SMK:
Antara Harapan dan Fakta
Dion Pare ; Peminat
Masalah Pendidikan
Sumber : KORAN
TEMPO, 23 Juni 2012
Pemerintah akan menambah jumlah sekolah
kejuruan (SMK). Sebagaimana dilaporkan (Koran Tempo, Senin, 18 Juni
2012), jumlah sekolah kejuruan ini akan ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dunia industri. Targetnya, proporsi sekolah kejuruan dan sekolah umum
kelak akan menjadi 60 persen berbanding 40 persen. Adapun saat ini proporsinya
baru 46 persen berbanding 54 persen. Sebuah data lain menginformasikan bahwa,
pada 2015, proporsinya menjadi 50:50, dan ditargetkan proporsinya menjadi 70:30
pada 2025 nanti.
Perluasan akses ke sekolah kejuruan merupakan
pilihan kebijakan yang umumnya diambil oleh negara-negara sedang berkembang.
Tujuannya untuk memperbaiki pasar tenaga kerja. Tetapi hasilnya tidak selalu
seperti yang diharapkan. Dalam kasus Tanzania (pada 1960-an) dan Korea Selatan
(30 tahun kemudian), kebijakan itu gagal mencapai target. Orang tua lebih
memilih sekolah umum ketimbang sekolah kejuruan di Indonesia. Orang tua dengan
pendidikan yang lebih baik lebih suka sekolah umum swasta. Dan anak-anak dengan
nilai ujian yang lebih baik lebih suka memilih sekolah umum negeri (David Newhouse and Daniel Suryadarma, 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa
jumlah peminat sekolah kejuruan mengalami penurunan. Hal itu terjadi mungkin
karena keterampilan yang diajarkan di sekolah kejuruan jauh lebih cepat
ketinggalan zaman ketimbang keterampilan lulusan sekolah umum. Keterampilan
sekolah kejuruan membuat para lulusannya lebih cepat mendapatkan pekerjaan,
tetapi lulusan sekolah umum lebih mudah meningkatkan atau memperbaiki
keterampilan kerja mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada.
Tambahan pula, dibandingkan dengan sekolah
umum, sekolah kejuruan lebih mahal. Sekolah kejuruan membutuhkan peralatan
mengajar yang lebih kompleks. Biaya sekolah kejuruan 28 persen lebih tinggi
daripada sekolah umum. Namun, tampaknya, pemerintah Indonesia tidak terpengaruh
oleh pengalaman dan fakta di atas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
berkukuh untuk meneruskan kebijakan itu dan mengubah beberapa sekolah umum
menjadi sekolah kejuruan, walaupun tidak banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah
kejuruan bisa memperbaiki pasar tenaga kerja.
Diskusi Publik
Hasil penelitian di atas tampaknya
mengonfirmasikan pandangan yang umum berkembang di masyarakat dan di kalangan
pakar. D.A. Tisna Amidjaja (1991), mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, mengatakan
bahwa bertambahnya angka pengangguran merupakan satu masalah yang tidak mungkin
dapat dipecahkan hanya dengan penambahan pendidikan kejuruan. Dengan mengutip
pendapat umum, ia merekomendasikan agar pendidikan menengah memberikan
pendidikan umum yang dijadikan “landasan bagi berbagai tipe pendidikan pasca-menengah
yang lebih berspesialisasi”. Itu dimaksudkan agar “spesialisasi tidak dimulai
terlalu dini dan tidak terjadi sebelum dimantapkannya suatu basis minimal”.
Dalam konteks yang agak berbeda, Mochtar Buchori (1995) berbicara tentang
spesialisasi yang terlalu dini. Ia mengatakan hal ini ketika menyinggung soal
penjurusan di sekolah menengah umum. Penjurusan yang terlalu dini menyebabkan
apa yang disebutnya sebagai kesenjangan komunikasi intelektual di antara
spesialisasi. Ia mengkritik kurangnya pelajaran sejarah di kalangan siswa yang
mengambil ilmu pengetahuan alam dan kurangnya pelajaran matematika di kalangan
mereka yang mengambil studi sosial. Kekurangan yang sama sungguh terjadi di
kalangan mereka yang mengambil sekolah kejuruan.
Hasil penelitian dan pandangan sejumlah pakar
pendidikan di atas tampaknya menegaskan kembali bahwa pendidikan harus
fleksibel. Keterampilan teknis tidak perlu terlalu ditekankan pada level
sekolah dasar dan menengah. Hutchins (1968) mengatakan bahwa keterampilan
teknis yang dipelajari di sekolah menengah cepat kedaluwarsa dalam masyarakat
teknologis yang berubah cepat.
Anderson (1966) mengatakan bahwa kebijakan
untuk memberikan latihan kejuruan pada level pendidikan dasar dan menengah itu
tidak bijaksana. Alih-alih menjadi terampil dan ahli, mereka malah membenci
kegiatan yang berorientasi praktis itu, yang sebetulnya penting. Latihan teknis
pada level sekolah menengah diberikan tanpa landasan ilmiah yang kukuh yang
mendasarinya. Satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah tenaga kerja adalah
memperbaiki kualitas pendidikan umum (general education) agar
menghasilkan lulusan yang fleksibel. Keterampilan teknis tidak dihasilkan di
sekolah, tetapi merupakan hasil dari latihan di tempat kerja.
John Dewey mengingatkan hal itu dalam bukunya
Democracy and Education (1964) sejak kurang-lebih seratus tahun yang
lalu. Filsuf pendidikan itu menemukan fenomena bahwa aspek kejuruan terlalu
ditekankan dalam pendidikan. Kebijakan kejuruan semacam itu berdampak lebih
jauh pada tercipta sekelompok manusia yang menjadi pekerja dan yang lain
menjadi tuan. Yang satu disuruh dan yang lain menyuruh. Hal ini tentu saja
tidak tepat dalam masyarakat dan negara yang demokratis. Kebijakan itu, menurut
dia, melanggengkan tatanan sosial lama.
Tentu saja, orang tidak harus setuju dengan
Dewey karena beranggapan bahwa kondisi masyarakat dewasa ini jauh berbeda.
Tetapi dengan melihat fakta bahwa kebijakan semacam itu tidak memberi solusi
atas masalah tenaga kerja kita, sebaiknya kebijakan itu didiskusikan secara
luas. Pemerintah tidak perlu mengambil keputusan tergesa-gesa. Keputusan tanpa
pertimbangan yang luas dan mendasar bisa akan membuang waktu, tenaga, dan
biaya, tetapi tidak memberi manfaat banyak. Diskusi publik yang luas mencegah
kita dari kesalahan yang berdampak jauh ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar