Rabu, 06 Juni 2012

Suriah, Senjata, dan Krisis

Suriah, Senjata, dan Krisis
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
SUMBER :  SINDO, 6 Juni 2012


Kondisi Suriah makin memprihatinkan. Tragedi Houla minggu lalu, yang mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas termasuk anak-anak dan ratusan lainnya luka-luka, menandai betapa berdarahnya kondisi pengelolaan negara di negeri berpenduduk 22,5 juta orang itu.

Sejak krisis kepemimpinan bergolak di Suriah akhir tahun lalu,diperkirakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10.000 jiwa tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Namun, yang lebih ironis adalah respons dunia internasional terhadap kejadian yang berkembang di Suriah, baik itu dari negara Barat, negara tetangga atau bahkan Indonesia. Hal ini menunjukkan krisis serius pada perkembangan politik luar negeri negara-negara di dunia.

Penjelasannya sebagai berikut. Bashar Hafez al-Assad adalah Presiden Suriah yang merupakan anak dari tokoh negeri itu, Hafez al-Assad, yang dikagumi di antero Timur Tengah. Namun zaman berubah. Cara-cara memimpin yang menutup partisipasi publik dalam politik dan menolak kritik dianggap usang di sana, tetapi Bashar tidak siap dengan perubahan zaman. Ia malah mengangkat senjata atas warganya. Bashar justru bersikeras bahwa ada upaya-upaya asing untuk memojokkan rezimnya.

Pada 3 Juni lalu, sang presiden tidak malu-malu menyatakan niatnya untuk terus menggunakan tindak kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok antipemerintah yang ditudingnya berkonspirasi dengan negaranegara asing. Bashar lupa bahwa bahkan ketika ada infiltrasi asing di negaranya, nasib warga negaranya tetap nomor satu. Pertarungan terhadap kolonialisme tidak bisa dengan mengorbankan warga negaranya sendiri! Perang antarnegara pun ada etikanya, apalagi terhadap masyarakat sipil yang warga negaranya sendiri. Memburu manusia untuk dibunuh, apalagi secara sistematis, adalah pelanggaran berat atas hak asasi manusia.

Singkatnya, Bashar ketakutan kehilangan kontrol atas negerinya dan mungkin tidak tahu cara lain selain cara-cara kekerasan. Ironisnya dunia tidak punya mekanisme untuk menghilangkan rasa ketakutan itu. Tiap hari berita yang muncul justru menyudutkan Al-Assad dan Suriah. Perhatikanlah bahwa ujung dari tiap respons dunia internasional adalah: senjata dan perang. Perdana Menteri Turki mengecam Bashar sebagai diktator dan mengaku sulit mencapai perdamaian di Suriah selama Bashar mempertahankan pendekatan itu.

Turki, Arab Saudi, dan Qatar menyatakan dukungan untuk mempersenjatai pemberontak anti-Damaskus di wilayah Suriah. Pada 4 Maret, Menteri Luar Negeri Turki berjanji memasok senjata bagi pemberontak Suriah. Pilihannya: minggir atau perang. Dari Amerika Serikat (AS), Center of Foreign Relations (CFR) yang merupakan thinktank berpengaruh bagi kebijakan luar negeri AS menyatakan lewat Steward Patrick, direkturnya, bahwa Presiden Barack Obama dalam posisi dilema karena mekanisme Dewan Keamanan (DK) PBB tidak berfungsi.

Terbukti bahwa Rusia dan China melakukan veto untuk aksi bersama mengecam. Bagi CFR, Presiden AS perlu memikirkan untuk membentuk kekuatan multilateral di luar PBB yang punya legitimasi melakukan intervensi atas dasar perlindungan terhadap kemanusiaan seperti dulu pernah dilakukan NATO yang melakukan serangan atas Kosovo tahun 1999 di masa Slobodan Milosevic. Jadi, lagi-lagi cara masuk yang dipikirkan adalah serangan militer. Sayang, cara intervensi atas ketidakadilan di negara lain selalu berbentuk serangan militer.

Bahkan R2P (Right to Protect) yang baru-baru ini diadopsi PBB pun demikian.Tujuan R2P adalah agar komunitas internasional dapat menggunakan hubungan diplomatik dan kerja sama kemanusiaannya melalui DK PBB untuk melakukan aksi bersama demi melindungimanusiadarigenosida, perang, penyerangan terhadap ras dan kejahatan kemanusiaan lainnya.Tapi,bentuknya adalah force, adu kekuatan, yang ujungnya senjata lagi. China dan Rusia tidak melakukan veto karena kepentingan manusiawi.

Yang mereka khawatirkan adalah risiko penggulingan kekuasaan seperti penggulingan Khadafi di Libya. Mereka menyaksikan bahwa R2P yang dipakai di kasus Libya berujung pada intervensi politik dalam negeri. Mereka tak mau ini terjadi di negerinya. Di belakang itu semua, Rusia adalah salah satu pemasok senjata terbesar bagi Suriah. China adalah importir ketiga produk senjata dari Suriah. Demikian data dari Komisi Eropa. Jadi, ujungnya senjata lagi. Jadi, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa lembaga perdamaian dalam politik global dalam posisi kritis. Ada dorongan sangat kuat untuk mengakhiri segala sesuatu dengan senjata.

Apakah ini upaya sistematis untuk meningkatkan industri persenjataan? Atau proliferasi senjata memang menjadi norma politik luar negeri yang dihalalkan pada abad ini? Ke manakah prinsip mencari kerja sama melalui cara-cara damai? Apa pun alasannya, bentuk diplomasi yang dibutuhkan pun tidak bisa seperti dulu. Indonesia, misalnya, sejauh ini sudah berupaya mengecam, mengimbau, menuntut rezim Bashar al-Assad untuk menghentikan kekerasan, bahkan dengan tegas mengatakan tidak akan ikut mengusir Duta Besar Suriah dari Indonesia demi menjaga hubungan baik dengan Suriah.

Indonesia bahkan ikut dalam tim peninjau PBB yang terdiri atas 16 perwira dari kepolisian atau TNI. Namun, lagi-lagi cara yang dipilih masih berbau militer. Sejarah sebenarnya telah memberi pelajaran, siapa pun yang berusaha mengangkat senjata demi masuk ke negara lain akan berhadapan dengan tembok proteksi yang lebih tebal, tinggi, dan memakan banyak jiwa. Perhatikan betapa tebalnya Tembok China, misalnya, karena upaya membendung serangan militer dari wilayah sekitar.

Ingatlah betapa tinggi tarif proteksi dari AS ketika mereka merasa terancam akan merkantilisme yang didukung militer di awal abad ke-19. Baru-baru ini kita lihat betapa berdarah-darahnya Afghanistan, Irak, dan Libya bila pendekatan militer yang kita ambil meskipun dasarnya kemanusiaan sekalipun. Kemanusiaan bergantung pada diplomasi yang sejuk, dengan dialog dan pemahaman yang sama akan pentingnya satu nyawa. Kecaman tidak bisa kita arahkan pada pemimpin tertentu karena tidak menyelesaikan masalah.

Justru kita perlu perkuat mekanisme PBB, regional termasuk Liga Arab, ASEAN, dan forum seperti G-20, untuk bergerak mengubah cara pandang dunia yang militeristik. Bangunlah mekanisme seperti forum rekonsiliasi, pembukaan bantuan kemanusiaan yang berujung pada rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai, serta kerja sama pengembangan cara-cara damai dalam menghadapi kritik publik.
Sayangnya Indonesia belum punya kredibilitas untuk mendorong hal ini karena negara-negara lain dapat membaca betapa abai pemerintah kita terhadap perlindungan atas kelompok minoritas, betapa terkikisnya rasa toleransi terhadap perbedaan, dihalalkannya cara-cara mengancam dan teror bila tidak ada kesepakatan, dan masalah hak asasi manusia tidak mendapat perhatian serius.

Preman-preman bersenjata dengan bebas dapat menakut-nakuti polisi, bahkan Presiden. Inilah kesulitan diplomat Indonesia. Padahal kalau masalah itu teratasi, Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam dunia yang sedang berubah cepat ini dan mengalami krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar