Minggu, 03 Juni 2012

Islamofobia dan Anti-Barat : Sama-Sama Ideologi Ekstremis


Islamofobia dan Anti-Barat :
Sama-Sama Ideologi Ekstremis
( Wawancara )
Masykuri Abdillah ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pengamat Hubungan Antarumat Beragama
SUMBER :  REPUBLIKA, 3 Juni 2012


Ketika Islamofobia menghantui rasa aman dan disikapi dengan mispersepsi, ia tak akan pernah terselesaikan. Gagasan tersebut disampaikan oleh dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga pengamat hubungan antarumat beragama, Prof Dr Masykuri Abdillah kepada wartawan Republika Devi A Oktavika belum lama ini.

“Baik Islamofobia di kalangan Barat maupun anti-Barat di kalangan Islam telah menjadi ideologi kelompok ekstremis yang saling terkait dan memengaruhi,“ katanya. Ia berharap, dari segi internal, umat Islam perlu memperbaiki pemahaman tentang Islamofobia itu sendiri. “Lalu menunjukkan sikap yang jauh dari konflik.“ Berikut petikan selengkapnya perbincangan dengan akademisi kelahiran Weleri, Kendali, Jawa Tengah, pada 22 Desember 1958 ini.

Apa sesungguhnya pengertian dari Islamofobia?

Islamofobia adalah ketakutan dan kebencian terhadap Muslim dan Islam yang berakibat pada munculnya sikap dan tindakan diskriminatif terhadap Muslim serta yang menjauhkan mereka dalam konteks kehidupan sosial dan ekonomi. Dan, ia bisa berubah menjadi tindakan kekerasan atau kriminal terhadap Muslim.

Islamofobia juga menganggap Islam sebagai agama tanpa nilai-nilai dan budaya yang umumnya dimiliki masyarakat beradab sehingga Islam dianggap inferior terhadap Barat. Dalam pandangan mereka (yang membenci Islam), Islam itu bengis, tidak rasional, primitif, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya. Bahkan, tak jarang mereka menganggap Islam lebih sebagai ideologi politik yang keras atau bengis daripada sebagai sebuah agama.

Istilah dan pengertian Islamofobia ini menjadi isu yang kontroversial dan ia merupakan bagian dari xenophobia (kebencian terhadap barang atau orang asing) yang disamakan dengan rasisme. Satu pendapat berbeda tentang Islamofobia dikemukakan Fred Halliday yang mengatakan bahwa ketakutan dan kebencian tersebut tidak ditujukan kepada semua Muslim, tetapi hanya kepada kelompokkelompok Islam radikal dan ekstremis.

Apa faktor yang memengaruhi dan mendorong munculnya Islamofobia?

Jadi, istilah Islamofobia sebenarnya telah muncul sejak awal dekade kedua abad 20. Istilah itu mulai disebut kembali terutama sejak 1980-an, yakni setelah revolusi Iran pada 1978. Revolusi itu kadang-kadang disertai slogan “Anti-Amerika dan Barat“ karena mereka (Amerika dan Barat) dianggap mendukung rezim Shah Reza Pahlevi yang dianggap zalim. Pada masa inilah istilah Islamofobia secara akademik mulai disosialisasikan. Antara lain, dalam tulisan-tulisan Edward Said tentang orientalisme untuk menggambarkan persepsi sebagian masyarakat Barat terhadap Islam dan Muslim.

Istilah Islamofobia semakin populer pascaperistiwa penyerangan menara kembar WTC pada 11 September 2001 oleh Alqaidah, ditambah sejumlah kekerasan dan teror kelompok ekstremis Islam yang jumlahnya sebenarnya sangat minoritas. Semua itu memperkuat anggapan dan prasangka (prejudice) sebagian masyarakat Barat terhadap Muslim dan Islam yang memosisikan Islam sebagai agama bengis yang mendukung terorisme.

Prasangka itu menguat ketika semakin banyak Muslim yang berimigrasi ke Amerika dan Eropa. Kehadiran mereka menimbulkan ketakutan akan adanya “Islamisasi Eropa“ atau “Islamisasi Amerika“. Karena itu, masyarakat Barat merasa Muslim harus dibenci dan dijauhkan dari kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Sebagai reaksi, slogan “Muslim harus keluar dari Eropa“ atau “Setop Islamisasi Amerika“ pun dimunculkan. Itu adalah wujud dari Islamofobia. Contoh lainnya adalah pembantaian terhadap 77 orang di Norwegia oleh Anders Behrig Breivik tahun lalu, meski ia bertindak secara individual.

Lalu, apa yang membuat prasangka itu berkembang sehingga Islamofobia tetap ada hingga sekarang?

Persepsi dan prasangka tersebut dimunculkan terutama oleh adanya misinformasi tentang Islam dan Muslim, baik oleh media, tokoh, maupun organisasi tertentu. Pelaku Islamofobia itu ada kalanya berlatar belakang agama, seperti ekstremis Kristen, yang mengkhawatirkan terjadinya Isla misasi.

Namun, ada kalanya pula, Islamofobia ditunjukkan oleh kelompok kanan sekuler yang khawatir Eropa diwarnai budaya Muslim dan Arab. Dalam konteks ini, para pendukung Islamofobia dengan politik identitasnya melakukan penyebaran informasi tentang Islam dan Muslim dengan stereotip negatif serta mengampanyekan anti-Islam dan anti-Muslim. Mereka terdiri atas para sarjana (scholars), aktivis, politikus, media, dan penyandang dana.

Di Amerika, beberapa tokoh pendukung Islamofobia dari kelompok scholars adalah Daniel Pipes dengan lembaganya Middle East Forum dan juga Robert Spencer dengan lembaganya Jihad Watch & Stop Islamization of America. Dari kelompok aktivis, ada Brigitte Gabriel (Nour Saman) dengan lembaganya ACT for America dan David Horowitz dengan Freedom Center-nya.

Sementara itu, di Eropa, ada sejumlah tokoh partai yang beraliran kanan, seperti Geertz Wilders (Belanda), Jean-Marie Le Pen (Prancis), dan Filip Dewinter (Belgia). Nah, mereka semua itu, baik yang berlatar belakang agama maupun yang berlatar politik, adalah para pendukung Islamofobia.
 
Melihat fakta yang ada, seberapa parahkah Islamofobia yang sedang kita hadapi saat ini?

Menurut saya, jumlah orang Barat (Amerika dan Eropa) yang fobia pada Islam sebenarnya minoritas. Mayoritas sisanya adalah orang-orang yang cukup toleran terhadap keberadaan Muslim, meski dari segi pendapat atau perasaan mungkin cukup banyak juga yang tidak nyaman dengan keberadaan Muslim.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan, pada 2010 jumlah orang Amerika yang memiliki pendapat tidak baik tentang Islam (unfavorable opinion of Islam) sedikit mengalami kenaikan menjadi 38 persen dari persentase lima tahun sebelumnya, yakni 36 persen. Sedangkan, jumlah mereka yang memiliki pendapat baik atau menyenangkan (favorable opinion) mengalami penurunan dari 41 persen menjadi 30 persen.

Indikasi apakah yang ditunjukkan hasil jajak pendapat tersebut?

Dalam hal ini, menurut hemat saya, perlu dibedakan antara pendapat tidak baik (yang dalam sikapnya masih bisa toleran) dan sikap kebencian terhadap Islam (Islamofobia) yang pasti tidak toleran. Dan, terkait persoalan ini, sebenarnya ada dua hal yang perlu kita cermati. Pertama, Islamofobia yang dimiliki sebagian kecil orang Barat terhadap Islam dan Muslim. Dan, kedua, sikap anti-Amerika/Barat yang dilakukan juga oleh minoritas umat Islam.

Keduanya kini menjadi ideologi kelompok ekstremis dan keduanya saling terkait. Jadi, di samping dipengaruhi oleh faktor internal, munculnya Islamofobia juga dipengaruhi ekstremisme kelompok Islam tertentu yang memiliki slogan anti-Amerika atau anti-Barat. Pun demikian sebaliknya, ekstremisme Islam, di samping dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh sikap Amerika atau Barat yang sebagian kebijakannya dinilai anti-Islam.

Dengan demikian, teori Clash of Civilizations (benturan peradaban) yang dikemukakan Huntington dalam tingkat tertentu sebenarnya sudah terjadi. Meski, faktor utamanya bukan pada perbedaan peradaban, melainkan lebih pada politik kepentingan dan politik identitas.

Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai respons dan sikap atas Islamofobia?

Sampai saat ini, tidak satu pemerintahan pun di Barat yang mendukung Islamofobia, kecuali barangkali jika partai-partai kanan tersebut menang dalam pemilihan umum. Memang ada kecenderungan kenaikan suara partai-partai kanan di Eropa. Tetapi, terlepas dari itu, pemerintah dan masyarakat sipil di negara-negara Barat telah berupaya melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap munculnya Islamofobia.

Uni Eropa dan Dewan Eropa pernah mengeluarkan deklarasi untuk melawan genosida, pembersihan etnis, rasisme, antisemitisme, Islamofobia, dan xenofobia. Majelis Parlemen Dewan Eropa juga pernah memberikan rekomendasi bahwa diskriminasi terhadap Muslim tidak bisa ditoleransi di Eropa karena melanggar Konvensi HAM Eropa.

Selain itu, sejumlah LSM juga dibentuk untuk melawan Islamofobia, baik oleh kalangan Kristen maupun Muslim, seperti Forum Against Islamophobia and Racism (FAIR) yang berbasis di London. Sementara itu, kalangan Muslim sendiri berupaya melakukan integrasi sosial dengan menjadikan Islam dan Muslim sebagai bagian dari Eropa dan Amerika.

Selain sebagai respons dan upaya solutif, upaya-upaya tersebut juga perlu dilakukan sebagai bagian dari aksi preventif. Di tingkat internasional maupun regional, misalnya, dialog-dialog antaragama dan antarbudaya banyak dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik antarperadaban atau antaragama.

Hanya, memang di beberapa negara masih ada sejumlah kebijakan yang dinilai mengandung prasangka buruk terhadap Muslim. Kebijakankebijakan semacam itu dibuat atas nama tindakan preventif terhadap munculnya terorisme. Dan, kampanye serta realisasi war on terrorism (perang terhadap terorisme) yang dilakukan secara berlebihan tidak jarang menjadi bentuk Islamofobia itu sendiri dan mendorong pada fobia tersebut.

Karena itu, penyelesaian perlu dimaksimalkan melalui penegakan hukum. Di tingkat dunia, misalnya, penyelesaian persoalan Palestina dan Israel saya rasa akan dapat mengikis Islamofobia. Karena, meski sesungguhnya akar permasalahan yang menonjol dalam kasus Palestina-Israel-Amerika adalah kepentingan politik dan ekonomi, masyarakat garis keras tertentu memersepsikannya sebagai bentuk anti-Islam. Mispersepsi adalah salah satu faktor penyebab Islamofobia.

Di lingkup negara pun demikian, pemerintah harus bisa menegakkan hukum yang menghindarkan masyarakat dari konflik antaragama serta hal-hal yang memicunya. Pemerintah Inggris pernah menindak tegas seorang warganya yang memasang pamflet berisi jargon anti-Muslim. Itu bisa jadi contoh.

Di tingkat individu?

Saya rasa masing-masing perlu memulainya dari dua hal mendasar. Pertama, dari segi pemahaman, kita perlu belajar untuk tidak saling memaksakan budaya dan nilai tertentu berdasarkan agama yang kita anut. Selanjutnya, dari segi sikap, masingmasing seharusnya dapat menunjukkan hal-hal yang lebih bersahabat. Mengapa? Karena sebagaimana telah saya singgung di depan, sikap yang salah terhadap Islamofobia justru bisa memicu Islamofobia yang lebih besar dan luas.

Disadari atau tidak, sesungguhnya budaya Barat di dunia Islam lebih dominan daripada budaya Islam di dunia Barat. Bahkan, tak jarang orang Islam “lebih Barat“ dari orang Barat sendiri yang terlihat dari cara berpakaian, pemikiran, dan sebagainya. Hal itu seharusnya memunculkan konklusi realistis tentang betapa globalisasi memungkinkan sosialisasi dan akulturasi yang semakin global. Dan, untuk menghadapi itu diperlukan pemahaman yang multikultur.

Dalam Islam sendiri kita mengenal ukhuwah Islamiah (ikatan dalam Islam), ukhuwah wathaniah (ikatan dalam negara, sebagai bangsa), dan ukhuwah insaniah (ikatan kemanusian, sebagai individu dan makhluk sosial). Itu modal penting untuk mengembangkan pemahaman tentang Islam sebagai agama damai dan cinta, rahmatan lil'alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar