Permainan
Parpol di Proyek
Tasroh ; Pegiat
Banyumas Policy Watch Purwokerto,
Alumnus
Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Sumber : SUARA
MERDEKA, 23 Juni 2012
"Selama
ini penyusunan proyek pemerintah seperti menjadi proyek masing-masing sehingga
tak ada integrasi-interkoneksi"
PERNYATAAN Wa Ode Nurhayati seperti
memperjelas kedok politikus Senayan di hadapan publik bahwa isu bagi-bagi
proyek pemerintah oleh, dari, dan untuk elite parpol bukan isapan jempol.
Anggota parlemen lebih berperan sebagai makelar dan pengeruk anggaran negara
ketimbang wakil rakyat. Melalui kemasan dana penyesuaian infrastruktur daerah
(DPID), akal-akalan anggota DPR terbongkar. Proyek Rp 7,7 triliun itu hanyalah
ajang bancakan.
’’Tajuk Rencana’’ harian ini (SM, 21/06/12)
menulis bahwa Wa Ode, politikus PAN didakwa menerima suap Rp 6 miliar lebih
berkaitan dengan proyek itu. Tapi ada petunjuk kuat politikus lain menerima
setoran dari daerah yang ketiban proyek. Mereka seakan-akan berbagi proyek. Wa
Ode misalnya, disebut kebagian proyek di Aceh senilai puluhan miliar rupiah.
Perilaku seperti itu mengkhianati fungsi
penganggaran yang seharusnya mereka emban. Anggaran kita yang hanya Rp 168
triliun, sekitar 10% dari total APBN, menjadi bancakan. DPR justru tak peduli ketika
subsidi energi yang mencapai Rp 225 triliun —terutama dinikmati oleh masyarakat
mampu— membebani anggaran. Belanja pegawai, termasuk gaji anggota DPR dan DPRD,
juga lebih dari Rp 200 triliun.
Ketimpangan anggaran negara mengakibatkan
pembangunan infrastruktur tidak maksimal. Temuan KPK mengindikasikan adanya
persekongkolan bagi-bagi proyek melalui Badan Anggaran DPR. Partai-partai
mendapat jatah proyek dengan nilai yang sebanding dengan jumlah kursi mereka di
parlemen.
Modus itu makin memperkuat tuduhan publik
bahwa partai politik mengerahkan kadernya di DPR mengumpulkan duit lewat
korupsi pada proyek-proyek pemerintah. Mengapa hampir semua proyek harus
berafiliasi dengan partai politik?
Kue
Empuk Baru
Pakar hukum tata negara Saldi Isra (2012)
menyebutkan bahwa ada alibi baru mengembangbiakkan perilaku korup antara elite
negara (birokrat) dan elite parpol dalam wadah tunggal: proyek pemerintah.
Pintu itu menjadi kue empuk baru bagi elite pemerintah dan partai karena lewat
pintu itu para koruptor generasi reformasi merampok uang negara.
Lewat pintu tersebut, pengerat anggaran
publik menemukan makanan enak yang legal. Disebut legal karena UU APBN
mengamanatkan yang berwenang menyelenggarakan proyek pemerintah adalah
eksekutif. Hampir semua proyek di kementerian dan lembaga negara, bahkan kadang
pemda, berafiliasi dengan organisasi partai politik.
Fitra (2012) menyebutkan beberapa perusahaan
besar, termasuk BUMN/ BUMD, menjadi hotbed elite pemerintah dan parpol untuk
mengeruk anggaran lewat jalur proyek pemerintah (Kompas, 20/06/12).
Jika ingin serius mencegah korupsi pada
proyek pemerintah, negara bisa melakukan berbagai upaya. Pertama; mengeluarkan
regulasi larangan bagi pelaksana proyek yang berafiliasi dengan parpol.
Pengalaman membuktikan berbagai proyek, seperti kasus di Kemenpora, 90% mutu
proyek tak sesuai spek karena sebagian dana proyek ditilap atau disetorkan ke
partai.
Kedua; mengintensifkan kerja lintas lembaga
negara. Selama ini penyusunan proyek seperti menjadi proyek masing-masing
lembaga sehingga tak terjadi integrasi-interkoneksi. Akibatnya, mutu proyek
jelek dan kepentingan rakyat dalam desain proyek hanya sekadar atas nama karena
sebagian dana proyek dirampok elite pemerintah dan partai.
Ketiga; pengawasan bersama. Tak hanya yang
berfungsi mengawasi lembaga pemerintah seperti BPK/ BPKP tetapi juga akses
media dan publik harus diberi ruang untuk bersama-sama mengawasi proyek
pemerintah lewat berbagai media. Dengan demikian, proyek pemerintah benar-benar
bernilai publik bukan sebaliknya menjadi bancakan elite pemerintah dan parpol. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar