Rabu, 13 Juni 2012

Hukum Harus Diskriminatif


Hukum Harus Diskriminatif
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER :  SINDO, 12 Juni 2012


Selasa lalu, 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan konstitusionalitas wakil menteri (wamen).Ternyata, putusan MK sejalan dengan kolom saya ”No Wamen, No Cry” yang telah dimuat harian SINDO pada Selasa yang sama.

Sebagaimana argumentasi saya, yang dimuat dalam jawaban dan kesimpulan pemerintah, MK sepakat dan memutuskan Pasal 10 Undang-Undang (UU) Kementerian Negara, yang menjadi dasar konstitusionalitas wamen, tidak bertentangan dengan konstitusi. MK, sebagaimana pandangan kami, setuju membatalkan penjelasan Pasal 10 yang merumuskan wamen adalah pejabat karier dan anggota kabinet. Dengan putusan MK tersebut, perdebatan konstitusionalitas wamen selesai.

Harapan pemohon dan ahlinya, yang berargumen wamen inkonstitusional, ditolak MK. Bahwasanya masih ada kalangan yang mencoba memaknai putusan MK berdasarkan interpretasi dan kepentingan masing-masing, saya tidak akan berkomentar lagi. Bagi saya soal konstitusionalitas wamen, MK telah memutuskan dengan menguatkan dasar hukum keberadaan wamen.

Beberapa rekan meminta saya untuk mengomentari putusan MK tersebut dan merespon perdebatan yang muncul pascaputusan. Saya pikir tidak perlu. Kali ini saya lebih ingin fokus menulis ke persoalan lain yang lebih penting, yaitu soal hukum yang harusnya diskriminatif. Tunggu dulu, jangan langsung menolak dan mengatakan tidak setuju. Mohon dibaca dulu tulisan ini dengan tenang hingga selesai.

Salah satu pertanyaan favorit saya kepada mahasiswa ketika mengajar adalah: apakah maknanya equality before the law, persamaan di hadapan hukum? Apakah itu berarti tidak ada perbedaan sama sekali dalam hukum? Apakah hukum tidak boleh diterapkan berbeda untuk orang yang berbeda? Jawabannya, persamaan di hadapan hukum bukan berarti hukum harus berlaku sama bagi setiap orang.

Persamaan di hadapan hukum justru mensyaratkan perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap orang, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Jelasnya, hukum tidak jarang harus diperlakukan berbeda, diberlakukan diskriminatif,  justru agar hukum itu menjadi adil. Itulah yang dikenal dengan konsep diskriminasi positif (affirmative actions). Hukum yang berlaku sama bagi setiap orang, meskipun dalam situasi dan kondisi yang berbeda, justru cenderung menjadi tidak adil.

Dalam dunia politik, misalnya, representasi perempuan di parlemen diberi persyaratan persentase tertentu. Syarat minimal tersebut tentunya tidak adil bagi kaum pria, tetapi justru diperlukan agar perwakilan perempuan dapat lebih banyak dan berdaya memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

Dalam dunia politik yang lain, ambang batas kepemilikan kursi di parlemen (parliamentary threshold) maupun syarat ambang batas pengusulan calon presiden (presidential threshold) dapat dipandang sebagai aturan yang diskriminatif bagi partai-partai kecil. Partai kecil yang memperoleh sedikit suara mungkin tidak mendapatkan kursi di parlemen atau mungkin tidak dapat mengusulkan calon presiden.

Namun, aturan ambang batas tersebut bukanlah diskriminasi yang salah. MK telah berulang kali memutuskan ambang batas demikian adalah diskriminasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Itulah diskriminasi positif. Dalam dunia ekonomi, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah menerapkan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada kelompok bumiputra.

Kebijakan ekonomi demikian tentu bersifat diskriminatif bagi kelompok masyarakat yang lain. Namun, agaknya Mahathir punya pertimbangan sendiri bahwa keberpihakan kepada bumiputra justru harus dilakukan untuk menghadirkan level persaingan yang sama dalam dunia bisnis di Malaysia pada masa itu. Justru jika kelompok bumiputera dibiarkan bertarung tanpa keberpihakan kebijakan negara kepada mereka, level persaingan dianggap tidak adil.

Itulah diskriminasi positif yang justru penting bagi hadirnya iklim bisnis yang lebih adil. Di bidang hukum, diskriminasi positif juga sangat diperlukan. Hukum harus diskriminatif untuk menjadi lebih adil. Apalagi hukum yang ditegakkan di tengah maraknya penyimpangan, di tengah syaratnya praktik mafia peradilan. Tanpa keberpihakan dan perbedaan perlakuan, hukum hanya akan menjadi pedang keadilan yang menebas kejahatan kelas teri dan lumpuh ketika berhadapan dengan kejahatan kelas paus.

Hukum yang demikian saja diberlakukan sama-rata-samarasa, hanya akan tajam ke bawah, kepada kelompok miskin, dan akan tumpul ke atas, kepada kelompok kaya. Maka, pergilah ke lapas dan rutan di antero Tanah Air, utamanya di kota besar. Lapas dan rutan kita kebanyakan sudah penuh sesak. Satu ruangan pengenalan lingkungan di Rutan Pondok Bambu yang idealnya diisi hanya tiga orang bisa diisi lebih dari tiga puluh orang.

Sudah tidak lagi manusiawi. Tidak sedikit dari mereka adalah kelompok miskin yang tidak mendapatkan proses hukum yang adil. Kalaupun melakukan korupsi, mereka adalah kelompok yang korupsi karena kebutuhan (corruption by need) dan bukan karena keserakahan (corruption by greed). Maka, di Kemenkumham, saya mendukung arah kebijakan Menkumham yang mendorong terus tegaknya hukum yang berkeadilan.

Kami mencoba memaksimalkan forum komunikasi Mahkumjakpol (Mahkamah Agung/ MA, Kemenkumham, kejaksaan, dan kepolisian) yang terus mendorong penegakan hukum yang tetap memberikan keberpihakan kepada kelompok miskin. Peraturan MA No 2 Tahun 2012 yang menegaskan keberpihakan kepada kelompok miskin adalah salah satu pijakan aturan yang terus disosialisasikan ke tataran pelaksanaan sehingga penanganan kasus pencurian sandal, biji kakao, kapuk randu, dan sejenisnya tidak terus berulang dan menjadi ironi penegakan hukum di Tanah Air.

UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang memberikan mandat kepada Kemenkumham untuk menjadi salah satu garda depan pengelolaan anggaran bantuan hukum terus dipersiapkan sistem pelaksanaannya. Kamis lalu saya membuka diskusi intensif mengenai access to justice. Dilanjutkan pada hari Jumatnya, dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, saya ikut mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah mengenai bantuan hukum.

Kesemuanya adalah ikhtiar kami untuk meletakkan sistem hukum yang lebih friendly dan berpihak kepada kelompok miskin. Inilah sistem hukum yang lebih memberikan keberpihakan kepada kelompok the have not. Inilah keberpihakan access to justice for the poor. Dalam berbagai kesempatan pertemuan saya dengan Presiden SBY, soal bantuan hukum bagi kelompok miskin ini selalu beliau tegaskan untuk menjadi salah satu prioritas kerja Kemenkumham.

Bagi kelompok the have, kelompok kaya, keberpihakan bantuan hukum demikian sangat mungkin merupakan kebijakan yang diskriminatif, kebijakan yang tidak adil. Namun, itulah diskriminasi positif. Pembiayaan bantuan hukum oleh negara justru memang harus diberikan kepada kelompok miskin. Justru tidak adil jika negara membiayai bantuan hukum kepada golongan kaya.

Sama tidak adilnya jika syarat dan tata cara mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat bagi pencuri sandal sama dengan koruptor yang menjarah uang rakyat. Untuk adil, syarat remisi bagi koruptor harus lebih berat. Memang dapat diargumenkan diskriminatif bagi koruptor.

Tapi untuk penegakan hukum kita yang masih obral hukuman ringan bagi koruptor, diskriminasi positif demikian adalah keharusan. Hukum harus diterapkan secara diskriminasi positif bagi para koruptor.  Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar