Mekanisme
Kawasan Laut Cina Selatan
Mahfudz Siddiq ; Ketua Komisi I DPR
SUMBER : REPUBLIKA,
11 Juni 2012
Kemenlu
pada Rabu, 30 Mei 2012, bertemu dengan Komisi I DPR dalam rangka membahas
berbagai penyikapan Indonesia terhadap situasi internasional, di antaranya,
mengenai potensi `perang' di laut. Adalah benar prediksi Foreign Policy Magazine yang menyatakan, pada 2012 perang masa
depan tidak lagi di darat, tapi di laut. Prediksi itu tidak berlebihan jika
dilihat sumber pemantik analisis tersebut ialah sengketa klaim Laut Cina
Selatan (LCS).
Tahun
ini menjadi target waktu diselesaikannya code
of conduct (CoC) pengelolaan LCS bersama antara ASEAN dan Cina. Peliknya
permasalahan ini disebabkan oleh keterlibatan negara superpower seperti Amerika Serikat (AS). Konsekuensi paling kasat
mata dari sengketa ini ialah perlombaan kapasitas militer negara pengklaim LCS,
yaitu Cina dan Taiwan, juga negara-negara di Asia Tenggara, Brunei Darussalam,
Filipina, Vietnam, Malaysia. Menurut penulis, ini adalah tantangan bagi ASEAN
untuk menjalankan mekanisme kawasan dalam menjalankan peran internasionalnya.
Sejak
dibentuknya ASEAN, 8 Agustus 1967, terdapat prosedur regionalisme yang menjadi
acuan penanganan kewilayahan, yaitu Declaration
on the Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) pada 1970 yang
berkembang menjadi Treaty of Amity and
Cooperation (TAC) in Southeast Asia.
Permasalahannya, mekanisme kawasan, baik TAC maupun ASEAN Regional Forum (ARF), tidak digunakan dalam kasus LCS.
Duduk bersama Cina
Teori
seperti Allan Collins (2000) mengungkap, security
dilemma yang terjadi di Asia Tenggara dimulai ketika Cina mengembangkan dan
memodernisasikan kapabilitas militernya, khususnya pada angkatan laut di LCS.
Modernisasi Angkatan Laut Cina dengan kebijakan blue water navy dianggap AS sebagai strategi ofensif terhadap
negaranegara lain di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik sehingga hal ini
menimbulkan ketegangan kembali di kawasan itu.
Di
sinilah entry point perlunya ASEAN menjalankan `solusi dua kamar'. Kamar
pertama ialah mekanisme regional di ASEAN yang memberikan ruang Cina untuk
membicarakan code of conduct (CoC)
yang ditargetkan tahun ini selesai pembahasannya sekaligus memberi hak jawab
terhadap beragam kecurigaan terhadapnya. Terutama, terkait dengan kecurigaan
terhadap agresifnya kenaikan anggaran pertahanan Cina untuk pengeluaran
alat-alat kemiliteran dari 2008 sampai dengan 2010, security dilemma akan sulit dihilangkan.
Kamar
kedua, yaitu ruang pembahasan di antara negara ASEAN sendiri terkait sengketa
LCS ini. Adanya TAC harusnya menjadi prosedur formal dalam menyelesaikan
sengketa. Prosedur ini belum pernah dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN.
Selain itu, sikap negara anggota ASEAN yang mengesampingkan TAC menunjukkan
bahwa TAC sebagai tools politik ASEAN belum efektif dalam melakukan kerja sama
sebagai masyarakat internasional.
Cina
ialah mitra dagang bagi ASEAN yang disadari sangat strategis. Kasus LCS harus
dibahas dalam mekanisme kawasan karena konflik Cina dengan beberapa negara
ASEAN tidak hanya akan memengaruhi hubungan secara bilateral. Kondisi status quo politik LCS kala tidak
bergolak seperti sekarang sepatutnya digunakan untuk membangun kesepakatan
bahwa mekanisme kawasan (via ASEAN
Regional Forum/ARF) yang melibatkan Cina dan AS, juga mengaktifkan TAC
sebagai mekanisme intra-ASEAN.
Mekanisme Kawasan
Di
sisi lain, AS juga terus berdinamika sendiri. Dalam rencana terbarunya, AS akan
menempatkan empat kapal perang khusus perairan dangkal pada paruh pertama 2013
di Singapura. Tentu saja hal ini bagian dari strategi AS menghambat penetrasi
militer Cina ke Asia Tenggara. Sangat disayangkan jika AS meneruskan gaya
bilateralisme ini, padahal implikasi kasus LCS, apalagi Selat Malaka yang
merupakan vital choke point, akan berdampak pada kawasan secara keseluruhan.
Secara
teoretis, solusi ini logikanya selaras dengan Regional Security Complex Theory (RSCT) ala Barry Buzan dan Ole
Waever yang meyakini bahwa penyelesaian masalah keamanan dan sekuritisasi di
suatu kawasan bersifat kompleks dan tidak dapat dipisahkan dan diselesaikan
secara terpisah antara satu dan yang lain. Selain itu, merujuk mazhab Copenhagen yang konstruktivis, Indonesia
pun harus mendorong ASEAN mewaspadai sekuritisasi AS karena bukan tidak mungkin
ancaman keamanan Cina terhadap LCS dikelola demi kepentingan nasional AS di
Asia Tenggara.
Rencana
AS kontra Cina di panggung LCS tentu sah-sah saja selama tidak menjadikannya
melakukan hal yang lebih buruk dari persepsi Cina yang dibangunnya. Sebab, Cina
sampai saat ini melakukan penetrasi yang memukau dengan cara `berbagi'
kekuasaan antara kekuatan global serta dinamika regional dan pola persuasif.
Sementara, AS selama ini belum mampu menghilangkan citranya sebagai `koboi'.
Indonesia
perlu berinisiatif mendorong ASEAN bersikap terhadap pengelolaan keamanan di
LCS yang melibatkan ketegangan Cina-AS. Mengaktifkan ARF bagi ASEAN juga
berarti meningkatkan peran internasional kita. Semoga norma ASEAN Way yang dilembagakan dalam Treaty of Amity Cooperation (TAC) dan
ARF tetap menjaga kedaulatan negara-negara ASEAN. Lebih dari itu, peran ini
dapat menegaskan kepemimpinan Indonesia di ASEAN tidak hanya saat ia menjadi
ketua, tapi juga sepanjang usia ASEAN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar