Jumat, 15 Juni 2012

Perang Media dalam Kasus Pajak


Perang Media dalam Kasus Pajak
Husnun N Djuraid ; Pengajar jurnalistik di Jurusan Komunikasi
FISIP Universitas Brawijaya
Sumber :  JAWA POS, 15 Juni 2012


KASUS korupsi yang melibatkan oknum pajak nyaris selalu punya hubungan dengan para politisi. Mulai kasus Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, hingga Tommy Hendratno. Kasus Gayus melibatkan banyak pejabat dan politikus, baik yang akhirnya mendekam dalam penjara maupun yang tidak tersentuh hukum. Sedangkan kasus Dhana, menyentuh juga keterlibatan politisi.

Kasus terbaru adalah kasus Tommy yang membuat seorang pengusaha Hary Tanoesudibyo, pemilik Bhakti Investama, masuk pusaran. Seorang komisaris independen dan seorang yang mengaku karyawan perusahaan milik Hary Tanoesudibyo diperiksa oleh KPK dalam kasus suap terhadap karyawan pajak tersebut.

Yang menarik, Hary Tanoesudibyo menyebut kasusnya itu bermuatan politis. Kalau dia sebagai pengusaha, kemungkinan tidak bisa mengaitkan kasusnya itu dengan politik. Tapi, ketika dia sudah terjun dalam dunia politik, dia harus menerima konsekuensi politis tersebut. Setidaknya, dia merasa begitu.

Ketika memutuskan untuk menjadi politikus di Indonesia, seseorang harus menyadari bahwa dia tengah menciptakan musuh yang setiap saat siap menjegal. Hary Tanoesudibyo pun merasa kasus yang berkaitan dengan bisnisnya sudah dibawa ke ranah politik. Sebagai orang yang bergerak dalam bisnis media, semestinya dia tahu bahwa lawannya juga menggunakan media untuk menyerangnya. Sama dengan media yang berada di bawah naungan kelompok usahanya, yang dengan terlihat penuh semangat memberitakan kasus Lapindo.

Dalam pasar media, menurut McQuail, peran pemilik sangat besar dalam menentukan sebuah berita disiarkan atau tidak. Sedihnya, saling incar kelemahan kemudian digunakan sebagai alat untuk saling menyandera adalah kelaziman dalam dunia politik Indonesia mutakhir. Kasus Century, kasus pajak, kasus Lapindo, dan beberapa kasus lain digunakan oleh para politikus untuk menyerang lawan politiknya. Dalam memainkan kartu truf, para politikus-pengusaha itu tak segan-segan memanfaatkan media miliknya untuk menyerang lawan politiknya.

Beberapa politikus-pengusaha memiliki media yang besar untuk jelas menunjang karir politiknya sekaligus digunakan sebagai alat propaganda. Suatu ketika Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah ditanya mengenai maraknya kasus yang menimpa partainya yang ramai diberitakan media. Dengan santai, Anas mengatakan bahwa itu terjadi karena Demokrat tidak punya televisi.

Pernyataan Anas itu menggambarkan bagaimana partai yang dipimpinnya -dan juga dirinya- babak belur dihantam berita negatif tak terhentikan. Dua kelompok media yang dimiliki oleh dua pemimpin parpol menjadikan pemerintah dan Demokrat sebagai sasaran tembak pemberitaannya. Para politikus pemilik media kuat terkesan sudah menggunakan media untuk kepentingan politiknya karena mereka tahu efektivitas sangat kuat dari media dalam memengaruhi agenda masyarakat.

Melihat potensi tersebut, para politikus terjun dalam bisnis media, begitu juga sebaliknya pengusaha media terjun ke dunia politik. Saat ini ada dua kelompok media yang saling bersaing dalam memperebutkan pengaruh masyarakat, yakni kelompok Metro TV dan kelompok Vivanews. Bahkan, kini kelompok Metro TV yang mendukung Partai Nasdem menjadi semakin besar kekuatannya setelah kelompok media MNC -RCTI, MNCTV, dan Global TV- ikut bergabung dalam barisan Nasdem. Kelompok usaha tersebut tidak hanya menjadi pendukung, tapi juga sudah terjun secara penuh dengan menempatkan pemilik perusahaan itu sebagai ketua Dewan Pakar Nasdem.

Sejak kelahirannya, partai itu menyita banyak perhatian masyarakat, termasuk partai yang sudah lama, karena didukung publikasi yang sangat besar dari media, terutama televisi. Partai Golkar terlihat kebakaran jenggot karena banyak kadernya yang lari ke partai baru tersebut. Peta kekuatan politik-media pun terbentuk dengan jelas dalam pertarungan Metro TV yang didukung MNC Group di kubu Nasdem versus kubu Golkar yang didukung Vivanews, TV One dan AnTV.

Polarisasi dua kekuatan itu berdampak kepada kebijakan politik pemberitaan masing-masing media menyangkut pilihan berita. Dalam propagandanya, kelompok Metro TV dan MNC bisa menyiarkan acara Nasdem dalam durasi yang cukup lama. Metro TV, misalnya, bisa menyiarkan pidato pimpinan Nasdem secara live dari berbagai penjuru Indonesia. Hary Tanoesudibyo pun menjadi iklan Nasdem yang disiarkan media miliknya. Tapi, dalam kasus pajak, misalnya, Metro TV tentu tidak membuat liputan yang galak seperti saat memberitakan peristiwa yang dianggap sebagai kesalahan pemerintah.

Di kubu yang lain, TV One dan AnTV rajin memberitakan aktivitas ketua umum Partai Golkar yang juga pemilik kelompok media tersebut. Hanya, dalam penyajian volume beritanya tidak sebanyak Metro TV saat menyiarkan pidato politik ketua Nasdem. Tapi, dalam hal menyembunyikan berita yang tidak boleh disampaikan ke publik, dua kelompok itu memiliki kebijakan yang sama. TV One, AnTV, dan kelompok Vivanews cenderung tak kritis dalam kasus Lapindo yang tidak kunjung usai itu.

Ketika korban Lapindo menggelar peringatan enam tahun tragedi tersebut, Metro dan MNC memberitakan acara itu dengan porsi yang besar. Tapi, jangan mencoba mencari berita itu di kelompok Vivanews, tentu tidak ada. Sebaliknya ketika kasus pajak Tommy muncul, kelompok Vivanews dengan gencar memberitakan karena ada daya tarik nama Bhakti Investama. Ketika banyak media belum mengaitkan kasus tersebut dengan Hary Tanoesudibyo, Vivanews sudah gencar menampilkan nama bos media itu dengan kasus tersebut.

Perang berita dua perusahaan media terlihat ada unsur saling balas dendam. Tak jelas apakah pengelola media ingin memuaskan publik atau memuaskan pemilik media. Padahal, pemilik tak bisa menggunakan frekuensi televisi seenaknya karena itu milik publik. Dalam jangka panjang, media bisa kehilangan kredibilitas dari publik dan meredupkan pengaruhnya. Publik akan tahu adanya kepentingan di balik pemberitaan yang gencar. Seperti kata Littlejohn dan Foss, media punya dampak yang kuat kepada agenda publik saat khalayak membutuhkan panduan yang tinggi. Publik akan menilai apakah media kita sudah memenuhi kebutuhan itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar