Rabu, 06 Juni 2012

Ekonomi Satu Zona Waktu


Ekonomi Satu Zona Waktu
Jusman Dalle ; Analis ekonomi di Society Research and Humanity Development (Serum) Institute
SUMBER :  JAWA POS, 6 Juni 2012


DENGAN alasan untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah berencana menyatukan tiga zona waktu di Indonesia. Rencana itu kini dalam proses kajian Kementerian Koordinator Perekonomian sebelum masuk ke dalam tahap sosialisasi dan akan berlaku efektif pada 20 Oktober mendatang.

Tapi, tampaknya, rencana yang tertuang dalam Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) itu tak akan berjalan mulus. Sejumlah kalangan seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta beberapa pengamat maupun praktisi ekonomi, bersuara keras. Mereka menilai penyatuan tiga zona waktu Indonesia adalah langkah paradoks. Itu bertentangan dengan kebiasaan yang sudah menjadi habitus impulsif dalam kehidupan masyarakat.

Melawan Habitus

Habitus, kata sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau (1930-2002) telah membentuk struktur mental atau kognitif yang digunakan manusia untuk menghadapi kehidupan sosial dengan pola dan sekema yang telah terinternalisasi. Habitus yang diperoleh dari repetisi aktivitas dalam satu lingkungan sosial menjadi inheren dengan pola interaksi, termasuk bagian dari variabel penting dalam menentukan tingkat produktivitas.

Sebagaimana dikutip dari Arif Wibowo (2008), habitus dalam praktiknya mengafirmasi kecenderungan-kecenderungan empiris agar manusia bertindak dalam cara-cara yang khusus sehingga membentuk gaya hidup. Habitus juga sebagai motivasi, dasar preferensi, membentuk cita rasa atau perasaan (emosi) sehingga melahirkan perilaku yang mendarah daging sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi).

Ketika penyatuan zona waktu dilakukan, hal itu akan mengorbankan 199 juta atau 2/3 penduduk Indonesia. Seperti dirasionalkan oleh Jusuf Kalla, penyatuan zona waktu menjadi Greenwich Meridian Time +8 sebagaimana direncanakan pemerintah, membuat 193 juta jiwa penduduk Indonesia bagian barat dan enam juta penduduk Indonesia bagian timur mengubah pola hidup secara drastis.

Masyarakat Indonesia bagian barat seperti Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan harus beraktivitas lebih pagi karena menyesuaikan diri dengan waktu Indonesia tengah (Wita) yang dijadikan sebagai acuan zona waktu. Demikian pula mereka yang tinggal di Indonesia bagian timur harus menunda satu jam aktivitas mereka, menunggu waktu Indonesia tengah sehingga mereka bekerja lebih siang.

Jika alasan pemerintah demi kepentingan ekonomi, sama saja kepentingan sebagian kecil kalangan mengorbankan jutaan masyarakat Indonesia yang hidupnya sudah terpola. Tujuan produktivitas malah akan sulit tercapai karena secara fisiologi habitus masyarakat sudah terbentuk. Sudah terpola kapan harus beraktivitas dan kapan harus istirahat. Jam-jam yang biasanya digunakan untuk istirahat, harus dijadikan jam kerja. Begitu pula sebaliknya. Jika pola yang dibentuk oleh alam itu dilawan, sama saja dengan melawan keseimbangan alam dan bahkan bisa berakibat gangguan fisik yang pada gilirannya mengurangi tingkat produktivitas.

Inilah yang barangkali disebut Karl Marx (1818-1883) hegemoni sebagai kuasa kapital. Menurut nenek moyang sosialisme itu, modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, tempat berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal. Dalam konteks ini, modal melawan hukum kosmologi dan berupaya mengubah dan menggerakkan budaya baru untuk mengeliminasi budaya lama.

Pentingkan Langkah Substantif

Jika kita telisik di dalam berbagai literatur tentang pembangunan ekonomi, tak ada yang menyebutkan bahwa perekonomian tumbuh hanya karena parameter pasar modal dan transaksi dibuka jam berapa. Secara komparatif, kita misalnya bisa melihat Australia yang memiliki tiga zona waktu atau Amerika Serikat yang bahkan terbagi ke sembilan zona waktu, namun mereka tetap produktif.

Lebih cepat ataupun lambat lantai bursa sebagai acuan makro transaksi ekonomi nasional dibuka, jika fondasi ekonomi kita rapuh, tetap tidak akan berimplikasi positif apa pun. Jika berbicara mengenai (produktivitas) pertumbuhan ekonomi yang menjadi alasan penyatuan zona waktu, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah agar pertumbuhan ekonomi kita berjalan baik tanpa harus mengorbankan masyarakat.

Jika tujuan utama penyatuan zona waktu adalah memacu laju pertumbuhan ekonomi, produktivitaslah yang semestinya digenjot. Budaya kerja disiplin mesti menjadi karakter birokrasi pemerintahan dan dicontohkan oleh para pejabat negeri ini. Harus dibangun budaya malu ketika menerima gaji buta misalnya. Menerima gaji yang tidak sesuai dengan kinerja semestinya.

Demikian pula birokrasi yang tidak efektif harus dipangkas sehingga memudahkan investasi. Investment grade yang telah diraih Indonesia dari Fitch Ratings pada akhir 2011 dan Moody's Investment Service pada awal 2012 tidak akan ada artinya tanpa diikuti perubahan mental dalam mengelola tatanan birokrasi di negeri ini. Semua pihak harus sinergis menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif. Termasuk pungutan liar (pungli) di berbagai sektor yang menyebabkan high cost economy, juga harus diberantas.

Karena itulah, mari kita bersinergi, bersama-sama mencari solusi bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita, tanpa mengotak-atik zona waktu yang telah membentuk pola dan habitus masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar