Senin, 11 Juni 2012

Manipulasi Anggaran Dinas


Manipulasi Anggaran Dinas
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUMBER :  SINDO, 09 Juni 2012


Betapa mengagetkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap manipulasi anggaran perjalanan dinas setiap tahun yang mencapai 40% atau sekitar Rp7,2 triliun dari total anggaran (SINDO,21/5). Suatu jumlah kerugian keuangan negara yang amat fantastis dan hanya dinikmati seenaknya oleh segelintir orang. Lihat saja, anggaran perjalanan dinas pada 2012 bagi sekitar 4,7 juta aparat negara sebesar Rp24 triliun. Jika dihitung secara merata, setiap orang aparat negara menggunakan anggaran perjalanan dinas Rp1,5 juta setahun.Tetapi tidak semua aparat negara melaksanakan perjalanan dinas, hanya pejabat tertentu dan punya kuasa untuk itu. Mengakali anggaran perjalanan dinas sudah berlangsung cukup lama, tetapi selalu saja berulang.

Padahal, saat ini pemerintah sedang giat mengampanyekan penghematan anggaran, tetapi masih saja ada aparat penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil yang menggunakan kesempatan mengambil untung. Salah satunya dengan cara memanipulasi anggaran perjalanan dinas, dimulai saat tahap perencanaan dengan menggelembungkan jumlah anggaran perjalanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Daerah (APBN-APBD).

Setelah APBN-APBD beres, langkah berikutnya menyusun perjalanan dinas fiktif, menambah intensitas jumlah perjalanan yang tidak sesuai dengan yang dilaporkan, serta melakukan perjalanan dinas pada dua tempat berbeda dalam waktu yang sama. Pola lain aksi tipu-tipu anggaran perjalanan dinas dilakukan dengan memanipulasi harga tiket pesawat, akomodasi, dan kuitansi hotel bodong melalui kerja sama dengan agen-agen perjalanan yang tidak bertanggung jawab.

Akal Bulus

Akal bulus aparat negara menggerogoti uang rakyat semakin sistematis dan masif. Ditengarai, manipulasi anggaran perjalanan dinas terjadi di seluruh kementerian dan lembaga negara. Pemicunya terletak pada besarnya jumlah anggaran perjalanan dinas misalnya pada 2009 sebesar Rp15,2 triliun, pada 2010 sebesar Rp19,5 triliun, dan dua tahun berikutnya (2012) membengkak hampir dua kali lipat menjadi Rp24 triliun.

Pembengkakan terjadi saat dilakukan perubahan APBN-APBD yang kadang tidak lagi dikontrol secara ketat oleh DPR. Ada yang menyebut, anggaran perjalanan dinas pegawai dalam setahun sudah setara dengan subsidi pupuk untuk seluruh petani. Pemborosan anggaran untuk memenuhi syahwat jalan-jalan aparat negara tentu membuat hati rakyat semakin pedih. Padahal, sumber APBN-APBD sebagian besarnya berasal dari keringat rakyat melalui pajak. Bagi 560 anggota DPR, anggaran perjalanannya tahun ini sebesar Rp140 miliar.

Maka itu, pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo sungguh menyesakkan dada sehingga harus diapresiasi karena menyebut terjadi penyelewengan dana perjalanan dinas setiap tahun. Kita berharap kiranya anggota DPR yang memiliki hak anggaran mengedepankan nuraninya untuk berani memangkas anggaran perjalanan dinas pegawai negeri. Meski ini tidak mudah lantaran banyak anggota DPR yang juga mengambil keuntungan saat kunjungan kerja ke luar negeri. Berharap pada DPR memangkas anggaran perjalanan dinas sama saja “menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”.

Padahal, begitu jelas penyimpangan terjadi akibat lemahnya pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga negara. Kinerja pemimpin kementerian dan lembaga negara seharusnya juga diukur dari tingkat penyimpangan anggaran perjalanan dinas.J ika ada yang melanggar, Presiden tidak boleh ragu mencopotnya karena membiarkan kementeriannya menjadi sarang penyamun anggaran perjalanan dinas.

Tidak Ada Efek Jera

Fenomena korupsi terhadap anggaran perjalanan dinas yang terjadi setiap tahun seharusnya sudah bisa ditekan melalui penegakan hukum tanpa pilih kasih. Korupsi anggaran perjalanan dinas bisa jadi akan sama nasibnya dengan korupsi APBN-APBD dengan cara yang berbeda karena akan terus berlangsung tanpa bisa dihentikan. Salah satu pemicunya,penegakan hukum belum mampu menimbulkan efek jera akibat ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim.

Termasuk alasan klasik “tidak cukup bukti” sehingga banyak terdakwa korupsi divonis bebas meski korupsinya begitu nyata, lantaran hukum tidak mampu membuktikannya karena tersandera oleh “prosedur formil”. Realita ini sudah pasti melukai rasa keadilan masyarakat, terlebih jika vonis hakim yang ringan atau bebas itu diberikan karena ada “main mata”di antara mereka. Harus ada kemauan politik yang kuat dari Presiden untuk memperketat pengawasan sekaligus membongkar penyelewengan.

Paling tidak dimulai saat pembahasan di DPR untuk memangkas anggaran perjalanan dinas yang tidak menimbulkan efek positif bagi kesejahteraan rakyat.Selain ketegasan aparat hukum, juga diharapkan kiranya Presiden tidak perlu raguragu mencopot pemimpin yang kementerian atau lembaganya menjadi sarang penyamun terhadap dana perjalanan dinas. Hukum sepertinya tak berkutik menghadapi kelihaian oknum aparat negara yang memainkan anggaran perjalanan dinas. Malah berbagai institusi penegak hukum justru ikut tercemar aroma penyelewengan.

Butuh keberanian dan komitmen kuat untuk mengamankan uang rakyat dari tangan-tangan jahil. Jangan ada kata maaf atau kongkalikong saat penyelidikan yang kemudian tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan yang lagilagi dengan alasan tidak ada bukti yang cukup. Paling tidak ada dua kemungkinan penjarahan uang negara terus berlangsung, selain aparat hukum sudah dibungkam, juga karena hampir semua aparat negara dari pusat sampai daerah terlibat tindak penyelewengan yang membuat aparat hukum kewalahan. Kita belum berani meniru negara lain dalam memerangi perilaku korup.

Ketegasan pemerintah China menghukum mati para koruptor dan pemerintah Hong Kong yang berhasil menekan perilaku korup sudah sering diungkap, tetapi Pemerintah Indonesia sama sekali bergeming meski selalu dikritik dan dimotivasi. Jangankan hukuman mati, hukuman penjara pun bisa “ditawar”, bahkan “hukuman pengganti” terhadap dana yang dikorup masih ditoleransi dengan cara diganti pidana kurungan yang lagi-lagi ringan. Haruskah rakyat dikorbankan akibat hukum tak berkutik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar