Selasa, 12 Juni 2012

Melawan Agresi Pelajar dengan Manajemen Konflik


Melawan Agresi Pelajar dengan Manajemen Konflik
Titik Firawati ; Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2012


INI bukan tentang agresi militer Belanda I dan II. Juga bukan tentang agresi pemerintah AS terhadap Irak. Agresi yang dimaksud di sini ialah agresi yang terjadi sehari-hari, di mana-mana, dan melibatkan anak-anak sekolah. Kita mengenalnya sebagai tawuran pelajar.

Tawuran merupakan bentuk lain dari agresi. Pelajar tawuran sesudah kalah tanding sepak bola, misalnya, menunjukkan perilaku agresif. Beberapa orang menganggap perilaku agresif bersifat bawaan; beberapa lainnya mengatakan lingkungan. Apa pun perspektif yang digunakan, perilaku agresif dapat dikontrol karena, berbeda dari hewan yang sama-sama berperilaku agresif, manusia memiliki akal sehat.

Konrad Lorenz, etolog dari Austria dan penerima Nobel Perdamaian 1973, berpendapat akan berbahaya bila individu-individu dalam sebuah kelompok mengombinasikan agresi dengan ‘antusiasme militan’-kecenderungan seseorang kehilangan kontrol diri atas perilaku kekerasan ketika bersatu dengan orang lain yang memiliki motivasi yang sama.

Tawuran merupakan bentuk agresi paling mencolok di sekolah--mencolok dilihat dari pelaku anak sekolah, mencolok dilihat dari jatuhnya korban baik yang luka-luka maupun tewas, mencolok dilihat dari frekuensi kejadiannya, juga mencolok dilihat dari tanggung jawab institusi pendidikan sebagai motor pendidikan damai di masyarakat.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus tawuran yang berhasil mereka dokumentasikan pada 2011 sebanyak 339 kasus dan menewaskan 82 pelajar. Meski demikian, angka-angka yang cukup meresahkan itu belum juga menghentikan agresi antarpelajar.

Penyebab tawuran acap kali dikaitkan dengan faktor solidaritas antarteman, pengakuan, atau pencarian jati diri. Faktor-faktor penyebab semacam ini menyediakan rumput kering yang setiap waktu, jika ada percikan api (pemicu), dapat berujung pada bentrok fisik. Faktor pemicu biasanya sepele: kalah tanding, tersenggol di acara pentas seni, berpapasan di jalan, dan lain sebagainya.

Lebih jauh dari kedua hal tersebut, ada tawuran terjadi sesekali, tapi ada juga tawuran di antara dua sekolah yang sama berlangsung menahun.

Jenis tawuran kedua memiliki arti khusus dalam hal sejarah kelompok yang bermusuhan dan peran ketua gang, senior, atau alumni dalam memelihara permusuhan tersebut, antara lain melalui doktrinasi dan provokasi.

Belum Optimal

Pihak sekolah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi tawuran. Namun, usaha tersebut belum menunjukkan hasil memuaskan--terbukti dengan kasus tawuran yang masih ada hingga sekarang. Mengapa itu belum optimal? Sejumlah cara yang biasanya ditempuh memiliki kelemahan. Cara-cara tersebut yaitu:

1. Mengganti badge dengan nama sekolah tertentu menjadi badge dengan nama yang lebih umum. Keputusan itu datangnya dari pemerintah di salah satu kota di Indonesia dan berlaku untuk semua sekolah di kota tersebut. Dalam praktiknya, keputusan tersebut sulit mencegah tawuran karena seorang siswa dapat mengenali musuhnya dari identitas fisik, bukan badge.

2. Memindahkan lokasi sekolah. Dalam kasus tertentu, pihak sekolah  memindahkan sekolah ke area yang dianggap lebih aman. Salah satu sekolah di Jakarta yang terlibat tawuran memutuskan pindah dengan alasan lingkungan di sekitar sekolah padat menyesakkan sehingga menambah tingkat stres murid yang kemudian bisa berujung pada tawuran. Kebijakan itu, sama dengan poin sebelumnya, dinilai tidak tepat sasaran dan cukup mahal secara material dan sosial.

3. Menghukum fisik, menskors, hingga mengeluarkan dari sekolah. Menghukum fisik dianggap ketinggalan zaman dan tidak mendidik karena berkontribusi menyuburkan nilai-nilai kekerasan. Menskors dan mengeluarkan murid dari sekolah juga mengurangi makna penting pemberdayaan murid dalam usaha pencegahan tawuran. Pelajar pelaku tawuran sekalipun harus menjadi bagian dalam proses transformasi karena di luar statusnya sebagai pelaku, ia sebetulnya berperan sangat penting sebagai sumber informasi sekaligus sumber perubahan. Tanpa kehadiran mereka secara fisik, upaya mencegah tawuran berjalan tidak optimal.

Penanganan Alternatif

Dengan belajar dari kelemahan-kelemahan tadi, kita membutuhkan terobosan lain yang setidaknya mencakup pertimbangan-pertimbangan pokok, antara lain tepat sasaran, nirkekerasan, inklusif/melibatkan banyak pihak (termasuk murid pelaku kekerasan), murah, dan terintegrasi ke dalam sistem pendidikan di sekolah sehingga berdampak jangka panjang.

Terobosan macam apa yang dimaksud? Terobosan itu ialah manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS). Artinya, pendekatan resolusi konflik dalam pendidikan yang bertujuan agar warga sekolah, khususnya peserta didik, secara fisik dan psikologis merasa bebas dari kekerasan, mendapatkan kesempatan bekerja dan belajar dengan yang lain untuk mewujudkan tujuan bersama, dan menghargai perbedaan di sekolah.

Ada lima pilar yang menyokong MKBS, yaitu: 1) budaya sekolah, 2) kurikulum yang damai, 3) kelas yang damai, 4) mediasi sejawat, dan 5) parti 5) parti sipasi m a syara kat.
Pertama, untuk mencegah kekerasan, warga sekolah perlu menyepakati nilai, norma, dan kebiasaan prososial macam apa yang hendak ditanamkan di sekolah. Supaya budaya sekolah tersebut terpelihara dengan baik, semua pihak perlu membuat slogan, menyusun tata tertib, merancang mekanisme penghargaan dan sanksi, merayakan keberhasilan sekolah dalam menjalankan budaya damai, dll. Langkah-langkah itu tentu saja harus konsisten dengan budaya sekolah yang dipilih. Maksudnya, jika mereka mengembangkan budaya nirkekerasan, penghargaan dan sanksi, misalnya, juga bersifat nirkekerasan.

Kedua, mengintegrasikan nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian (pemecahan masalah, toleran, menghargai keragaman, dst) ke dalam kurikulum sekolah menjadi cara alternatif yang dapat sekolah tempuh. Nilai-nilai tersebut dikolaborasikan ke dalam unsur-unsur kurikulum: tujuan, materi, dan strategi pembelajaran serta sistem evaluasi. Di samping itu, guru bisa menempuh strategi lain, yakni berbagi pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik dalam mata pelajaran tersendiri atau mengorganisasi pelatihan manajemen konflik di luar jam belajar.

Ketiga, kelas yang damai mempunyai lima ciri utama, yaitu kerja sama, komunikasi, ekspresi emosional, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik. Guru berperan cukup penting dalam menciptakan suasana kelas yang mencerminkan kelima ciri tersebut. Guru yang mampu merangsang kreativitas siswa dan siswi dalam berpikir, berkarya, dan berinteraksi, maka suasana kelas akan menyenangkan.

Keempat, murid secara aktif mempraktikkan mediasi, termasuk sebagai mediator (dipilih teman atau guru atau mekanisme lain berdasar pada ketentuan yang sudah disepakati sebelumnya). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan mediasi bisa dilembagakan, contohnya melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pelatihan rutin untuk seluruh warga sekolah. Apa manfaatnya? Guru sering dibebani dengan masalah yang tidak ada kaitannya dengan mengajar, seperti melerai anak karena rebutan pacar dan membina anak-anak tawuran. Kini, mereka bisa fokus pada tugas pokoknya, sedangkan murid diharapkan menjadi lebih mandiri dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.

Kelima, masyarakat, termasuk keluarga, memiliki peran sentral dalam memastikan anak-anak tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Apa yang bisa mereka lakukan? Masyarakat bekerja sama untuk memastikan lingkungan sekitar sekolah bebas dari kekerasan atau kondisi yang mendorong kekerasan, seperti tawuran antarkampung, budaya mengumpat, tindak kejahatan, dan mabuk-mabukan. Contoh upaya lainnya ialah anggota masyarakat atau orangtua menjadi narasumber di kelas membicarakan topik-topik yang relevan dengan pekerjaan dan pengalaman mereka.

Dalam banyak hal, tawuran pelajar lebih berbahaya daripada agresi yang kita kenal dalam pelajaran sejarah bangsa-bangsa karena terjadi sehari-hari, cenderung selalu melukai korban (jika tidak menewaskan mereka), dan pelaku sekaligus korban adalah anak-anak muda penerus bangsa. Namun, penanganan yang diupayakan sejauh ini belum juga berhasil mencegah budaya tawuran yang telah mengakar.

Bagaimanapun juga, akar perilaku agresif tersebut harus dicabut. Menghambatnya tumbuh tidak cukup hanya dengan pendekatan konvensional. MKBS bisa menjadi salah satu alternatif terbaik untuk mencegah agresi antarpelajar, dan oleh karenanya, itu perlu diterapkan. Bukannya mencegah lebih baik daripada mengobati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar