Kolektor,
Museum, dan Stigma Lukisan Palsu
Metta Dharmasaputra ; Jurnalis, Direktur Eksekutif Katadata
SUMBER : KORAN
TEMPO, 09 Juni 2012
OEI Hong Djien mungkin tak mengira, niatnya
mengumpulkan potongan sejarah karya para maestro seni lukis Indonesia dan
menyuguhkannya ke publik ternyata berujung "badai". Selama dua bulan
terakhir, kolektor seni rupa kenamaan asal Magelang ini dibombardir isu tak
sedap.
Museum OHD, yang baru diresmikan pada 5 April
lalu, disebut-sebut mengoleksi puluhan lukisan palsu karya tiga maestro:
Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio. Atas dasar itu, kolektor lebih dari
2.000 lukisan ini dicap telah merusak dunia seni rupa Indonesia. Lebih gawat
lagi, ia dituding terlibat dalam sindikat pemalsuan lukisan-lukisan karya
Hendra Gunawan.
Kritik tajam antara lain dilontarkan oleh
Amir Sidharta, praktisi balai lelang dan kurator Museum Pelita Harapan.
Kritikus seni rupa Agus Dermawan bahkan secara tidak langsung mensejajarkannya
dengan peristiwa memalukan 12 tahun silam, saat pameran dan penjualan
lukisan-lukisan palsu karya para maestro dunia dan Indonesia digelar di Jakarta
(Koran Tempo, 2 Juni 2012).
Sebagai kolektor kawakan bersentuhan dengan
karya seni sejak 1960-an langkah Oei memang terbilang berani. Dalam buku Seni
dan Mengoleksi Seni, yang diterbitkan Gramedia, ia mengusung konsep
kolektor paripurna: kolektor tak sekadar membeli, menyimpan, dan memajang karya
yang dimilikinya, tapi juga melestarikan karya seni berkualitas tinggi dan
bernilai sejarah, serta mensosialisasinya.
Filosofi inilah yang tampaknya kini justru
menyeret Oei ke pusaran badai. Demi memburu karya seni berkualitas tinggi,
pernah suatu kali ia "nekat" membeli sebuah lukisan anonim alias tak
bertanda tangan. Intuisinya menyatakan, lukisan itu karya maestro Hendra
Gunawan, meski beberapa pihak ragu.
Oei memang bukan kolektor yang memilih jalur
aman. Risiko itu ia tempuh karena tak mau kehilangan kesempatan mengumpulkan
sebanyak mungkin karya para maestro yang terserak hingga ke mancanegara,
khususnya yang menggambarkan sejarah perjuangan bangsa. "Lebih baik
kehilangan uang (jika ternyata lukisan itu palsu) daripada kehilangan
sejarah," katanya.
Lantas, soal niatnya mensosialisasi
karya-karya penting ke publik, ia melakukannya dengan membuka museum. Ribuan
lukisan koleksinya, yang semula hanya dipamerkan secara terbatas di dua galeri
pribadinya, kini mulai dipertontonkan di museum OHD. Oei bahkan menganjurkan
para kolektor lain untuk mendirikan museum serupa yang terbuka bagi umum.
Langkahnya itu didasari oleh kenyataan bahwa
hingga kini tak cukup intens upaya pemerintah mendirikan museum seni rupa
berkualitas. Untuk mengisi kekosongan itu, pihak swasta diharapkan hadir.
Banyak contoh kemunculan sejumlah museum terkenal di Amerika Serikat, Eropa,
dan juga kini Cina, yang dipelopori oleh para kolektor. Museum of Modern Art (MoMA), yang dirintis oleh keluarga
Rockefeller, dan National Art Gallery
Washington oleh Andrew Mellon, termasuk di antaranya.
Persoalannya, kini muncul tudingan bahwa
sejumlah lukisan di Museum OHD diragukan keasliannya dan bisa menyesatkan
publik. Untuk menjernihkan persoalan ini, sikap Oei yang disampaikannya pada
forum diskusi di Galeri Nasional patut diapresiasi. Ia membuka pintu dialog dan
penelitian ulang atas koleksinya. Oei pun tak keberatan, jika terbukti palsu,
lukisan miliknya itu "dilengserkan" dari Museum OHD.
Menanggapi tawaran Oei, yang sesungguhnya
kini dibutuhkan adalah penelitian mendalam, bukan sekadar bergunjing. Lazimnya
prosedur investigasi, sebuah dugaan awal perlu ditindaklanjuti dengan upaya
pengumpulan bukti-bukti, pengamatan langsung, serta verifikasi dan klarifikasi
ke berbagai pihak, baik kepada Oei maupun keluarga atau lingkungan dekat si
pelukis. Jika perlu, dilakukan penelitian atas cat pada lukisan untuk membuktikan
kesahihan umur lukisan tersebut.
Sayangnya, sederet prosedur inilah yang
hingga kini alpa dilakukan. Padahal sejumlah fakta menggambarkan, sinyalemen
lukisan palsu itu masih perlu diuji lebih jauh dan belum didukung oleh argumen
yang sangat kuat. Ambil contoh, penilaian Aminudin T.H. Siregar alias Ucok,
peneliti sejarah seni rupa ITB, atas lukisan Soedibio berjudul Perdjalanan
ke Langit (1946). Lukisan ini diragukan keasliannya lantaran kanvasnya
berukuran jumbo 200 x 300 cm dan tanpa sambungan.
Faktanya, lebar kanvas lukisan itu hanya 150
cm. Tak ada yang janggal dengan ini, sebab lukisan Hendra Gunawan berjudul Aloen-aloen
Kidoel", yang dibuat pada tahun yang sama, juga menggunakan kanvas
sambungan selebar 150 cm plus 75 cm. Selain itu, argumen bahwa gaya lukisan
Soedibio janggal, lantaran bertema perjuangan yang mencekam dan bernuansa
kelam, juga tak solid. Sebab, faktanya, ada pula empat lukisan drawing
Soedibio milik seorang pelukis di Yogya yang bertema serupa.
Contoh lain adalah seputar keraguan atas
lukisan karya Sudjojono berjudul Pangeran Diponegoro. Ucok dan
Tedjabayu, putra Sudjojono, sangsi atas keaslian lukisan ini, karena bayonet
pada gambar itu dinilai tak sesuai dengan masa perang Diponegoro (1825-1830).
Kesalahan seperti ini, menurut keduanya, tak mungkin terjadi, karena Sudjojono
sangat teliti dan mendasarkan lukisan-lukisannya pada riset.
Argumen ini bisa saja benar. Tapi,
kejanggalan serupa terdapat pada lukisan Sudjojono lainnya yang juga berjudul Pangeran
Diponegoro, seperti dimuat pada buku Visible Soul yang ditulis oleh
Amir Sidharta. Berdasarkan riset Sarasvati yang didirikan oleh analis finansial
Lin Che Wei, di masa itu belum ada bayonet seperti tergambar pada lukisan
tersebut.
Bayonet senapan jenis Dutch M1825 Marechaussee,
yang berbentuk sangat panjang dan bisa dilipat di bawah senapan, baru muncul
pada 1844. Jika begitu, apakah kedua lukisan itu lantas bisa dianggap palsu?
Menurut Suatmaji, yang juga peneliti sejarah seni rupa, Sudjojono sebagai
seorang pelukis bebas melakukan interpretasi. Lagi pula, lukisan itu sudah
lahir pada 1960, sementara Sudjojono baru melakukan penelitian ke Belanda pada
1970-an.
Ada pula cerita menarik seputar lukisan
Sudjojono yang berjudul Pertemuan di Tepi Danau di Pegunungan. Menurut
cerita Oei, lukisan miliknya ini sempat diragukan keasliannya oleh Amir, saat
penyusunan buku Visible Soul. Namun Rose Pandanwangi, istri kedua
Sudjojono, tak sepakat, sehingga foto lukisan tersebut akhirnya tetap dimuat di
buku itu.
Kwee Ing Tjiong, yang menjadi murid Sudjojono
sejak 1969, yakin betul bahwa lukisan yang dibeli Oei dari keluarga Affandi itu
asli. "Saya melihat sendiri lukisan itu di kamar Affandi," katanya
saat saya menanyakannya langsung. Lukisan ini juga muncul di buku Ketika
Kata Ketika Warna, yang turut disusun oleh Agus Dermawan.
Menjawab keraguan terhadap lukisan Sudjojono
berjudul Persiapan Serangan Malam, alibi Oei juga cukup masuk akal.
Sederet foto proses restorasi lukisan itu di Singapura, yang dibelinya dalam
kondisi rusak parah, memperkuat argumennya bahwa itu lukisan tua. Namun
sanggahan Ucok, bahwa kini banyak praktek pemalsu yang membuat lukisan agar
terkesan berumur tua, perlu pula diwaspadai.
Itu sebabnya, pemeriksaan lebih jauh amat
diperlukan. Dan yang terpenting, sudah saatnya negeri ini mengembangkan tradisi
dialog dan penelitian yang lebih baik atas karya seni. Semua kegaduhan ini,
seperti diungkapkan oleh budayawan Goenawan Mohamad dalam forum diskusi, timbul
akibat ketiadaan lembaga dan budaya kritik yang sehat. Perbaikan diperlukan
agar perdebatan dalam dunia seni rupa Indonesia tak lagi tereduksi hanya pada
urusan stigmatisasi lukisan palsu. ●
Nice posting sob..
BalasHapusMAkasih ya atas infonya..
jgn lupa kunjungi web kami juga di
http://stisitelkom.ac.id
nice gan atas informasi nya
BalasHapusjangan lupa juga kunjungi situs kami di
http://stisitelkom.ac.id
nice gan atas informasi nya
BalasHapusjangan lupa juga kunjungi situs kami di
http://fefqikirana.blog.stisitelkom.ac.id/