Sabtu, 09 Juni 2012

Babak Baru Perikanan Dunia


Babak Baru Perikanan Dunia
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia
SUMBER :  KOMPAS, 8 Juni 2012


Koran China Daily pada 23 September 2011 menurunkan berita utama Yao Ming—pebasket top China—menjadi ikon gerakan antikonsumsi ikan hiu.
Restoran-restoran di Shanghai mulai menghilangkan sup sirip hiu dari daftar menu. Ini didasarkan pada fakta menurunnya populasi hiu di dunia. Ikan hiu dan kerapu contoh dari menipisnya 441 spesies ikan di dunia. Berdasarkan data FAO 2010, sekitar 32 persen spesies berada dalam lampu merah (sudah tangkap lebih ataupun nyaris punah), 3 persen belum dieksploitasi, 12 persen dieksploitasi sedang, dan 53 persen dieksploitasi penuh.

Artinya, tinggal 15 persen ikan yang masih bisa dieksploitasi. Padahal, pada 1970-an yang dieksploitasi sedang masih sekitar 40 persen dan yang mengalami tangkap lebih baru 10 persen. Saat ini produksi perikanan tangkap dunia 90 juta ton dan perikanan budidaya 55,1 juta ton atau total 145,1 juta ton. Yang dikonsumsi manusia 117,8 juta ton (81 persen), sisanya, 27 juta ton, untuk pakan, farmasi, dan lainnya.

Tahun 2030 diperkirakan produksi perikanan tangkap dan budidaya akan mendekati seimbang, 93 juta ton dan 83 juta ton (SOFIA, 2002). Artinya, laju pertumbuhan perikanan tangkap semakin dikendalikan, sementara budidaya dipacu.

China sebagai Penentu

China menyadari betapa krisis ikan dunia telah terjadi. China, khususnya Hongkong, saat ini merupakan pasar terbesar ikan hidup, seperti kerapu yang juga disuplai Indonesia. Ikan kerapu mulai memasuki lampu kuning. Ikan karang ini ditangkap dengan cara beragam, termasuk cara-cara merusak. Menutup pasar Hongkong akan berimplikasi pada semakin terkendalikannya penangkapan ikan hiu dan kerapu. Hal ini baik bagi kelestarian sumber daya, tetapi berdampak pada menurunnya ekspor Indonesia.

Pada akhirnya kerapu yang ada di pasar nantinya kerapu hasil budidaya. Namun, budidaya kerapu juga sering dipersoalkan karena pakannya kebanyakan dari alam, seperti ikan rucah. Hal ini dikhawatirkan mendorong eksploitasi ikan besar-besaran untuk kebutuhan pakan.

Kesadaran China ini menjadi babak baru bagi perikanan dunia karena China saat ini produsen ikan terbesar di dunia. Menurut FAO (2010), produksi perikanan tangkap China 14,8 juta ton dan budidaya 32,7 juta ton atau 62,3 persen produksi perikanan budidaya dunia. Konsumsi ikan 42,8 juta ton, 81 persen dari perikanan budidaya. Kesadaran China juga tecermin dari upaya mengurangi kapal ikan dari 288.779 kapal (2007) menjadi 192.390 kapal (2010) karena sadar perikanan tangkap harus dikendalikan. Ini juga dilakukan Jepang yang mengurangi jumlah kapal ikan dari 308.810 (2005) menjadi 296.576 kapal (2007).

Langkah Kita

Bagaimana kita menyikapi babak baru perikanan dunia tersebut? Mau tidak mau perikanan budidaya harus semakin didorong untuk mengurangi tekanan sumber daya di laut. Sementara untuk perikanan tangkap ada sejumlah agenda. Pertama, kita memiliki 11 wilayah pengelolaan perikanan yang harus dikelola dengan baik, dengan rencana pengelolaan perikanan (RPP) yang tepat. Dunia sedang mengurangi jumlah kapal dan kapasitas penangkapan, sedangkan kita meningkatkannya melalui program modernisasi perikanan tangkap.

Ini sah-sah saja sepanjang program ini masuk dalam desain RPP dengan memperhatikan kondisi sumber daya. Kedua, sistem data dan informasi perikanan harus dibenahi untuk mendukung RPP karena sumber data selama ini bersumber dari daerah yang lemah komitmennya untuk menyediakan data akurat. Ketiga, riset untuk menduga stok ikan dan memantau kondisi sumber daya harus ditingkatkan. Hasil riset penting sebagai dasar bagi RPP. Keempat, perlu harmonisasi RPP dengan pengelolaan wilayah konservasi laut. Di dunia, konflik antara perikanan dan konservasi selalu terjadi. Ini karena dialog antara lembaga pengelola perikanan dan konservasi minim.

Kelima, penguatan pengawasan perikanan untuk mengatasi pencurian ikan. Kapal asing masih berkeliaran dan merugikan kita Rp 11,3 triliun per tahun (KKP, 2009) dan bisa saja penyebab tangkap lebih. Sayangnya, pengawasan perikanan semakin diperlemah dengan rencana ditariknya Pengawas Perikanan oleh Menko Polhukam. Padahal, pengawasan perikanan oleh Pengawas Perikanan adalah amanat UU No 45/2009 Pasal 66. Tugas pengawasan ikan akan ringan jika nelayan juga ditempatkan dalam posisi penting secara geopolitik. Jika laut di Arafura dan Laut China Selatan ramai dengan nelayan kita, kapal asing akan menyingkir. Semestinya modernisasi perikanan tangkap diarahkan ke daerah rawan untuk sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Keenam, perikanan di perairan umum (sungai dan danau) juga harus dikelola baik. Bayangkan, menurut LIPI, sekitar 102 jenis ikan di Sungai Cisadane telah hilang selama 2000-2009. Jadi, babak baru perikanan dunia telah dimulai dan pengelolaan sumber daya ikan harus diperkuat untuk keberlanjutan sumber daya dan kesejahteraan nelayan berkelanjutan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar