Rabu, 13 Juni 2012

Mekanisme Kawasan Laut Cina Selatan


Mekanisme Kawasan Laut Cina Selatan
Mahfudz Siddiq ; Ketua Komisi I DPR
SUMBER :  REPUBLIKA, 11 Juni 2012


Kemenlu pada Rabu, 30 Mei 2012, bertemu dengan Komisi I DPR dalam rangka membahas berbagai penyikapan Indonesia terhadap situasi internasional, di antaranya, mengenai potensi `perang' di laut. Adalah benar prediksi Foreign Policy Magazine yang menyatakan, pada 2012 perang masa depan tidak lagi di darat, tapi di laut. Prediksi itu tidak berlebihan jika dilihat sumber pemantik analisis tersebut ialah sengketa klaim Laut Cina Selatan (LCS).

Tahun ini menjadi target waktu diselesaikannya code of conduct (CoC) pengelolaan LCS bersama antara ASEAN dan Cina. Peliknya permasalahan ini disebabkan oleh keterlibatan negara superpower seperti Amerika Serikat (AS). Konsekuensi paling kasat mata dari sengketa ini ialah perlombaan kapasitas militer negara pengklaim LCS, yaitu Cina dan Taiwan, juga negara-negara di Asia Tenggara, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Malaysia. Menurut penulis, ini adalah tantangan bagi ASEAN untuk menjalankan mekanisme kawasan dalam menjalankan peran internasionalnya.

Sejak dibentuknya ASEAN, 8 Agustus 1967, terdapat prosedur regionalisme yang menjadi acuan penanganan kewilayahan, yaitu Declaration on the Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) pada 1970 yang berkembang menjadi Treaty of Amity and Cooperation (TAC) in Southeast Asia. Permasalahannya, mekanisme kawasan, baik TAC maupun ASEAN Regional Forum (ARF), tidak digunakan dalam kasus LCS.

Duduk bersama Cina

Teori seperti Allan Collins (2000) mengungkap, security dilemma yang terjadi di Asia Tenggara dimulai ketika Cina mengembangkan dan memodernisasikan kapabilitas militernya, khususnya pada angkatan laut di LCS. Modernisasi Angkatan Laut Cina dengan kebijakan blue water navy dianggap AS sebagai strategi ofensif terhadap negaranegara lain di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik sehingga hal ini menimbulkan ketegangan kembali di kawasan itu.

Di sinilah entry point perlunya ASEAN menjalankan `solusi dua kamar'. Kamar pertama ialah mekanisme regional di ASEAN yang memberikan ruang Cina untuk membicarakan code of conduct (CoC) yang ditargetkan tahun ini selesai pembahasannya sekaligus memberi hak jawab terhadap beragam kecurigaan terhadapnya. Terutama, terkait dengan kecurigaan terhadap agresifnya kenaikan anggaran pertahanan Cina untuk pengeluaran alat-alat kemiliteran dari 2008 sampai dengan 2010, security dilemma akan sulit dihilangkan.

Kamar kedua, yaitu ruang pembahasan di antara negara ASEAN sendiri terkait sengketa LCS ini. Adanya TAC harusnya menjadi prosedur formal dalam menyelesaikan sengketa. Prosedur ini belum pernah dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN. Selain itu, sikap negara anggota ASEAN yang mengesampingkan TAC menunjukkan bahwa TAC sebagai tools politik ASEAN belum efektif dalam melakukan kerja sama sebagai masyarakat internasional.

Cina ialah mitra dagang bagi ASEAN yang disadari sangat strategis. Kasus LCS harus dibahas dalam mekanisme kawasan karena konflik Cina dengan beberapa negara ASEAN tidak hanya akan memengaruhi hubungan secara bilateral. Kondisi status quo politik LCS kala tidak bergolak seperti sekarang sepatutnya digunakan untuk membangun kesepakatan bahwa mekanisme kawasan (via ASEAN Regional Forum/ARF) yang melibatkan Cina dan AS, juga mengaktifkan TAC sebagai mekanisme intra-ASEAN.

Mekanisme Kawasan

Di sisi lain, AS juga terus berdinamika sendiri. Dalam rencana terbarunya, AS akan menempatkan empat kapal perang khusus perairan dangkal pada paruh pertama 2013 di Singapura. Tentu saja hal ini bagian dari strategi AS menghambat penetrasi militer Cina ke Asia Tenggara. Sangat disayangkan jika AS meneruskan gaya bilateralisme ini, padahal implikasi kasus LCS, apalagi Selat Malaka yang merupakan vital choke point, akan berdampak pada kawasan secara keseluruhan.

Secara teoretis, solusi ini logikanya selaras dengan Regional Security Complex Theory (RSCT) ala Barry Buzan dan Ole Waever yang meyakini bahwa penyelesaian masalah keamanan dan sekuritisasi di suatu kawasan bersifat kompleks dan tidak dapat dipisahkan dan diselesaikan secara terpisah antara satu dan yang lain. Selain itu, merujuk mazhab Copenhagen yang konstruktivis, Indonesia pun harus mendorong ASEAN mewaspadai sekuritisasi AS karena bukan tidak mungkin ancaman keamanan Cina terhadap LCS dikelola demi kepentingan nasional AS di Asia Tenggara.

Rencana AS kontra Cina di panggung LCS tentu sah-sah saja selama tidak menjadikannya melakukan hal yang lebih buruk dari persepsi Cina yang dibangunnya. Sebab, Cina sampai saat ini melakukan penetrasi yang memukau dengan cara `berbagi' kekuasaan antara kekuatan global serta dinamika regional dan pola persuasif. Sementara, AS selama ini belum mampu menghilangkan citranya sebagai `koboi'.

Indonesia perlu berinisiatif mendorong ASEAN bersikap terhadap pengelolaan keamanan di LCS yang melibatkan ketegangan Cina-AS. Mengaktifkan ARF bagi ASEAN juga berarti meningkatkan peran internasional kita. Semoga norma ASEAN Way yang dilembagakan dalam Treaty of Amity Cooperation (TAC) dan ARF tetap menjaga kedaulatan negara-negara ASEAN. Lebih dari itu, peran ini dapat menegaskan kepemimpinan Indonesia di ASEAN tidak hanya saat ia menjadi ketua, tapi juga sepanjang usia ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar