Sabtu, 02 Juni 2012

Kondisi Tiada Harapan


Kondisi Tiada Harapan
Bachtiar Sitanggang ; Pemerhati Masalah Pers,
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 2 Juni 2012


SEORANG tokoh pers nasional dan tentunya wartawan kawakan mengemukakan dalam suatu pertemuan bahwa ia pernah bertanya kepada para wartawan di lingkungannya, “mengapa berita-berita yang disuguhkan seolah memberitakan kondisi yang tanpa harapan?” Para wartawan itu menjawab, “memang sumber beritanya atau keadaannya tidak mengemukakan harapan.” Pertemuan khusus yang sengaja dirancang media tersebut dihadiri berbagai pihak, eksekutif, anggota legislatif, ilmuwan-akademikus, peneliti, dan tidak ketinggalan seniman-budayawan.

Mendengar jawaban tersebut, muncul berbagai pertanyaan dan sangkaan bahwa para wartawan yang memberi jawaban itu membuat apologia untuk menutupi kelemahan, tidak profesional, dan pemalas.

Tetapi setelah ditelaah keadaan sekarang, memang hampir tidak ada harapan akan perbaikan kehidupan, baik sebagai perorangan, kelompok, maupun masyarakat, termasuk warga negara. Timbul pertanyaan, apa seseram itukah hidup di Indonesia, terutama di Jakarta, dan sepesimistis itukah kita saat ini?

Jawabnya, tentu terserah pada individu masing-masing, terutama mereka yang sedang menuai hasil memuaskan, di samping sebagian besar anggota masyarakat, keluarga, maupun daerah tertentu yang hidup di bawah impitan keadaan tanpa harapan ini.

Terlepas dari benar atau tidaknya jawaban para wartawan yang dikemukakan di atas, mari kita coba lihat bagaimana sebenarnya kondisi kita saat ini. Kalau kita coba telusuri dari beberapa waktu lalu atau taruhlah sejak empat–lima tahun lalu, memang banyak hal yang menimbulkan ketidakpastian di berbagai segi kehidupan kita.

Contoh utama adalah kasus flu burung yang amat menakutkan, sampai-sampai orang dilarang memelihara burung, dan ayam peliharaan harus dipotong dan dibakar di liang kubur. Para pelakunya pun bagaikan astronot menggunakan pakaian khusus. Kemudian, ternyata menteri kala itu saat ini dijadikan tersangka pelaku korupsi.

Kasus Bank Century yang begitu heboh, sampai-sampai DPR membentuk Panitia Kerja (Panja), hasilnya sampai sekarang tidak jelas, masih bagaikan jalan tiada ujung.

Masih hangat sampai sekarang, bagaimana putusan Mahkamah Agung tentang hak berdiri Gereja Yasmin di Bogor, yang sampai sekarang bagaikan angin lalu, dan Presiden juga seolah tidak berdaya mengatasinya. Mahkamah Agung itu kan benteng terakhir keadilan, kalau putusannya tidak dilaksanakan, berarti wajar rakyat tidak memiliki harapan lagi akan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan.

Belakangan mucul kasus korupsi yang melibatkan berbagai lembaga dan instansi pemerintah seperti DPR dengan Badan Anggaran-nya, di mana dana APBN yang dijadwalkan untuk membangun daerah ternyata ditengarai harus dengan komisi (commitmen fee) 10 persen.

Namun, sampai sekarang pun KPK hampir tidak mampu menyentuhnya. Berkaitan dengan itu, anggota DPR ternyata juga berperan di dalamnya, seperti yang menjerat Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati. Kita belum tahu yang lain (yang terlibat).

Dengan munculnya kasus Wisma Atlet Jakabaring Palembang, terkuak lagi kasus Hambalang. Ini termasuk mencengangkan, sebab menurut Nazaruddin sekira Rp 50 miliar mengucur dari proyek pusat olahraga itu dalam kongres partai guna memenangkan orang tertentu.

Apakah masih ada harapan perbaikan kalau keadaannya seperti itu? Mengapa kita bisa begitu pesimistis, apatis, dan putus asa? Tentu saja, di negara demokratis ini kita tak punya pilihan selain menaruh harapan pada para wakil rakyat di DPR. Kalau ternyata para wakil rakyat itu tidak melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, dan malah melakukan korupsi, wajarlah rakyat menjadi frustrasi.

Yang paling menyeramkan adalah ketidaknyamanan kita berada di mana saja. Dengan menonton televisi atau mengikuti berita melalui media cetak dan daring, setiap hari kita akan menyaksikan adanya bentrok, tidak hanya buruh tani dengan suruhan pengusaha kaya yang berebut lahan seperti Mesuji dan PTPN II, para cendekiawan atau civitas akademika di Kota Jakarta pun bentrok dengan petugas pengadilan negeri.

Setiap hari kita tahu kelompok tertentu melakukan razia minuman keras, warung remang-remang, dan berbagai kegiatan yang diduga bertentangan dengan hukum, etika dan moral, sementara kepolisian yang bertanggung jawab untuk hal tersebut kelihatannya adem ayem saja.

Kita juga menyaksikan para tokoh masyarakat, terutama wakil rakyat di DPR, dalam tayangan siaran langsung, kadang kala mempertontonkan ucapan yang tidak pada tempatnya. Akibatnya, perbincangan itu tidak mencerminkan keteduhan, apalagi pengharapan akan perbaikan keadaan.

Terakhir kita mengetahui lewat media massa bahwa empat gubernur se-Kalimantan protes ke Komisi VII DPR tentang terjadinya kelangkaan BBM bersubsidi di daerahnya masing-masing. Timbul persoalan, apakah keadaan ini mencerminkan pemerintah pusat yang masa bodoh atau daerah yang mbalelo? Ironis, daerah penghasil devisa terbesar seperti Kalimantan Timur ternyata harus menjerit karena kekurangan BBM.

Berita terakhir, disetujui bahwa akan ada penambahan BBM bersubsidi. Tidak jelas siapa yang salah dalam hal ini. Sebagaimana biasanya, tidak ada penjelasan berarti tidak ada penanganan yang tuntas dan komprehensif. Akibatnya, suatu masalah selalu diselesaikan dengan masalah baru.

Terakhir, isu yang menguras energi kita adalah konser Lady Gaga yang dibatalkan. Itu juga tidak jelas apakah karena tidak ada izin dari kepolisian atau karena Lady Gaga sendiri yang tidak mau konser di Jakarta.

Padahal permasalahan ini tidak perlu dihebohkan. Semua pihak yang merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan moral bangsa ini cukup saja mengatakan kalau Lady Gaga mau konser di Jakarta, ia harus menyesuaikan diri dengan budaya di sini. Ini tidak harus disikapi dengan adu kuat-kuatan. Hal tersebut malah menunjukkan ketidaktegasan, seperti yang diperlihatkan Menkopolhukam dan Kapolri.

Permasalahan yang menyangkut hukum dan konstitusi adalah pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia kepada Shapelle Leigh Corby, warga Australia yang dihukum 20 tahun karena memasukkan ganja 4,2 kg ke Indonesia. Dengan grasi tersebut, hukuman Corby berkurang 5 tahun. Pemberian grasi itu menuai kritik dan keberatan dari berbagai pihak, termasuk DPR yang merencanakan interpelasi. Granat juga berencana menggugat ke PTUN atas keputusan Presiden ini.

Keberatan banyak orang bukan pada pengurangan hukuman, melainkan alasan pemberian grasi tersebut. Memang grasi adalah hak prerogatif Presiden, tetapi mengapa itu digunakan terhadap tindak kejahatan narkoba? Sementara itu, bangsa ini setiap detik digerogoti penyalahgunaan narkoba.

Apakah Presiden tidak memiliki empati terhadap generasi muda yang terancam narkoba, sehingga memberikan hak prerogatifnya kepada perusak bangsa? Itulah kira-kira yang menjadi isu hangat sekarang. Mungkin apa yang terjadi besok akan mengalihkan isu tersebut, sebagaimana isu Sukhoi yang sesaat mengesampingkan semua keluh kesah bangsa.

Begitulah keadaan kita akhir-akhir ini, hidup seolah-olah dalam keadaan ketidakpastian. Tentu tidak ada di antara kita yang mengharapkan ketidakpastian muncul esok hari. Semoga mereka yang sedang menikmati kepastian saat ini mau dan mampu memberikan pengharapan pasti untuk hari esok. Janganlah rentang waktu ketidakpastian ini diperpanjang terus-menerus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar