Selasa, 12 Juni 2012

Mitos Meritokrasi China

Mitos Meritokrasi China
Minxin Pei ; Guru Besar Pemerintahan pada Claremont Mckenna College di California
SUMBER :  KORAN TEMPO, 11 Juni 2012

Skandal politik kadang-kadang memainkan peran berharga dalam membersihkan pemerintahan. Ia menghancurkan karier politik individu-individu yang diragukan kejujurannya. Lebih penting lagi, ia bisa membongkar kepalsuan mitos politik yang berada pada titik sentral legitimasi beberapa rezim di dunia.

Itulah tampaknya yang terjadi dalam kasus Bo Xilai. Satu mitos politik yang runtuh bersama jatuhnya mantan bos Partai Komunis di Kota Chongqing ini adalah anggapan bahwa pemerintah yang dikuasai Partai Komunis di Cina dewasa ini ditegakkan berdasarkan meritokrasi, yaitu bahwa pemerintah ini terdiri atas orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.

Dalam banyak hal, Bo merupakan personifikasi dari konsep “meritokrasi” Cina ini—terdidik, cerdas, pandai bergaul, dan menarik alias charming (terutama di mata petinggi-petinggi bisnis Barat). Tapi, setelah kejatuhannya, muncul suatu gambaran yang berbeda. Di samping dituduh terlibat dalam berbagai kejahatan, Bo ternyata adalah seorang apparatchik yang kejam, dengan ego yang berlebihan tapi tanpa bakat yang riil. Rekornya sebagai pejabat daerah sedang-sedang saja.

Naiknya Bo ke jabatan yang tinggi terutama karena keturunan (ayahnya pernah menjabat wakil perdana menteri), karena dukungan politik, dan karena manipulasi yang dilakukannya. Misalnya, mereka yang mengunjungi Chongqing pasti kagum akan pencakar langit dan infrastruktur modern yang dibangun pada masa jabatannya di kota itu. Tapi, apakah mereka tahu bahwa semua pembangunan itu dilakukan Bo dengan uang pinjaman yang besarnya setara dengan 50 persen lebih PDB daerah, dan sebagian besar dari pinjaman itu bakal sama sekali tidak pernah dibayar kembali?

Kasus Bo ini bukan suatu kekecualian di Cina, tapi sudah merupakan sesuatu yang umum. Bertentangan dengan persepsi di Barat (terutama di kalangan pebisnis), pemerintah Cina sekarang ini penuh dengan apparatchik yang pintar seperti Bo, yang telah menduduki posisi yang mereka pegang sekarang melalui penipuan, korupsi, patronase, dan manipulasi.

Salah satu tanda penipuan sistemik yang paling jelas adalah banyaknya pejabat di Cina yang menggunakan gelar akademik yang palsu atau diragukan untuk memoles curriculum vitae atau riwayat hidup mereka. Karena pencapaian dalam bidang pendidikan dianggap sebagai ukuran kemampuan intelektual, para pejabat itu berlomba-lomba mendapatkan gelar akademik untuk mencapai keunggulan dalam persaingan merebut kedudukan.

Sebagian besar dari para pejabat ini berhasil memperoleh gelar S-3 (S-2 tidak lagi cukup dalam lomba senjata politik ini) yang diperoleh melalui program paruh waktu atau dalam sekolah pelatihan Partai Komunis. Dari 250 anggota Komite Tetap Partai Komunis tingkat provinsi, suatu kelompok elite yang terdiri atas ketua partai dan gubernur, 60 di antara mereka mengaku telah meraih gelar PhD. Ternyata hanya sepuluh di antara mereka yang menyelesaikan program studi S-3 sebelum menjadi pejabat pemerintah.

Yang lainnya memperoleh gelar S-3 mereka (kebanyakan dalam bidang ekonomi, manajemen, hukum, dan teknik industri) melalui program paruh waktu sementara menjalankan tugas mereka sebagai pejabat pemerintah. Satu berhasil menyelesaikannya dalam waktu cuma 21 bulan, suatu pencapaian yang tidak mungkin, mengingat untuk tugas studinya saja, tanpa disertasi, di kebanyakan negara normalnya dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya dua tahun. Jika begitu banyak pejabat senior Cina secara terang-terangan memamerkan gelar akademik yang palsu atau diragukan, tanpa konsekuensi apa pun, bisa dibayangkan pasti betapa banyak lagi bentuk korupsi lainnya.

Ukuran lainnya yang umumnya digunakan untuk menilai “kemampuan intelektual” seorang pejabat di Cina adalah menunjukkan bukti kemampuan dalam memajukan pertumbuhan ekonomi. Di permukaan, penilaian seperti ini tampaknya obyektif.

Kenyataannya, pertumbuhan PDB itu sama mudahnya dipermainkan seperti kredensial akademik seorang pejabat. Tindakan menggelembungkan angka pertumbuhan daerah itu begitu endemis, sehingga data pertumbuhan PDB provinsi yang dilaporkan, bila dijumlahkan, selalu lebih tinggi daripada data PDB nasional, sesuatu yang secara matematika tidak mungkin terjadi. Dan walaupun angkaangka ini tidak mereka palsukan, pejabatpejabat daerah itu bisa mempermainkannya dengan cara lain.

Karena masa jabatan mereka dalam satu posisi itu relatif singkat sebelum dipromosikan lagi (rata-rata kurang dari tiga tahun, untuk jabatan wali kota di daerah), pejabat-pejabat Cina itu berada di bawah tekanan yang kuat untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Satu cara yang pasti untuk melakukan semua ini adalah dengan menggunakan dukungan keuangan, khususnya dengan menggunakan lahan sebagai jaminan untuk meminjam uang dalam jumlah yang besar dari bank milik negara, yang sering tidak bisa menolak, untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang masif seperti dilakukan Bo di Chongqing.

Hasilnya adalah dipromosikannya pejabat-pejabat seperti itu, karena mereka telah membuktikan kemampuan mendorong pertumbuhan PDB yang cepat. Tapi ongkos ekonomi dan sosial yang harus dibayar untuk ini sangat tinggi. Pemerintah daerah dibebani utang yang menggunung dan investasi yang boros, bank menanggung pinjaman yang riskan, dan petani kehilangan lahannya.

Lebih buruk lagi, sementara persaingan mendapatkan promosi di dalam birokrasi Cina terus meningkat, bahkan gelar akademik dan pertumbuhan PDB yang palsu itu masih belum cukup untuk memajukan karier seseorang, apa yang semakin menentukan prospek seorang pejabat mendapatkan promosi adalah guanxi, atau koneksi.

Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap pejabat-pejabat daerah, adalah patronase, bukan merit, yang merupakan faktor paling kritis dalam proses pengangkatan seorang pejabat. Bagi mereka yang tidak punya guanxi, satu-satunya jalan yang terbuka adalah dengan membeli pengangkatan dan promosi dengan sogokan. Dalam bahasa percakapan Cina, praktek sogok ini disebut maiguan, artinya secara harfiah “membeli jabatan“. Pers Cina penuh dengan cerita skandal korupsi semacam ini.

Mengingat turunnya harga merit yang sistemik ini, tidak banyak warga Cina yang percaya bahwa negeri mereka diperintah oleh putra-putra bangsa yang terbaik dan cerdas. Namun, yang mengherankan, mitos meritokrasi ini tetap kukuh di kalangan warga-warga Barat yang pernah bertemu dengan pejabat-pejabat seperti Bo dengan kredensialnya yang hebat itu. Sudah waktunya mitos ini dikubur.

1 komentar:

  1. Wah,kalau begitu, jangan-jangan meroketnya perekonomian di China juga hanya mitos...Thanks postingan artikel-nya pak. (Maryono)

    BalasHapus