Rabu, 13 Juni 2012

Konflik Agraria dan Dominasi Negara


Konflik Agraria dan Dominasi Negara
Elfa Yenti ; Pengurus Lembaga Indonesia Sejahtera, Aman dan Damai (Is'rad), Riau
SUMBER :  SUARA KARYA, 12 Juni 2012


Carut-marut pertanahan seakan tidak pernah usai dari percaturan politik Indonesia. Hampir 80 persen konflik yang terjadi di Indonesia berlatar belakang masalah tanah. Sebenarnya konflik pertanahan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang.

Konflik tanah yang terjadi pada zaman kolonial terjadi antara para petani dan pemerintah. Tanah petani pada waktu itu dikuasai secara paksa oleh pemerintahan kolonial untuk kepentingan mereka. Seperti kita ketahui bahwa tanah bagi para petani merupakan modal dasar bagi keberlangsungan hidup mereka. Ironisnya, pemerintahan kita mengetahui tentang hal itu, tapi masalah pertanahan di Indonesia sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bahkan dari waktu ke waktu, masalah pertanahan makin parah dan memprihatinkan, seperti kasus sengketa tanah di Meruya selatan, baru-baru ini.

Kalau kita perhatikan secara seksama, latar belakang konflik pertanahan di Indonesia khususnya di daerah pedesaan banyak bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (negara, swasta) dan rakyat petani. Konflik tersebut berawal dari lahirnya hak erpacht yang kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. (Musta'in, 2006).

Berangkat dari adanya kebijakan erpacht tersebut, lahan produktif yang dikuasai oleh pengusaha semakin meluas, tidak terkecuali tanah yang semulanya dikuasai oleh para petani telah beralih tangan kepada pengusaha. Entah itu pengambil-alihan secara paksa maupun dengan campur tangan pemerintah dengan kebijakan HGU-nya. Berangkat dari sinilah, perlawanan-perlawanan para petani dalam mempertahankan tanahnya mulai timbul.

Besarnya peran dan intervensi negara terhadap para petani membuat posisi petani semakin terjepit, ditambah lagi pengaruh kekuatan pasar. Sekarang ini, yang dihadapi oleh petani dalam mempertahankan tanahnya bukan negara semata, tapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang pengaruhnya cenderung meningkat. Kekuatan pasar global mampu menyedot siapa saja ke dalamnya. Penawaran-penawaran yang dilontarkan oleh kekuatan pasar mampu menggeser tatanan nilai yang sudah mapan sekalipun.

Konspirasi antara negara dan pasar dari hari ke hari semakin menyudutkan posisi para petani. Tidak sedikit para petani yang kehilangan tanah mereka. Tanah yang semula dikuasai oleh petani telah beralih tangan kepada para pengusaha, sehingga para petani dipaksa untuk hidup dengan keterbatasan lahan pertanian. Kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di Indonesia.

Akibat kesenjangan dan kebijakan-kebijakan negara yang tidak menguntungkan kaum tani telah menyulut terjadinya gerakan radikalisasi kaum tani. Perlawanan kaum tani sekarang ini telah berubah menjadi kekerasan massa yang sering kali brutal, radikal, destruktif terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan (negara-pasar).

Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani dari masa ke masa mengalami perubahan. Radikalisasi gerakan petani dibagi menjadi beberapa periode. Pertama, masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan masa transisi (reformasi). Masing-masing masa tersebut memiliki corak dan arah perjungan yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
Pertama, radikalisasi petani era kolonial terjadi karena pengambil alihan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasa tanah oleh Belanda dan Inggris untuk usaha perkebunan. Bentuk radikalisasi petani pada waktu itu berupa pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah, yang dikenal dengan istilah 'Ratu Adil' yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan. (Kartodirdjo, 1984)

Radikalisasi petani pada era Orde Lama diakibatkan oleh intervensi partai politik dalam mem-blow out masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sedangkan masa Orde Baru, tanah dipandang sebagai bahan komoditas. Sedangkan radikalisasi gerakan petani masa tansisi (reformasi) dicirikan dengan reklaiming akibat ketidak-jelasan paradigma dalam penanganan sektor pertanian, sehingga nasib petani tetap termarjinalisasi oleh para pemilik modal.

Perlawanan petani terhadap hegemoni negara dalam hal kepemilikan tanah sampai sekarang belum menemukan arah perbaikan. Bahkan, sekarang ini, negara semakin leluasa mengekploitasi para petani, dengan memanfaatkan peraturan hukum yang keliru, negara dengan leluasa menguasai lahan yang sebelumnya dikuasai oleh petani yang merupakan warisan nenek moyang mereka telah berpindah tangan kepada para kapitalis. Bahkan yang paling ironis adalah terjadinya perampasan tanah petani oleh negara dengan jalan sertifikat ganda. Hal ini jelas-jelas mengindikasikan bahwa betapa buruknya sistem agrarian di Tanah Air ini.

Banyaknya perpindahan lahan petani kepada para kapitalis sedikit banyak telah mengubah kultur masyarakat kita. Kultur masyarakat yang semulanya bersahaja, dan sentra pertanian dan perkebunan kini telah berubah menjadi pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti supermarket. Imbasnya jelas-jelas menjadikan masyarakat yang konsumtif.

Dalam rangka menjembatani jangan terus berlanjutnya konflik pertanahan di Indonesia, sekaranag ini sudah seharusnya pemerintahan pusat maupun daerah melakukan pembaharuan sistem agraria. Jangan sampai konflik pertahanan terus berlanjut dan memakan korban lebih banyak lagi. Sudah seharusnya kita sama-sama menyatukan fisi dan misi dalam membangun sebuah Negara yang harmonis, berdaulat, dan mempunyai system agraria yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar