Kondisi
Tiada Harapan
Bachtiar Sitanggang ; Pemerhati Masalah Pers,
Anggota Dewan Redaksi
Sinar Harapan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 2 Juni 2012
SEORANG tokoh pers nasional dan tentunya
wartawan kawakan mengemukakan dalam suatu pertemuan bahwa ia pernah bertanya
kepada para wartawan di lingkungannya, “mengapa berita-berita yang disuguhkan
seolah memberitakan kondisi yang tanpa harapan?” Para wartawan itu menjawab,
“memang sumber beritanya atau keadaannya tidak mengemukakan harapan.” Pertemuan khusus yang sengaja dirancang media
tersebut dihadiri berbagai pihak, eksekutif, anggota legislatif,
ilmuwan-akademikus, peneliti, dan tidak ketinggalan seniman-budayawan.
Mendengar jawaban tersebut, muncul berbagai
pertanyaan dan sangkaan bahwa para wartawan yang memberi jawaban itu membuat
apologia untuk menutupi kelemahan, tidak profesional, dan pemalas.
Tetapi setelah ditelaah keadaan sekarang,
memang hampir tidak ada harapan akan perbaikan kehidupan, baik sebagai
perorangan, kelompok, maupun masyarakat, termasuk warga negara. Timbul
pertanyaan, apa seseram itukah hidup di Indonesia, terutama di Jakarta, dan
sepesimistis itukah kita saat ini?
Jawabnya, tentu terserah pada individu
masing-masing, terutama mereka yang sedang menuai hasil memuaskan, di samping
sebagian besar anggota masyarakat, keluarga, maupun daerah tertentu yang hidup
di bawah impitan keadaan tanpa harapan ini.
Terlepas dari benar atau tidaknya jawaban
para wartawan yang dikemukakan di atas, mari kita coba lihat bagaimana sebenarnya
kondisi kita saat ini. Kalau kita coba telusuri dari beberapa waktu lalu atau
taruhlah sejak empat–lima tahun lalu, memang banyak hal yang menimbulkan
ketidakpastian di berbagai segi kehidupan kita.
Contoh utama adalah kasus flu burung yang
amat menakutkan, sampai-sampai orang dilarang memelihara burung, dan ayam
peliharaan harus dipotong dan dibakar di liang kubur. Para pelakunya pun
bagaikan astronot menggunakan pakaian khusus. Kemudian, ternyata menteri kala
itu saat ini dijadikan tersangka pelaku korupsi.
Kasus Bank Century yang begitu heboh,
sampai-sampai DPR membentuk Panitia Kerja (Panja), hasilnya sampai sekarang
tidak jelas, masih bagaikan jalan tiada ujung.
Masih hangat sampai sekarang, bagaimana
putusan Mahkamah Agung tentang hak berdiri Gereja Yasmin di Bogor, yang sampai
sekarang bagaikan angin lalu, dan Presiden juga seolah tidak berdaya
mengatasinya. Mahkamah Agung itu kan benteng terakhir keadilan, kalau
putusannya tidak dilaksanakan, berarti wajar rakyat tidak memiliki harapan lagi
akan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan.
Belakangan mucul kasus korupsi yang
melibatkan berbagai lembaga dan instansi pemerintah seperti DPR dengan Badan
Anggaran-nya, di mana dana APBN yang dijadwalkan untuk membangun daerah
ternyata ditengarai harus dengan komisi (commitmen
fee) 10 persen.
Namun, sampai sekarang pun KPK hampir tidak
mampu menyentuhnya. Berkaitan dengan itu, anggota DPR ternyata juga berperan di
dalamnya, seperti yang menjerat Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode
Nurhayati. Kita belum tahu yang lain (yang terlibat).
Dengan munculnya kasus Wisma Atlet Jakabaring
Palembang, terkuak lagi kasus Hambalang. Ini termasuk mencengangkan, sebab
menurut Nazaruddin sekira Rp 50 miliar mengucur dari proyek pusat olahraga itu
dalam kongres partai guna memenangkan orang tertentu.
Apakah masih ada harapan perbaikan kalau
keadaannya seperti itu? Mengapa kita bisa begitu pesimistis, apatis, dan putus
asa? Tentu saja, di negara demokratis ini kita tak punya pilihan selain menaruh
harapan pada para wakil rakyat di DPR. Kalau ternyata para wakil rakyat itu
tidak melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, dan malah melakukan
korupsi, wajarlah rakyat menjadi frustrasi.
Yang paling menyeramkan adalah
ketidaknyamanan kita berada di mana saja. Dengan menonton televisi atau
mengikuti berita melalui media cetak dan daring, setiap hari kita akan
menyaksikan adanya bentrok, tidak hanya buruh tani dengan suruhan pengusaha
kaya yang berebut lahan seperti Mesuji dan PTPN II, para cendekiawan atau
civitas akademika di Kota Jakarta pun bentrok dengan petugas pengadilan negeri.
Setiap hari kita tahu kelompok tertentu
melakukan razia minuman keras, warung remang-remang, dan berbagai kegiatan yang
diduga bertentangan dengan hukum, etika dan moral, sementara kepolisian yang
bertanggung jawab untuk hal tersebut kelihatannya adem ayem saja.
Kita juga menyaksikan para tokoh masyarakat,
terutama wakil rakyat di DPR, dalam tayangan siaran langsung, kadang kala
mempertontonkan ucapan yang tidak pada tempatnya. Akibatnya, perbincangan itu
tidak mencerminkan keteduhan, apalagi pengharapan akan perbaikan keadaan.
Terakhir kita mengetahui lewat media massa
bahwa empat gubernur se-Kalimantan protes ke Komisi VII DPR tentang terjadinya
kelangkaan BBM bersubsidi di daerahnya masing-masing. Timbul persoalan, apakah
keadaan ini mencerminkan pemerintah pusat yang masa bodoh atau daerah yang
mbalelo? Ironis, daerah penghasil devisa terbesar seperti Kalimantan Timur
ternyata harus menjerit karena kekurangan BBM.
Berita terakhir, disetujui bahwa akan ada
penambahan BBM bersubsidi. Tidak jelas siapa yang salah dalam hal ini.
Sebagaimana biasanya, tidak ada penjelasan berarti tidak ada penanganan yang
tuntas dan komprehensif. Akibatnya, suatu masalah selalu diselesaikan dengan
masalah baru.
Terakhir, isu yang menguras energi kita
adalah konser Lady Gaga yang dibatalkan. Itu juga tidak jelas apakah karena
tidak ada izin dari kepolisian atau karena Lady Gaga sendiri yang tidak mau
konser di Jakarta.
Padahal permasalahan ini tidak perlu dihebohkan.
Semua pihak yang merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan moral bangsa ini
cukup saja mengatakan kalau Lady Gaga mau konser di Jakarta, ia harus
menyesuaikan diri dengan budaya di sini. Ini tidak harus disikapi dengan adu
kuat-kuatan. Hal tersebut malah menunjukkan ketidaktegasan, seperti yang
diperlihatkan Menkopolhukam dan Kapolri.
Permasalahan yang menyangkut hukum dan
konstitusi adalah pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia kepada
Shapelle Leigh Corby, warga Australia yang dihukum 20 tahun karena memasukkan
ganja 4,2 kg ke Indonesia. Dengan grasi tersebut, hukuman Corby berkurang 5
tahun. Pemberian grasi itu menuai kritik dan keberatan dari berbagai pihak,
termasuk DPR yang merencanakan interpelasi. Granat juga berencana menggugat ke
PTUN atas keputusan Presiden ini.
Keberatan banyak orang bukan pada pengurangan
hukuman, melainkan alasan pemberian grasi tersebut. Memang grasi adalah hak
prerogatif Presiden, tetapi mengapa itu digunakan terhadap tindak kejahatan
narkoba? Sementara itu, bangsa ini setiap detik digerogoti penyalahgunaan
narkoba.
Apakah Presiden tidak memiliki empati
terhadap generasi muda yang terancam narkoba, sehingga memberikan hak
prerogatifnya kepada perusak bangsa? Itulah kira-kira yang menjadi isu hangat
sekarang. Mungkin apa yang terjadi besok akan mengalihkan isu tersebut,
sebagaimana isu Sukhoi yang sesaat mengesampingkan semua keluh kesah bangsa.
Begitulah keadaan kita akhir-akhir ini, hidup
seolah-olah dalam keadaan ketidakpastian. Tentu tidak ada di antara kita yang
mengharapkan ketidakpastian muncul esok hari. Semoga mereka yang sedang
menikmati kepastian saat ini mau dan mampu memberikan pengharapan pasti untuk
hari esok. Janganlah rentang waktu ketidakpastian ini diperpanjang
terus-menerus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar