Minggu, 24 Juni 2012

SMK: Antara Harapan dan Fakta


SMK: Antara Harapan dan Fakta
Dion Pare ;  Peminat Masalah Pendidikan
Sumber :  KORAN TEMPO, 23 Juni 2012


Pemerintah akan menambah jumlah sekolah kejuruan (SMK). Sebagaimana dilaporkan (Koran Tempo, Senin, 18 Juni 2012), jumlah sekolah kejuruan ini akan ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Targetnya, proporsi sekolah kejuruan dan sekolah umum kelak akan menjadi 60 persen berbanding 40 persen. Adapun saat ini proporsinya baru 46 persen berbanding 54 persen. Sebuah data lain menginformasikan bahwa, pada 2015, proporsinya menjadi 50:50, dan ditargetkan proporsinya menjadi 70:30 pada 2025 nanti.

Perluasan akses ke sekolah kejuruan merupakan pilihan kebijakan yang umumnya diambil oleh negara-negara sedang berkembang. Tujuannya untuk memperbaiki pasar tenaga kerja. Tetapi hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan. Dalam kasus Tanzania (pada 1960-an) dan Korea Selatan (30 tahun kemudian), kebijakan itu gagal mencapai target. Orang tua lebih memilih sekolah umum ketimbang sekolah kejuruan di Indonesia. Orang tua dengan pendidikan yang lebih baik lebih suka sekolah umum swasta. Dan anak-anak dengan nilai ujian yang lebih baik lebih suka memilih sekolah umum negeri (David Newhouse and Daniel Suryadarma, 2011).

Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa jumlah peminat sekolah kejuruan mengalami penurunan. Hal itu terjadi mungkin karena keterampilan yang diajarkan di sekolah kejuruan jauh lebih cepat ketinggalan zaman ketimbang keterampilan lulusan sekolah umum. Keterampilan sekolah kejuruan membuat para lulusannya lebih cepat mendapatkan pekerjaan, tetapi lulusan sekolah umum lebih mudah meningkatkan atau memperbaiki keterampilan kerja mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada.

Tambahan pula, dibandingkan dengan sekolah umum, sekolah kejuruan lebih mahal. Sekolah kejuruan membutuhkan peralatan mengajar yang lebih kompleks. Biaya sekolah kejuruan 28 persen lebih tinggi daripada sekolah umum. Namun, tampaknya, pemerintah Indonesia tidak terpengaruh oleh pengalaman dan fakta di atas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkukuh untuk meneruskan kebijakan itu dan mengubah beberapa sekolah umum menjadi sekolah kejuruan, walaupun tidak banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah kejuruan bisa memperbaiki pasar tenaga kerja.

Diskusi Publik

Hasil penelitian di atas tampaknya mengonfirmasikan pandangan yang umum berkembang di masyarakat dan di kalangan pakar. D.A. Tisna Amidjaja (1991), mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, mengatakan bahwa bertambahnya angka pengangguran merupakan satu masalah yang tidak mungkin dapat dipecahkan hanya dengan penambahan pendidikan kejuruan. Dengan mengutip pendapat umum, ia merekomendasikan agar pendidikan menengah memberikan pendidikan umum yang dijadikan “landasan bagi berbagai tipe pendidikan pasca-menengah yang lebih berspesialisasi”. Itu dimaksudkan agar “spesialisasi tidak dimulai terlalu dini dan tidak terjadi sebelum dimantapkannya suatu basis minimal”. 

Dalam konteks yang agak berbeda, Mochtar Buchori (1995) berbicara tentang spesialisasi yang terlalu dini. Ia mengatakan hal ini ketika menyinggung soal penjurusan di sekolah menengah umum. Penjurusan yang terlalu dini menyebabkan apa yang disebutnya sebagai kesenjangan komunikasi intelektual di antara spesialisasi. Ia mengkritik kurangnya pelajaran sejarah di kalangan siswa yang mengambil ilmu pengetahuan alam dan kurangnya pelajaran matematika di kalangan mereka yang mengambil studi sosial. Kekurangan yang sama sungguh terjadi di kalangan mereka yang mengambil sekolah kejuruan.

Hasil penelitian dan pandangan sejumlah pakar pendidikan di atas tampaknya menegaskan kembali bahwa pendidikan harus fleksibel. Keterampilan teknis tidak perlu terlalu ditekankan pada level sekolah dasar dan menengah. Hutchins (1968) mengatakan bahwa keterampilan teknis yang dipelajari di sekolah menengah cepat kedaluwarsa dalam masyarakat teknologis yang berubah cepat.

Anderson (1966) mengatakan bahwa kebijakan untuk memberikan latihan kejuruan pada level pendidikan dasar dan menengah itu tidak bijaksana. Alih-alih menjadi terampil dan ahli, mereka malah membenci kegiatan yang berorientasi praktis itu, yang sebetulnya penting. Latihan teknis pada level sekolah menengah diberikan tanpa landasan ilmiah yang kukuh yang mendasarinya. Satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah tenaga kerja adalah memperbaiki kualitas pendidikan umum (general education) agar menghasilkan lulusan yang fleksibel. Keterampilan teknis tidak dihasilkan di sekolah, tetapi merupakan hasil dari latihan di tempat kerja.

John Dewey mengingatkan hal itu dalam bukunya Democracy and Education (1964) sejak kurang-lebih seratus tahun yang lalu. Filsuf pendidikan itu menemukan fenomena bahwa aspek kejuruan terlalu ditekankan dalam pendidikan. Kebijakan kejuruan semacam itu berdampak lebih jauh pada tercipta sekelompok manusia yang menjadi pekerja dan yang lain menjadi tuan. Yang satu disuruh dan yang lain menyuruh. Hal ini tentu saja tidak tepat dalam masyarakat dan negara yang demokratis. Kebijakan itu, menurut dia, melanggengkan tatanan sosial lama.

Tentu saja, orang tidak harus setuju dengan Dewey karena beranggapan bahwa kondisi masyarakat dewasa ini jauh berbeda. Tetapi dengan melihat fakta bahwa kebijakan semacam itu tidak memberi solusi atas masalah tenaga kerja kita, sebaiknya kebijakan itu didiskusikan secara luas. Pemerintah tidak perlu mengambil keputusan tergesa-gesa. Keputusan tanpa pertimbangan yang luas dan mendasar bisa akan membuang waktu, tenaga, dan biaya, tetapi tidak memberi manfaat banyak. Diskusi publik yang luas mencegah kita dari kesalahan yang berdampak jauh ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar