15/6).
Perlu Introspeksi
Tak ada yang bisa membantah fakta
keterlibatan sejumlah anggota partai politik selain PD dalam praktik korupsi
yang hari demi hari kian masif. Meski demikian, ngeles dengan membawa-bawa
partai politik lain membuktikan sesungguhnya SBY tidak mau dan tidak mampu
mengambil peran sentral menghunus pedang pemberantasan korupsi di internal PD.
Jika hanya sebatas seruan, peran SBY lebih primitif dibandingkan dengan aktivis
ICW dan pegiat antikorupsi yang lain.
Sebagai partai politik yang sedang berkuasa,
barangkali menghunus pedang pemberantasan korupsi tak akan pernah dilakukan.
Kalaupun ada, tindakan pada rentetan skandal korupsi itu tidak akan menyentuh
tokoh sentral PD. Inilah ironinya karena banyak petinggi PD yang justru berada
di episentrumnya. Dengan demikian, pembelaan Yudhoyono dapat dikatakan sekadar
mempertinggi tempat jatuh. Jangan-jangan, ujung dari semua ini adalah nasib
tragis PD: jatuh dari tempat tinggi dan tertimpa tangga pula.
Upaya ”menyebut” partai politik lain untuk
membela partai sendiri masih dapat dibenarkan jikalau Yudhoyono hanya hadir
dalam posisi politik tunggal, yaitu hanya sebagai Ketua Dewan Pembina PD.
Namun, karena Yudhoyono juga presiden, memilih cara ngeles sangat tidak elok.
Dengan posisi ganda itu, seharusnya Yudhoyono lebih berani bersikap terhadap
anggota PD yang terlibat skandal korupsi.
Apabila ditempatkan pada agenda pemberantasan
korupsi, gugatan yang amat mendasar adalah bilamana di internal PD saja gagal
memimpin pemberantasan korupsi, bagaimana mungkin melakukannya di luar PD?
Sejumlah pihak percaya, kesempatan sejarah
hanya mungkin dimulai jika mau dan mampu membersihkan lingkungan sendiri.
Bagaimanapun, partai politik yang sedang berkuasa hampir pasti punya kesempatan
lebih besar menyalahgunakan kekuasaan (power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely).
Sayang sekali, kesempatan sejarah yang
diberikan seperti lenyap begitu saja. Karena itu, sebelum kesempatan
benar-benar tertutup, lakukanlah langkah besar, terutama kepada anggota PD yang
tersangkut skandal korupsi.
Siapa tahu langkah demikian masih bisa
bermanfaat untuk membawa negeri ini keluar dari kubangan korupsi. Seandainya
memang tidak berani, paling tidak, jangan menyalahkan orang lain untuk menutup
ketidakmampuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar