Selasa, 19 Juni 2012

Kuota Siswa Miskin RSBI


Kuota Siswa Miskin RSBI
Yohanes Eko Nugroho ; Guru Mapel IPA Terpadu SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang
Sumber :  SUARA MERDEKA, 19 Juni 2012


TERLEPAS dari persoalan standar mutu pendidikan, kesan mahal rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) telanjur melekat dalam benak masyarakat, terutama keluarga kurang mampu. Tetangga penulis, kebetulan dari golongan kurang mampu, tahun ini anaknya yang tergolong siswa pandai lulus SD.

Dia memilih memasukkan anaknya ke SMP negeri biasa, bukan RSBI yang lokasinya justru lebih dekat rumah, dan ada kuota 20% untuk siswa dari keluarga tidak mampu. Alasannya, ia tidak ingin anaknya minder. Persoalannya, lanjut dia, saat berproses di sekolah, anaknya terpengaruh kondisi teman yang mayoritas dari keluarga kaya sehingga berdampak pada semangat belajarnya.

Berdasarkan realitas ini, logis jika kuota 20% bagi siswa miskin di rintisan sekolah bertaraf internasional sulit terpenuhi. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh orang tua yang sebenarnya bukan golongan miskin dan prestasi anaknya pas-pasan, mi-salnya dengan cara mengaku miskin.

Merujuk ”Tajuk Rencana” harian ini bahwa pada tes tahap I SMP RSBI posisi nilai siswa dari keluarga tidak mampu jauh di bawah siswa kategori umum (SM, 16/05/12), penulis menghubungkan dengan fenomena mengaku miskin demi RSBI. Mungkinkah, nilai-nilai di bawah standar pada seleksi tahap I itu berasal dari anak-anak yang orang tuanya mengaku miskin?

Indikasinya, orang tua yang mengaku miskin tersebut tidak berani mendaftarkan anaknya melalui kategori umum karena tahu prestasi anaknya pas-pasan dan ia berspekulasi menerobos kuota 20% yang belum terpenuhi. Andaikan, anaknya diterima berarti ia mendapat dua keuntungan sekaligus, yakni anaknya diterima berdasarkan nilai seleksi di bawah kategori umum, dan berpeluang mendapat bantuan biaya pendidikan.

Kriteria Miskin

Di rintisan sekolah bertaraf internasional, satu materi pelajaran memerlukan satu kali tatap muka, sedangkan di sekolah biasa harus melalui beberapa kali tatap muka. Hal itu karena daya serap siswa RSBI tergolong tinggi mengingat sejak awal pendaftaran sudah mensyaratkan hanya akan menerima siswa pandai dengan standar tertentu. Cara mengajar cepat di rintisan sekolah bertaraf internasional  kurang cocok bagi bagi siswa yang berkemampuan biasa-biasa saja. Jika kita memaksakan anak justru kasihan. Ibaratnya ia baru bisa berjalan tapi kita memaksanya untuk berlari.         

Berkaitan dengan bantuan biaya pendidikan bagi siswa miskin, pihak sekolah seyogianya ikut andil menyurvei kemampuan ekonomi keluarga calon siswa itu. Seyogianya proses pendaftaran di rintisan sekolah bertaraf internasional tidak perlu mencantumkan kriteria miskin atau kaya. Baru setelah pendaftar dinyatakan lolos seleksi, pihak sekolah memberi layanan Bidikmisi bagi siswa dari keluarga kurang mampu.

Dinas Pendidikan perlu terus menyosialisasikan melalui media massa mengenai layanan itu supaya warga kurang mampu berani mendaftarkan anaknya yang cerdas di sekolah itu.

Program ini bisa diawali dengan meminta orang tua siswa baru untuk mengisi formulir permohonan bantuan biaya pendidikan. Supaya memperoleh data akurat, pihak sekolah, khususnya wali kelas dan guru bimbingan dan konseling (BK) mendatangi rumah orang tua siswa baru itu, yang mengajukan permohonan bantuan biaya pendidikan.

Prosedur ini sekilas merepotkan, namun dapat menekan risiko ketidakjujuran dalam pengisian data formulir pengajuan bantuan biaya pendidikan. Setelah data terkumpul, baru pihak sekolah menganalisis kelayakannya apakah siswa itu layak mendapat bantuan atau tidak. Secara logika, tidak mungkin orang tua siswa baru itu akan menipu karena hasil pengecekan secara on the spot oleh pihak sekolah sekaligus bisa mengukur kejujuran keluarga itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar