Swa
Sembada Kedelai, Mengapa Tidak?
Andi Irawan ; Peminat Telaah Ekonomi Politik Pertanian Indonesia
SUMBER : KORAN
TEMPO, 5 Juni 2012
Para pengusaha tahu dan tempe, baik skala
besar maupun menengah-kecil, mengeluhkan tingginya harga kedelai impor sebagai
bahan baku utama. Protes keras disampaikan oleh Himpunan Perajin Tahu Tempe
Indonesia (Hipertindo). Mereka menilai pemerintah telah lepas tangan membiarkan
importir mempermainkan harga (Kompas, 14 Mei). Di sisi lain, kedelai
lokal pun ternyata sulit diakses. Kalangan pengusaha tahu-tempe mengaku sulit
mencari kedelai lokal. Menurut Sekretaris Jenderal Hipertindo, untuk mencari
kedelai lokal 1 ton saja, dalam jangka waktu lima hari belum tentu bisa
didapat.
Kedelai memang merupakan komoditas pangan
strategis. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, target swasembada kedelai
selalu dicanangkan, tapi sampai sekarang belum ada titik cerah target itu akan
dicapai. Sepanjang periode 2004-2011, kemampuan suplai kedelai domestik
memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya dalam kisaran 30-40 persen, selebihnya
60-70 persen sumber kedelai berasal dari impor.
Sebenarnya potensi pengembangan kedelai
domestik ini cukup besar. Menurut Direktorat Aneka Kacang dan Umbi Kementerian
Pertanian (2011), ada sejumlah faktor yang bisa dijadikan pemicu kenaikan
produksi kedelai ini: 1) harga kedelai lokal terus meningkat rata-rata 12,6
persen per tahun, dan 2) sudah tersedia benih varietas unggul dengan
produktivitas 2,50-3,9 ton per hektare. Ada 16 varietas unggul kedelai yang
telah ditemukan untuk beragam jenis lahan di Indonesia. Jika penggunaan benih
unggul dan budi daya sesuai dengan anjuran bisa diterapkan dalam skala luas,
kesenjangan produktivitas akan bisa dihilangkan. Saat ini produktivitas ideal
dengan menggunakan benih unggul dan penerapan best practice agriculture
sebesar 2,5-3 ton per hektare, bandingkan dengan produktivitas umum petani di
lapangan yang hanya rata-rata 1,38 ton per hektare.
Kendala konversi lahan bisa diatasi dengan
meningkatkan indeks pertanaman. Peluang perluasan area tanam kedelai melalui
peningkatan indeks pertanaman masih luas, bahkan bisa mencapai 7,4 juta ha.
Artinya, jika realisasi luas lahan tanam
kedelai yang belum memadai saat ini, yakni 695.603 ha pada 2010 dan 623.194 ha
pada 2011, sebenarnya itu bisa ditingkatkan dengan meningkatkan indeks
pertanaman kedelai. Seperti diketahui, untuk mencapai swasembada dengan target
produksi 2,7 juta ton, dibutuhkan lahan tanam seluas 1,83 juta ha.
Energi resources yang potensial itu
bisa digunakan untuk mencapai swasembada kedelai paling lambat 2014, dengan
agenda kerja penting: pertama, untuk mencapai swasembada dengan luas lahan 1,83
juta ha, dibutuhkan benih unggul seluas 73.200 ton. Permasalahannya adalah
bagaimana benih-benih unggul sebanyak 16 varietas yang ada di badan penelitian
dan pengembangan tersebut bisa diskalaekonomikan menjadi skala industri. Memang
hal itu bisa saja dilakukan pihak swasta, tapi dampaknya harga jual akan mahal
sehingga petani akan sulit mengakses. Ada baiknya pemerintah menggerakkan badan
usaha milik negara bidang perbenihan untuk memproduksi belasan varietas benih
unggul itu menjadi skala industri, yang selanjutnya sebagian besar bisa dibagikan
kepada petani kecil-menengah sebagai bantuan benih bersubsidi.
Kedua, ada tiga provinsi dengan kesesuaian
lahan tertinggi untuk kedelai, yakni Jawa Timur 1,17 juta ha, Jawa Barat
881.510 ha, dan Jawa Tengah 887.525 ha. Gabungan tiga provinsi telah melampaui
target luas lahan swasembada yang sebesar 1,83 juta ha tersebut. Tapi faktor
kebutuhan lahan untuk industri yang tinggi memang sulit berfokus pada tiga
provinsi di Jawa tersebut. Alternatif yang lebih realistis adalah diambil 25
persen saja lahan di Jawa (sekitar 730 ribu ha), sedangkan sisanya (1,1 juta
ha) bisa dikembangkan di enam provinsi luar Jawa yang juga punya lahan yang
sesuai untuk kedelai yang cukup luas, yakni Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara
Barat, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Ketiga, yang tidak kalah penting adalah
perbaikan sarana dan prasarana pengairan. Saat ini pembangunan infrastruktur
penting pertanian, seperti irigasi dan bendungan, dalam keadaan stagnan. Bahkan
yang terjadi penurunan kualitas infrastruktur. Irigasi yang rusak mencapai 52
persen, dengan perincian rusak berat 705.571,96 ha (10 persen), rusak sedang
1.873.184,34 ha (26 persen), dan rusak ringan 1.170.128,84 ha (16 persen).
Terakhir, yang paling penting bagaimana
pemerintah menghadirkan energi kolektif nasional untuk mencapai swasembada
kedelai ini. Yang dimaksud dengan energi kolektif itu adalah kesamaan motivasi
dan orientasi serta urgensi dari semua stakeholder perkedelaian yang
menimbulkan energi gerak. Energi gerak inilah yang melahirkan sinergisasi dan
koordinasi yang bernas dalam kebijakan serta komitmen semua pihak untuk
menghadirkan swasembada kedelai.
Membangun energi kolektif membutuhkan leadership.
Karena itu, untuk mencapai swasembada kedelai ini, para pengambil kebijakan
penting, baik presiden, menteri, gubernur, maupun bupati/wali kota, haruslah
sosok yang mampu menghidupkan dan menularkan energi kolektif itu ke semua stakeholder
yang berada dalam jangkauan kewenangannya. Itu kalau memang benar kita sepakat
bahwa pencapaian swasembada kedelai adalah prestasi penting yang harus
dihadirkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar