Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan :
Otda
Kesejahteraan Didukung Doa Orang Gila
Laporan Diskusi Panel
oleh KOMPAS - Lingkar Muda Indonesia
Sumber : KOMPAS,
19 Juni 2012
Atmosfer diskusi Lingkar Muda Indonesia atau
berbagai kelompok madani lain rasanya semakin unik. Setidaknya dari kajian
komunikasi politik.
Pertama, semakin banyak pihak yang bertambah
yakin bahwa negara memang harus diselamatkan. Setidaknya, kata mereka, dengan
terus berkata-kata. Kedua, tampak pula kesepakatan soal arah menabuh perjuangan
dengan kata-kata itu, yakni menuju negara kesejahteraan.
Lebih jauh, cukup banyak yang setuju bahwa
konstitusi kita sudah baik untuk mencapai tujuan tersebut. Yang menjadi masalah
serius adalah proses menagih terwujudnya negara kesejahteraan kepada
pemerintah. Padahal, inilah orang-orang berikut sistem yang bertugas menjadi
penyedia, penyelenggara, pengelola sebagian atau seluruh kesejahteraan
(sebagian atau semua) warga.
Jadi, keunikan diskusi-diskusi seputar
perjalanan dari cita-cita menuju realitas negara kesejahteraan terutama
terletak pada kesadaran ketidakberdayaan para pemikir dan penulis.
Salah satu panelis dalam diskusi LMI bersama
harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 15 Mei 2012, bahkan dengan amat
tenang menyatakan bahwa menagih negara kesejahteraan bersenjatakan konstitusi
tidak akan menggerakkan pemerintah! Ketika beradu argumen dan data, konstitusi
dengan mudah kalah oleh citra dan virtualisasi sukses fiskal. Akibatnya, di
dalam politik riil, kemauan politik yang ditagih itu baru bisa lahir karena
terpaksa setelah ada desakan dan tekanan.
Daerah Kesejahteraan
Menelusuri lebih dalam ke sisi empirik, kuasa
uang dan kekerasan amat terasa di era pemilu kepala daerah yang mewarnai
perjalanan otonomi daerah (otda). Yang lebih banyak kita dengar bukan kisah
evolusi menuju daerah kesejahteraan, melainkan lebih dari setengah kepala daerah
terjerembab kasus korupsi. Dengan begitu, selayaknya di aneka daerah muncul
lebih banyak upaya penyelamatan dengan berkata-kata yang berlanjut tekanan dan
desakan.
Pada konteks seperti inilah, presentasi figur
Tri Rismaharini semula terkesan bertolak belakang. Wali Kota Surabaya ini sejak
awal menyebut dirinya tidak mampu mengikuti aneka aspek historis atau genealogi
diskusi negara kesejahteraan. Dia pun berkali-kali menyederhanakan inti diskusi
yang sudah sampai beberapa serial itu sebagai ”komunikasi dan politik” yang
tidak dia kuasai. Untuk mempertajam ilustrasi, Risma juga menyatakan ia
sebetulnya tak mengerti kenapa ada parpol yang tertarik mengusungnya pada
pilkada.
”Bagi saya komunikasi atau politik itu
tujuannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Itu saja. Saya ndak ngerti
yang lain. Jadi, saya hanya menggambarkan foto-foto sebab ini riil yang kita
lakukan di lapangan,” tutur Risma. Gayanya tak kalah tenang seperti para pakar,
peneliti, dan anggota DPR yang hadir pada diskusi LMI.
Maka, presentasi Wali Kota Surabaya itu pun
tak berurutan seperti evolusi negara kesejahteraan pada umumnya. Katakanlah
mulai dari kesehatan dasar, upah minimum, pendidikan dasar-menengah, jaminan
hari tua, kecelakaan kerja, cacat, pensiun, transportasi publik, perpustakaan,
pendidikan tinggi, dan seterusnya. Risma lebih mendahulukan sektor pendidikan,
peningkatan kapabilitas sektor informal, usaha kecil-menegah (UKM) dan
koperasi, serta menempatkan diri sebagai seorang ibu. Karena itu, metodenya
agak serabutan. Tergantung dia ketemu masalah apa dalam interaksi dengan warga
yang mana dan alternatif jalan keluar apa yang kira-kira bisa dilakukan
secepat, seefektif, serta seefisien mungkin.
Selain menggunakan 36 persen dari APBD untuk
pendidikan, kekhususan otonomi di bawah Risma terasa pada pemberian bantuan
untuk semua, tak terbatas hanya untuk sekolah negeri. Sekolah swasta, madrasah,
pesantren, semua dapat bantuan. Fakta empirik ini, misalnya, jauh berbeda
dengan upaya pemerintah pusat yang kini terkesan sedang mendorong berbagai
universitas utama untuk ”menyerahkan diri” jadi perguruan tinggi negeri jika
ingin dapat bantuan pemerintah. Sementara perguruan tinggi swasta cenderung
dianggap tak terkait dengan urusan kesejahteraan untuk seluruh warga.
Pemerintah Kota Surabaya juga berani
mengabaikan aturan- aturan yang sepertinya sedang ditegak-tegakkan lewat mantra
”ujian nasional”. Setiap anak miskin (pemerintah kota memiliki basis datanya)
berhak masuk ke sekolah negeri di sekitarnya tanpa melalui saringan apa pun. Alasannya
sederhana, yakni sama seperti anak orang kaya itu lumrah menjadi pandai, anak
keluarga miskin pun lumrah kalau tak pandai. Kedekatan jarak sekolah yang
menerima menjadi penting untuk memotong biaya transportasi.
Di bidang kesehatan dilakukan terobosan
Jamkesmas nonkuota. Orang miskin tak perlu khawatir untuk cuci darah. Berapa
kali pun akan dibiayai. Posyandu untuk membantu semua anak usia balita dan
penduduk lanjut usia (lansia) digerakkan di seluruh bagian kota. Tersedia
makanan tambahan untuk ibu hamil, anak usia balita, lansia, penderita kanker,
dan gizi buruk. Kelompok lansia telantar yang tak punya keluarga dapat
kebutuhan setiap hari dan diasuh oleh kelompok lansia lain yang masih mampu
mengoordinasi dirinya. Ini mengingatkan kita akan sejarah peran-peran awal
”masyarakat kesejahteraan” versi komunitas keagamaan.
Presentasi yang campur baur itu lalu mengalir
cepat pada contoh-contoh sukses peningkatan kapabilitas, mencarikan akses untuk
bahan mentah, pemasaran, dan di sana-sini juga bantuan modal serta penjaminan.
Tersebutlah Bank Sampah (bisa beromzet Rp 67 juta per bulan), Sentra Pedagang
Kaki Lima (omzet dapat mencapai Rp 10 juta per hari), Kampung Lontong (sehari
produksi 80 ton), Kampung Kue Basah (beromzet Rp 3 miliar per hari), Kampung Bordir
(termasuk untuk tunarungu), Kampung Tempe, Kampung Cabe, Kampung Lele, dan
sebagainya.
Pada presentasi Risma, tidak muncul secara
khusus kata-kata ”kendala”. Yang ada lebih ke aspek tantangan yang dijawab
dengan naluri keibuannya. Misalnya, pemkot memilih anak-anak yang suka
mabuk-mabukan atau berkebutuhan khusus untuk dididik. Bahkan, mereka
disekolahkan ke luar negeri dan dipanggil sebagai ”anak-anak Bu Risma”.
Selanjutnya, pada sesi tanya jawab, yang
mula-mula mencuat adalah tanggapan Risma yang memang tak terlalu pas (dia minta
maaf untuk itu). Namun, saat yang sama, ia dapat dengan jelas menunjukkan bahwa
semua otonominya itu dimulai dari musrenbang (musyawarah perencanaan
pembangunan) yang transparan dan bisa diikuti oleh siapa saja di internet. Di
setiap RT dan RW diupayakan ada fasilitas internet untuk dapat mengusulkan
program apa dan menilik bagaimana kemudian jadinya.
Di bagian penumbuhan ruang publik berikut
pencerdasannya ini, kiprah Risma sejalan dengan evolusi menuju negara
kesejahteraan yang butuh 70-80 tahun di Eropa. Ia menyebut Kota Surabaya
sekarang punya lebih dari 490 perpustakaan yang sengaja dibangun di
kampung-kampung.
Konstitusi Natural
Presentasi dan kiprah tokoh- tokoh seperti
Risma, juga Joko Widodo (Solo), mungkin dapat menunjukkan apa yang disebut
seorang panelis sebagai ”pemberontakan” teoretis. Mereka suka mengatakan ”tak
paham teori- teori besar” dan jadi lebih enteng untuk (salah satunya)
mengintervensi pasar bebas fiskalitas. Dengan pengabaian seperti itu,
konstitusi bisa terasa sebagai sesuatu yang legitimitas secara natural karena
sejalan dengan evolusi cita-cita etis dan moral.
Dalam bahasanya, Risma menyatakan: ”Saya tidak bertanggung jawab kepada 3,3 juta
orang. Tapi saya bertanggung jawab kepada sumpah saya ’demi Allah’ pada saat
dilantik.” Dengan sumpah otonomnya, Risma juga merawat 900 orang gila yang
95 persen bukan orang Surabaya. Jadi, bukan konstituennya.
Upaya-upaya yang tidak ”normal” ini tentu tak
sedikit mendapat hadangan dari rezim yang sangat berdaya dewasa ini, yakni uang
dan kekerasan. Risma sempat terancam dimakzulkan. Namun, dia mengaku tertolong
oleh hidayah-Nya, mungkin karena doa orang-orang gila tadi.
Jika dikembalikan ke persoalan awal tentang
ketidakberdayaan pemikir dan produsen kata-kata, pastilah presentasi Risma bisa
menjawab ketersediaan contoh empirik induktif. Namun, pertanyaan utama masih
menggenang: berapa banyak otonomi daerah memiliki kemauan politik kesejahteraan
yang lahir bukan atas desakan dan paksaan? Lalu, pada puncaknya: terbacakah
pesan pertemuan praktik dengan teori seperti ini oleh pihak-pihak yang
seharusnya mengevolusi dan menyelenggarakan sistem negara kesejahteraan kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar