Kuota
Siswa Miskin RSBI
Yohanes Eko Nugroho ; Guru Mapel IPA
Terpadu SMP Negeri 2 Ungaran Kabupaten Semarang
Sumber : SUARA
MERDEKA, 19 Juni 2012
TERLEPAS dari persoalan standar mutu
pendidikan, kesan mahal rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) telanjur
melekat dalam benak masyarakat, terutama keluarga kurang mampu. Tetangga
penulis, kebetulan dari golongan kurang mampu, tahun ini anaknya yang tergolong
siswa pandai lulus SD.
Dia memilih memasukkan anaknya ke SMP negeri
biasa, bukan RSBI yang lokasinya justru lebih dekat rumah, dan ada kuota 20%
untuk siswa dari keluarga tidak mampu. Alasannya, ia tidak ingin anaknya
minder. Persoalannya, lanjut dia, saat berproses di sekolah, anaknya
terpengaruh kondisi teman yang mayoritas dari keluarga kaya sehingga berdampak
pada semangat belajarnya.
Berdasarkan realitas ini, logis jika kuota
20% bagi siswa miskin di rintisan sekolah bertaraf internasional sulit
terpenuhi. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh orang tua yang sebenarnya bukan
golongan miskin dan prestasi anaknya pas-pasan, mi-salnya dengan cara mengaku
miskin.
Merujuk ”Tajuk Rencana” harian ini bahwa pada
tes tahap I SMP RSBI posisi nilai siswa dari keluarga tidak mampu jauh di bawah
siswa kategori umum (SM, 16/05/12),
penulis menghubungkan dengan fenomena mengaku miskin demi RSBI. Mungkinkah,
nilai-nilai di bawah standar pada seleksi tahap I itu berasal dari anak-anak
yang orang tuanya mengaku miskin?
Indikasinya, orang tua yang mengaku miskin
tersebut tidak berani mendaftarkan anaknya melalui kategori umum karena tahu
prestasi anaknya pas-pasan dan ia berspekulasi menerobos kuota 20% yang belum
terpenuhi. Andaikan, anaknya diterima berarti ia mendapat dua keuntungan
sekaligus, yakni anaknya diterima berdasarkan nilai seleksi di bawah kategori
umum, dan berpeluang mendapat bantuan biaya pendidikan.
Kriteria
Miskin
Di rintisan sekolah bertaraf internasional,
satu materi pelajaran memerlukan satu kali tatap muka, sedangkan di sekolah
biasa harus melalui beberapa kali tatap muka. Hal itu karena daya serap siswa
RSBI tergolong tinggi mengingat sejak awal pendaftaran sudah mensyaratkan hanya
akan menerima siswa pandai dengan standar tertentu. Cara mengajar cepat di
rintisan sekolah bertaraf internasional kurang cocok bagi bagi siswa yang
berkemampuan biasa-biasa saja. Jika kita memaksakan anak justru kasihan.
Ibaratnya ia baru bisa berjalan tapi kita memaksanya untuk berlari.
Berkaitan dengan bantuan biaya pendidikan
bagi siswa miskin, pihak sekolah seyogianya ikut andil menyurvei kemampuan
ekonomi keluarga calon siswa itu. Seyogianya proses pendaftaran di rintisan
sekolah bertaraf internasional tidak perlu mencantumkan kriteria miskin atau
kaya. Baru setelah pendaftar dinyatakan lolos seleksi, pihak sekolah memberi
layanan Bidikmisi bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
Dinas Pendidikan perlu terus
menyosialisasikan melalui media massa mengenai layanan itu supaya warga kurang
mampu berani mendaftarkan anaknya yang cerdas di sekolah itu.
Program ini bisa diawali dengan meminta orang
tua siswa baru untuk mengisi formulir permohonan bantuan biaya pendidikan.
Supaya memperoleh data akurat, pihak sekolah, khususnya wali kelas dan guru
bimbingan dan konseling (BK) mendatangi rumah orang tua siswa baru itu, yang
mengajukan permohonan bantuan biaya pendidikan.
Prosedur ini sekilas merepotkan, namun dapat
menekan risiko ketidakjujuran dalam pengisian data formulir pengajuan bantuan
biaya pendidikan. Setelah data terkumpul, baru pihak sekolah menganalisis
kelayakannya apakah siswa itu layak mendapat bantuan atau tidak. Secara logika,
tidak mungkin orang tua siswa baru itu akan menipu karena hasil pengecekan
secara on the spot oleh pihak sekolah
sekaligus bisa mengukur kejujuran keluarga itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar