Selasa, 05 Juni 2012

Menghijaukan Ekonomi


Menghijaukan Ekonomi
Sudharto P Hadi ; Dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 5 Juni 2012


GREEN Economy: Does it Include You?” menjadi tema peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun ini. Pilihan yang menggelitik karena bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia, keadilan sosial, serta secara bersamaan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Secara sederhana green economy adalah upaya menekan jumlah karbon pada titik rendah, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, dan pelibatan secara menyeluruh anggota masyarakat. Bagaimana mengimplementasikan tema itu?

Ekonomi dan lingkungan dipandang sebagai dikotomi. Kalau ingin menggenjot pertumbuhan, lupakan dulu lingkungan. Sebaliknya, bila ingin melestarikan fungsi lingkungan, tahan dulu pertumbuhan ekonomi. Tidak heran lingkungan kita sudah berada pada tingkat kerusakan parah sehingga para aktivis menganjurkan pertumbuhan nol atau zero growth.  

Lahirnya kesadaran lingkungan di negara maju pada awal 1970-an sesungguhnya merupakan respons atas dampak kepesatan pertumbuhan ekonomi. Mustahil menyetop pertumbuhan ekonomi karena kita masih butuh lapangan kerja, mengentaskan penduduk dari kemiskinan, serta meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup.  

Ketika Presiden George W Bush menolak menurunkan emisi, argumentasinya mendasarkan pada kekhawatiran menurunnya laju pertumbuhan industri. Perseteruan antara ekonomi dan ekologi ditengahi dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pembangunan yang menyelaraskan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian fungsi lingkungan.  

Pertumbuhan ekonomi tidak diharamkan tetapi harus berwawasan sosial, artinya tidak memiskinkan dan meminggirkan masyarakat, serta tidak merusak lingkungan. Indonesia sudah mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan secara formal sejak awal 1980-an ketika UU tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan.

Konsep ini terpateri dalam dokumen perencanaan dari tingkat nasional sampai daerah. Namun realitasnya konsep itu memble bila sampai tahap implementasi.

Bergantung Kemauan

Green economy sebagai tema hari lingkungan hidup rupanya dikaitkan dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagaimana diketahui pemanasan global dipicu oleh meningkatnya komponen gas rumah kaca di antaranya CO2, methane, CFC, yang notabene buah dari kegiatan kita semua, dari industri, transportasi, pertanian, sampai rumah tangga.  

Dalam kaitan dengan mitigasi, pemerintah berambisi mengurangi ketergantungan sumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang saat ini porsinya mencapai 95%.

Tahun  2025, porsi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti  surya, angin, air, gelombang laut,  panas bumi, biogas, dan biomas diharapkan meningkat dari saat ini 5% menjadi 17%.  

Hal itu diharapkan bisa menekan laju produksi emisi C02 karena tiap penggunaan 1 ton batu bara akan menghasilkan 2,457 kg CO2, satu liter bensin setara melepas 2,32 kg C02, satu liter elpiji melepas setara 1,50 kg C02, dan satu liter solar akan menebarkan 2,63 kg C02 di atmosfer. Presiden SBY mencanangkan pengurangan emisi sampai 26% saat pertemuan di Kopenhagen beberapa tahun lalu.

Cara sederhana lain menangkal global warming adalah mengolah sampah sejak dari hulu dengan cara mengurangi volume (reduce), menggunakan kembali barang bekas (reuse), dan mendaur ulang sampah menjadi barang yang lebih berguna (recycle). Menurut perhitungan, limbah sampah menghasilkan 64,8 kg CO2 per orang per tahun dan lebih dari 68 ton CO2 per tahun disumbang dari Jakarta.  

Mewujudkan green economy memang penuh tantangan tetapi sesungguhnya bola ada di tangan kita. Kalau kita bersedia dan merasa menjadi bagiannya, akan beruntung secara ekonomi dan bermanfaat secara ekologi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar