Minggu, 10 Juni 2012

Pemimpin Demagog, Pengikut Togog


Pemimpin Demagog, Pengikut Togog
Danang Probotanoyo ; Aktif di Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS), Alumnus UGM
SUMBER :  JAWA POS, 09 Juni 2012


SEKARANG teramat banyak orang yang gemar melontarkan kalimat "krisis kepemimpinan", "tiada keteladanan dari pemimpin", "ketidaktegasan pemimpin", dan yang sejenis ketika menghadapi keadaan yang dirasakan sebagai penyimpangan, krisis, dan chaos. Semua anomali ditimpakan kepada pemimpin. Sedikit pun tak tebersit bahwa masyarakat sebagai pengikut pun memiliki determinasi berbuat sesuatu guna mencapai kondisi seperti yang diharapkan bersama.

Masyarakat sebagai pengikut dari seorang pemimpin sering seolah serbainferior di hadapan pemimpin: pasrah, tak berdaya, mudah diprovokasi, tidak independen, ikut apa mau pemimpin, ataupun taklid. Sejalan dengan itu, masyarakat sering berlebihan dalam mendefinisikan seorang pemimpin, yakni sosok super, sakral, teladan, dan tak mungkin salah.

Akibatnya, muncul ekspektasi yang kelewat tinggi terhadap sang pemimpin. Bila kebetulan mendapatkan pemimpin berkarakter, amanah, jujur, dan arif, tentu ekspektasi masyarakat yang tinggi tersebut bernilai positif. Namun, bila mendapatkan pemimpin yang tidak seperti yang diharapkan, muncul kekecewaan, amarah, bahkan bisa menjurus ke perilaku anarkistis dari para pengikut.

Di Kabupaten Mesuji, awal Mei lalu massa pendukung wakil bupati Mesuji marah dan lepas kendali berbuat anarkistis dengan membakar kantor bupati karena tidak terima sang Wabup, Ismail Iskak, diberhentikan Mendagri dari jabatannya serta ditahan karena korupsi. Juga di Bima, NTB, massa berbuat anarkistis membakar kantor bupati dan KPUD. Kantor Bupati Maluku Tengah pun tak luput dari pembakaran massa yang marah menjelang penetapan hasil suara pilkada 30 Mei lalu (Liputan6.com).

Insiden-insiden tersebut memerlukan perubahan paradigma masyarakat sendiri sebagai pengikut. Masyarakat selama ini terkungkung satu budaya leadership deterministic, masyarakat sebagai pengikut seolah tak memiliki kebebasan, semua bergantung pemimpin. Padahal, dalam konsep civil society, masyarakat sebagai pengikut seharusnya memiliki kesadaran: otorisasi untuk berpikir dan mengendalikan diri. Kultus individu dan primordialisme kelompok harus dihindari. Jangan pula menjadi pengikut bayaran untuk berbuat anarkistis demi "kursi" pemimpin. Mempertaruhkan raga dan nyawa demi kemasyhuran seseorang pemimpin mabuk kuasa adalah bodoh besar!

Taklid dan Hasut

Kesalahan masyarakat adalah selalu berorientasi pada elite pemimpin. Mereka hanya membicarakan seseorang yang punya kualitas leadership kuat dan mengangkatnya sebagai pemimpin yang mampu mengatasi segala persoalan. Sah-sah saja bila pemimpin yang diangkat tersebut memang memiliki kapabilitas, kapasitas, dan karakter kuat sebagai pemimpin.

Namun, bila pemimpin tersebut demagogis alias dominan mutlak, yang muncul adalah chaotic. Untuk itu, diperlukan penyadaran bahwa untuk mewujudkan civil society yang sejati, selain dibutuhkan pemimpin yang punya leadership kuat, masyarakat pengikut juga harus membekali diri dengan seperangkat pengetahuan mengenai seni menjadi pengikut (art of followership).

Seni kepengikutan itu tak lain adalah keyakinan, sifat, dan perilaku yang berkualitas dari seorang pengikut agar tak mudah terombang-ambing dan dijerumuskan para pemimpin yang menyimpang. Menurut Kelley R.E. (1992), masyarakat hendaknya menghindari gaya kepengikutan yang asal mengikuti pemimpin (passive follower) maupun yang asal meniru pemimpin (conformist follower).

Dua gaya kepengikutan yang tidak independen dan taklid buta tersebut membuat pengikut bak budak atau robot yang mudah dikendalikan pemimpin demagog untuk melayani nafsu berkuasanya, bahkan diperalat untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan berbagai cara. Kontekstualitasnya pada kerusuhan di banyak pilkada, calon yang kalah melakukan penghasutan secara terang atau tersamar kepada pengikutnya supaya terjadi kerusuhan. Jamak pula pemimpin tersangkut korupsi, lantas mengerahkan massa pengikutnya untuk mendemo KPK atau pengadilan. Bisa jadi para pengikut yang dihasut tersebut tak tahu persis duduk persoalan. Padahal, agama melarang kita mengikuti sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan atasnya.

Tidak baik pula seorang pengikut lantas berlaku layaknya seorang yang apatis: punya kemandirian bersikap, bahkan kritis, namun tidak partisipatif. Tipe itu disebut pengikut yang teralienasi (alienated follower). Tipe lain adalah pengikut yang pragmatis (pragmatic follower), tipikal pengikut "abu-abu", suka berada di zona aman, tidak kritis, tapi juga tidak tunduk kepada pemimpin, tidak aktif dalam berpendapat, namun tidak mau dicap sebagai seorang yang apatis. Susah memunculkan suatu gebrakan guna kemajuan dari tipikal pengikut teralienasi maupun pragmatis.

Dua tipe pengikut terakhir (yang teralienasi dan pragmatis) banyak diidap oleh masyarakat kelas menengah kita saat ini. Mereka lebih suka menjadi penonton dan komentator segala situasi yang terjadi. Ujung-ujungnya cuma pintar menyalahkan, namun menghindar dari kewajiban partisipatif dan keterlibatan yang mungkin bisa mengubah keadaan.

Kita Adalah Pemimpin

Lantas, tipe pengikut macam apa yang baik? Tentunya tinggal menegasikan empat macam tipe pengikut itu. Yaitu, pengikut yang tidak asal mengikuti dan meniru seorang pemimpin tanpa sedikit pun kritis terhadapnya, berani dalam mengutarakan pendapat dan aspirasinya, serta berpartisipasi aktif terhadap pencapaian tujuan yang telah diputuskan bersama dan mendukung hasil-hasilnya. Sosok pengikut yang demikian sesungguhnya merupakan tipe pengikut yang efektif, mampu memimpin diri sendiri, serta tak mudah menyalahkan pemimpin.

Dalam jagat wayang, ada sosok Semar sebagai pengikut yang efektif, mengikuti banyak kesatria, namun tetap kritis-konstruktif. Sebaliknya; kita mendapatkan pengikut yang surga "nunut" neraka "katut" pada Togog yang dikenal dengan mulut besarnya; semua tokoh antagonis, bahkan bengis, akan diikuti, yang penting ikut mulia.

Kualitas pengikut yang efektif lebih mendekatkan dirinya sejajar dengan kualitas seorang pemimpin. Bukankah dalam agama pun disinggung bahwa tiap diri kita adalah pemimpin? Sedangkan pengikut yang asal ngikut tak beda dengan kerbau yang dicocok hidungnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar