Sabtu, 16 Juni 2012

Nostalgia Keberhasilan


Nostalgia Keberhasilan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2012


BULAN Juni layar televisi sering menampilkan wajah Bung Karno, yang disebut tokoh bulan Juni; lahir tanggal 6 Juni.

Sebenarnya bukan hanya Bung Karno. Pak Harto pun kelahiran bulan Juni, tanggal 8. Begitu pula Pak Habibie, lahir tanggal 25 Juni. Penulis menyebut mereka the June Presidents.

Berulangkali melihat wajah Bung Karno, kita menjadi bernostalgia akan keberhasilan masa lampau, khususnya yang diraih ketiga mantan RI-1 itu.

Tentu mereka tokoh-tokoh kontroversial. Tokoh besar dunia mana yang tidak menimbulkan kontroversi, terutama bila menyangkut kebijakan negara? Namun, sesuai bunyi ungkapan ‘mikul duwur, mendem jero’-junjung tinggi yang baik, pendam dalam-dalam yang tidak baik--kita bisa melihat banyak sisi baik yang dilakukan ketiga tokoh.

Lagi pula, suatu ideologi, untuk bisa terwujud, memerlukan program aksi. Untuk itu diperlukan pemikir-pemikir yang bisa menginterpretasikan sejarah dan bisa menjamin program itu sejalan dengan tradisi masyarakat, dengan kepercayaan masyarakat, juga dengan gejala-gejala umum yang sedang berlaku di dunia. Tiap aksi atau gerakan memerlukan pengorganisasian dan pengembangan norma-norma yang bisa dipatuhi karena dia hanya bisa berjalan bila jelas identitasnya. Diperlukan tokoh-tokoh yang berani memeloporinya.

Bagi awam, organisasi macam itu pada awalnya tampak tidak praktis dan terlalu idealistis. Lebih-lebih bila dia membawa perubahan yang mengganggu keselarasan dan ketertiban yang sudah dikenal. Maka, hidup-matinya ideologi bergantung pada para pemikir dalam membaca suasana. Juga keberanian para pelopor untuk menerobos tentangan dan menanggapi tantangan. Mereka mungkin berhasil, mungkin gagal. “Tetapi masyarakat cenderung mengagungkan pemenang. Yang gagal mereka campakkan.” Begitu pernah diucapkan Dr Toety Heraty Nurhadi ketika berkomentar tentang seorang bintang yang berpulang. Menurut Toety, masyarakat butuh tokoh pemenang yang glamor, tokoh pujaan yang berbeda dari kenyataan sehari-hari.

Manusia yang ditokohkan, dengan demikian, dituntut berbuat lebih, layaknya seorang superman. Selama dia memenuhi tuntutan itu, dia superman pujaan. Tetapi apa yang terjadi bila dia bukan lagi pemenang? Tepuk gemuruh yang mengelu-elukannya dalam sekejap bisa berubah menjadi celaan. Tiba-tiba sang tokoh menjadi orang biasa, bahkan bisa saja dianggap inferior daripada yang lain.

Masa Lampau dan The June Presidents

Kita mengenang Presiden pertama RI sebagai tokoh yang membebaskan bangsa dan negara ini dari penjajahan selama tiga abad lebih. Beliau mulai membangun bangsa dan negara dengan landasan yang nantinya diberi nama Pancasila--sebuah falsafah yang dipetik dari puncak-puncak unsur-unsur terbaik dalam budaya masyarakat kita.

Falsafah tersebut terurai dalam bentuk UUD ‘45 yang bertujuan membangun NKRI dan mempersatukan serta menyejahterakan bangsa. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, mencerminkan kesadaran tentang keberagaman agama yang ada di Indonesia. Tetapi, dengan sila tersebut diharapkan segenap umat beragama menyadari kebesaran Tuhan yang Esa tanpa perlu diperdebatkan lagi kehadirannya dalam kehidupan kita.

Sampai sekarang masih ada saja konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Itu berarti belum seluruh warga Indonesia menyadari makna dan pentingnya sila pertama. Begitu pula halnya dengan sila-sila yang lain. Seluruh sila dimaksudkan mengantar bangsa ini pada persatuan, kemakmuran, serta kesejahteraan lahir dan batin.

Pak Harto, yang mendapat sebutan Bapak Pembangunan, sejak awal memperlihatkan sikap kebapakan. Banyak programnya dijalankan terutama demi kepentingan rakyat banyak; program-program seperti keluarga berencana, kesehatan masyarakat, pendidikan massal, termasuk perhatiannya yang intensif dalam kegiatan pramuka dan pertanian. Namun, beliau tidak mengabaikan fakta mengenai perkembangan perekonomian global. Dalam periode pemerintahannya, investasi asing yang dirasakan penting bagi pembangunan dibuka. Selama periode itu beliau berhasil meningkatkan GDP per kapita per tahun sampai 100 kali lipat, dari sebesar US$70 pada awalnya.

Banyak buku ditulis tentang Pak Harto, antara lain mengenai gaya manajemennya yang dituturkan 17 menteri. David Jenkins, seorang wartawan senior Australia, menulis ‘Suharto and His Generals’ yang mencoba mengupas sistem manajemen kenegaraan Presiden ke-2 RI itu dalam kaitannya dengan peran para jenderal di sekitarnya. Pak Harto dikenal sebagai seorang ahli strategi.

Sudah kehendak sejarah bahwa seperti presiden pertama, presiden ke-2 pun akhirnya dilengserkan. Bubarlah Orde Lama dan Orde Baru, digantikan oleh Orde Reformasi yang dipelopori Presiden Habibie. Segolongan orang mengatakan Pak Habibie terlalu maju untuk zamannya. Tokoh cemerlang itu mendapat S-2 dan S-3 di bidang teknik dari Jerman, dengan predikat summa cum laude. Sewaktu pulang dari Jerman, beliau dipercaya Presiden Soeharto untuk mengembangkan industri teknologi tinggi. Namun, sayangnya ahli pesawat terbang itu tidak didukung kekuatan finansial yang memadai mengingat kemampuan Indonesia waktu itu. Habibie tidak bertahan lama sebagai presiden, hanya 512 hari. Bandingkan dengan Bung Karno yang memerintah 21 tahun dan Pak Harto 32 tahun. Namun dalam waktu sesingkat itu, Pak Habibie berhasil sebagai pelopor kebebasan pers dan pengawal demokrasi. Dalam masa pemerintahannya diselenggarakan pemilu demokratis pada tahun 1999, diikuti 48 partai.

Mengenang kejayaan masa lampau, tidak berlebihan bila mengangankan kita pun mampu meraih hal serupa. Kekalutan suasana sosial politik yang ada sekarang rasanya bisa kita atasi dengan mengambil pelajaran Nelson Mandella tentang semangat rekonsiliasi. Seperti kata Surya Paloh, hendaknya kita tutup buku untuk yang lalu dan membuka lembaran baru. Lagi pula kita bukan masyarakat pendendam; malahan lebih sebagai masyarakat pemaaf demi meraih masa depan yang damai dan menyejahterakan semua--sesuai hakikat falsafah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar