Sabtu, 16 Juni 2012

Opsi Palestina pada Era Mursi


Opsi Palestina pada Era Mursi
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber :  SUARA MERDEKA, 16 Juni 2012


ISU luar negeri, terutama terkait hubungan bilateral Mesir-Israel menjadi salah satu topik penting dalam pemilu presiden (pilpres) II Mesir, hari Sabtu ini dan Minggu besok. Tiga belas kandidat dalam pilpres putaran I Mei lalu menyorot hubungan baik kedua negara itu. Dalam kampanye, hampir semua kandidat  mempersoalkan Perjanjian Camp David 1979 yang menjadi landasan terjalinnya hubungan baik Kairo-Tel Aviv selama 34 tahun terakhir.

Perjanjian itu ditandatangani Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin  di sayap utara Gedung Putih, 26 Maret 1979, disaksikan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Salah satu isinya mendorong realisasi perdamaian Mesir-Israel.

Awalnya, perjanjian damai itu bukan saja ditentang oleh sebagian besar rakyat Mesir melainkan juga negara-negara Arab pada umumnya. Waktu itu, negara-negara Arab mengucilkan Mesir, baik di lingkup pergaulan Liga Arab maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai reaksi kejengkelan atas perjanjian tersebut.  

Para kandidat pilpres II mencoba menghidupkan kembali memori itu melalui kampanyenya. Mereka mengungkapkan ketidaksenangannya atas jalinan hubungan baik antara Mesir dan Israel. Pernyataan-pernyataan yang terlontar ke publik mencerminkan sikap politik mereka yang tidak sepaham dengan sikap pemerintah berdamai dengan Israel yang masih menjajah Palestina.

Mohammed Mursi, capres dari Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) yang lolos ke pilpres II kedua dan berhadapan dengan jago dari kubu independen Ahmed Shafiq, termasuk kandidat yang gencar kembali mengunggah jalinan hubungan baik Kairo-Tel Aviv. Dalam kampanye Mei lalu Mursi menyatakan akan meninjau ulang perjanjian itu jika terpilih menjadi presiden baru. Statemennya secara implisit membuka peluang bagi kemungkinan pembekuan hubungan baik tersebut.

Sikap Mursi mudah dipahami. Dia termasuk petinggi Ikhwanul Muslimin (IM) yang sikap politiknya terkait Israel tegas: menolak keberadaan Negeri Yahudi yang disebutnya sebagai Vampir itu. Ikhwanul sejauh ini konsisten menentang pendudukan wilayah-wilayah Palestina oleh Israel. Dalam perang pertama Arab-Israel tahun 1948, organisasi yang didirikan Hassan Al-Banna di Kota Ismailiya Maret 1928 itu ikut menerjunkan relawannya untuk bertempur melawan Israel.

Bantuan Amerika

Bila Mursi menang, muncul kecenderungan dia akan lebih mengakomodasi kepentingan Palestina ketimbang mempertahankan hubungan baik Mesir-Israel yang mengorbankan Palestina. Konsekuensinya, pemerintah Mesir dipastikan kehilangan bantuan rutin dari AS yang tiap tahun mencapai sekitar 1,5 miliar dolar.

Paman Sam rutin memberi paket bantuan senilai itu sejak 1979, setelah penandatanganan Perjanjian Camp David, sebagai imbalan kemauan Mesir berdamai dengan Israel. Bantuan itu mencakup bantuan ekonomi, militer, dan international military education, and training (IMET).

Jika Amerika menyetop bantuan, hal itu menjadi problem serius bagi Mesir yang tengah dililit krisis ekonomi. Akankah Mursi konsisten dengan sikapnya menentang Israel bilamana memenangi pilpres II?

Sebaliknya, bila Shafiq menang, hampir dipastikan tidak akan mengusik keberadaan perjanjian yang lebih dari tiga dasawarsa melandasi jalinan hubungan baik negerinya dengan Israel. Dipastikan ia memilih melanggengkan status quo dalam konteks hubungan Mesir-Israel meski harus mengorbankan kepentingan Palestina.

Ikutannya, upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel diperkirakan tidak mengalami kemajuan berarti dan Palestina tetap menjadi pihak yang dikorbankan dan dirugikan. Itu sebabnya, banyak warga Palestina lebih senang Mursi menang ketimbang Shafiq. Muncul secercah harapan penyelesaian adil dan beradab atas konflik Palestina-Israel dapat diwujudkan bilamana (Mursi?) terpilih menjadi presiden baru Mesir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar