Mitos
Meritokrasi China
Minxin Pei ; Guru Besar Pemerintahan pada Claremont Mckenna College di
California
SUMBER : KORAN
TEMPO, 11 Juni 2012
Skandal
politik kadang-kadang memainkan peran berharga dalam membersihkan pemerintahan.
Ia menghancurkan karier politik individu-individu yang diragukan kejujurannya.
Lebih penting lagi, ia bisa membongkar kepalsuan mitos politik yang berada pada
titik sentral legitimasi beberapa rezim di dunia.
Itulah
tampaknya yang terjadi dalam kasus Bo Xilai. Satu mitos politik yang runtuh
bersama jatuhnya mantan bos Partai Komunis di Kota Chongqing ini adalah
anggapan bahwa pemerintah yang dikuasai Partai Komunis di Cina dewasa ini
ditegakkan berdasarkan meritokrasi, yaitu bahwa pemerintah ini terdiri atas
orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.
Dalam
banyak hal, Bo merupakan personifikasi dari konsep “meritokrasi” Cina
ini—terdidik, cerdas, pandai bergaul, dan menarik alias charming (terutama di
mata petinggi-petinggi bisnis Barat). Tapi, setelah kejatuhannya, muncul suatu
gambaran yang berbeda. Di samping dituduh terlibat dalam berbagai kejahatan, Bo
ternyata adalah seorang apparatchik yang kejam, dengan ego yang berlebihan tapi
tanpa bakat yang riil. Rekornya sebagai pejabat daerah sedang-sedang saja.
Naiknya
Bo ke jabatan yang tinggi terutama karena keturunan (ayahnya pernah menjabat
wakil perdana menteri), karena dukungan politik, dan karena manipulasi yang
dilakukannya. Misalnya, mereka yang mengunjungi Chongqing pasti kagum akan
pencakar langit dan infrastruktur modern yang dibangun pada masa jabatannya di
kota itu. Tapi, apakah mereka tahu bahwa semua pembangunan itu dilakukan Bo
dengan uang pinjaman yang besarnya setara dengan 50 persen lebih PDB daerah,
dan sebagian besar dari pinjaman itu bakal sama
sekali tidak pernah dibayar kembali?
Kasus
Bo ini bukan suatu kekecualian di Cina, tapi sudah merupakan sesuatu yang umum.
Bertentangan dengan persepsi di Barat (terutama di kalangan pebisnis),
pemerintah Cina sekarang ini penuh dengan apparatchik
yang pintar seperti Bo, yang telah menduduki posisi yang mereka pegang sekarang
melalui penipuan, korupsi, patronase, dan manipulasi.
Salah
satu tanda penipuan sistemik yang paling jelas adalah banyaknya pejabat di Cina
yang menggunakan gelar akademik yang palsu atau diragukan untuk memoles
curriculum vitae atau riwayat hidup mereka. Karena pencapaian dalam bidang
pendidikan dianggap sebagai ukuran kemampuan intelektual, para pejabat itu
berlomba-lomba mendapatkan gelar akademik untuk mencapai keunggulan dalam
persaingan merebut kedudukan.
Sebagian
besar dari para pejabat ini berhasil memperoleh gelar S-3 (S-2 tidak lagi cukup
dalam lomba senjata politik ini) yang diperoleh melalui program paruh waktu
atau dalam sekolah pelatihan Partai Komunis. Dari 250 anggota Komite Tetap
Partai Komunis tingkat provinsi, suatu kelompok elite yang terdiri atas ketua
partai dan gubernur, 60 di antara mereka mengaku telah meraih gelar PhD.
Ternyata hanya sepuluh di antara mereka yang menyelesaikan program studi S-3
sebelum menjadi pejabat pemerintah.
Yang
lainnya memperoleh gelar S-3 mereka (kebanyakan dalam bidang ekonomi,
manajemen, hukum, dan teknik industri) melalui program paruh waktu sementara
menjalankan tugas mereka sebagai pejabat pemerintah. Satu berhasil
menyelesaikannya dalam waktu cuma 21 bulan, suatu pencapaian yang tidak
mungkin, mengingat untuk tugas studinya saja, tanpa disertasi, di kebanyakan
negara normalnya dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya dua tahun. Jika begitu
banyak pejabat senior Cina secara terang-terangan memamerkan gelar akademik
yang palsu atau diragukan, tanpa konsekuensi apa pun, bisa dibayangkan pasti
betapa banyak lagi bentuk korupsi lainnya.
Ukuran
lainnya yang umumnya digunakan untuk menilai “kemampuan intelektual” seorang
pejabat di Cina adalah menunjukkan bukti kemampuan dalam memajukan pertumbuhan
ekonomi. Di permukaan, penilaian seperti ini tampaknya obyektif.
Kenyataannya,
pertumbuhan PDB itu sama mudahnya dipermainkan seperti kredensial akademik
seorang pejabat. Tindakan menggelembungkan angka pertumbuhan daerah itu begitu
endemis, sehingga data pertumbuhan PDB provinsi yang dilaporkan, bila
dijumlahkan, selalu lebih tinggi daripada data PDB nasional, sesuatu yang
secara matematika tidak mungkin terjadi. Dan walaupun angkaangka ini tidak
mereka palsukan, pejabatpejabat daerah itu bisa mempermainkannya dengan cara
lain.
Karena
masa jabatan mereka dalam satu posisi itu relatif singkat sebelum dipromosikan
lagi (rata-rata kurang dari tiga tahun, untuk jabatan wali kota di daerah),
pejabat-pejabat Cina itu berada di bawah tekanan yang kuat untuk menunjukkan
kemampuan mereka dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Satu cara yang
pasti untuk melakukan semua ini adalah dengan menggunakan dukungan keuangan,
khususnya dengan menggunakan lahan sebagai jaminan untuk meminjam uang dalam
jumlah yang besar dari bank milik negara, yang sering tidak bisa menolak, untuk
membiayai proyek-proyek infrastruktur yang masif seperti dilakukan Bo di
Chongqing.
Hasilnya
adalah dipromosikannya pejabat-pejabat seperti itu, karena mereka telah
membuktikan kemampuan mendorong pertumbuhan PDB yang cepat. Tapi ongkos ekonomi
dan sosial yang harus dibayar untuk ini sangat tinggi. Pemerintah daerah
dibebani utang yang menggunung dan investasi yang boros, bank menanggung
pinjaman yang riskan, dan petani kehilangan lahannya.
Lebih
buruk lagi, sementara persaingan mendapatkan promosi di dalam birokrasi Cina
terus meningkat, bahkan gelar akademik dan pertumbuhan PDB yang palsu itu masih
belum cukup untuk memajukan karier seseorang, apa yang semakin menentukan
prospek seorang pejabat mendapatkan promosi adalah guanxi, atau koneksi.
Berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap pejabat-pejabat daerah, adalah patronase, bukan
merit, yang merupakan faktor paling kritis dalam proses pengangkatan seorang
pejabat. Bagi mereka yang tidak punya guanxi,
satu-satunya jalan yang terbuka adalah dengan membeli pengangkatan dan promosi
dengan sogokan. Dalam bahasa percakapan Cina, praktek sogok ini disebut
maiguan, artinya secara harfiah “membeli jabatan“. Pers Cina penuh dengan
cerita skandal korupsi semacam ini.
Mengingat
turunnya harga merit yang sistemik ini, tidak banyak warga Cina yang percaya
bahwa negeri mereka diperintah oleh putra-putra bangsa yang terbaik dan cerdas.
Namun, yang mengherankan, mitos meritokrasi ini tetap kukuh di kalangan
warga-warga Barat yang pernah bertemu dengan pejabat-pejabat seperti Bo dengan
kredensialnya yang hebat itu. Sudah waktunya mitos ini dikubur. ●
Wah,kalau begitu, jangan-jangan meroketnya perekonomian di China juga hanya mitos...Thanks postingan artikel-nya pak. (Maryono)
BalasHapus