Babak
Baru Perikanan Dunia
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Ketua Umum Perhimpunan
Sarjana Pertanian Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 8
Juni 2012
Koran China Daily pada 23 September 2011
menurunkan berita utama Yao Ming—pebasket top China—menjadi ikon gerakan
antikonsumsi ikan hiu.
Restoran-restoran di Shanghai mulai
menghilangkan sup sirip hiu dari daftar menu. Ini didasarkan pada fakta
menurunnya populasi hiu di dunia. Ikan hiu dan kerapu contoh dari menipisnya
441 spesies ikan di dunia. Berdasarkan data FAO 2010, sekitar 32 persen spesies
berada dalam lampu merah (sudah tangkap lebih ataupun nyaris punah), 3 persen
belum dieksploitasi, 12 persen dieksploitasi sedang, dan 53 persen
dieksploitasi penuh.
Artinya, tinggal 15 persen ikan yang masih
bisa dieksploitasi. Padahal, pada 1970-an yang dieksploitasi sedang masih
sekitar 40 persen dan yang mengalami tangkap lebih baru 10 persen. Saat ini
produksi perikanan tangkap dunia 90 juta ton dan perikanan budidaya 55,1 juta
ton atau total 145,1 juta ton. Yang dikonsumsi manusia 117,8 juta ton (81
persen), sisanya, 27 juta ton, untuk pakan, farmasi, dan lainnya.
Tahun 2030 diperkirakan produksi perikanan
tangkap dan budidaya akan mendekati seimbang, 93 juta ton dan 83 juta ton
(SOFIA, 2002). Artinya, laju pertumbuhan perikanan tangkap semakin
dikendalikan, sementara budidaya dipacu.
China sebagai Penentu
China menyadari betapa krisis ikan dunia
telah terjadi. China, khususnya Hongkong, saat ini merupakan pasar terbesar
ikan hidup, seperti kerapu yang juga disuplai Indonesia. Ikan kerapu mulai
memasuki lampu kuning. Ikan karang ini ditangkap dengan cara beragam, termasuk
cara-cara merusak. Menutup pasar Hongkong akan berimplikasi pada semakin
terkendalikannya penangkapan ikan hiu dan kerapu. Hal ini baik bagi kelestarian
sumber daya, tetapi berdampak pada menurunnya ekspor Indonesia.
Pada akhirnya kerapu yang ada di pasar
nantinya kerapu hasil budidaya. Namun, budidaya kerapu juga sering dipersoalkan
karena pakannya kebanyakan dari alam, seperti ikan rucah. Hal ini dikhawatirkan
mendorong eksploitasi ikan besar-besaran untuk kebutuhan pakan.
Kesadaran China ini menjadi babak baru bagi
perikanan dunia karena China saat ini produsen ikan terbesar di dunia. Menurut
FAO (2010), produksi perikanan tangkap China 14,8 juta ton dan budidaya 32,7
juta ton atau 62,3 persen produksi perikanan budidaya dunia. Konsumsi ikan 42,8
juta ton, 81 persen dari perikanan budidaya. Kesadaran China juga tecermin dari
upaya mengurangi kapal ikan dari 288.779 kapal (2007) menjadi 192.390 kapal
(2010) karena sadar perikanan tangkap harus dikendalikan. Ini juga dilakukan
Jepang yang mengurangi jumlah kapal ikan dari 308.810 (2005) menjadi 296.576
kapal (2007).
Langkah Kita
Bagaimana kita menyikapi babak baru perikanan
dunia tersebut? Mau tidak mau perikanan budidaya harus semakin didorong untuk
mengurangi tekanan sumber daya di laut. Sementara untuk perikanan tangkap ada
sejumlah agenda. Pertama, kita memiliki 11 wilayah pengelolaan perikanan yang
harus dikelola dengan baik, dengan rencana pengelolaan perikanan (RPP) yang
tepat. Dunia sedang mengurangi jumlah kapal dan kapasitas penangkapan,
sedangkan kita meningkatkannya melalui program modernisasi perikanan tangkap.
Ini sah-sah saja sepanjang program ini masuk
dalam desain RPP dengan memperhatikan kondisi sumber daya. Kedua, sistem data
dan informasi perikanan harus dibenahi untuk mendukung RPP karena sumber data
selama ini bersumber dari daerah yang lemah komitmennya untuk menyediakan data
akurat. Ketiga, riset untuk menduga stok ikan dan memantau kondisi sumber daya
harus ditingkatkan. Hasil riset penting sebagai dasar bagi RPP. Keempat, perlu
harmonisasi RPP dengan pengelolaan wilayah konservasi laut. Di dunia, konflik
antara perikanan dan konservasi selalu terjadi. Ini karena dialog antara
lembaga pengelola perikanan dan konservasi minim.
Kelima, penguatan pengawasan perikanan untuk
mengatasi pencurian ikan. Kapal asing masih berkeliaran dan merugikan kita Rp
11,3 triliun per tahun (KKP, 2009) dan bisa saja penyebab tangkap lebih.
Sayangnya, pengawasan perikanan semakin diperlemah dengan rencana ditariknya
Pengawas Perikanan oleh Menko Polhukam. Padahal, pengawasan perikanan oleh
Pengawas Perikanan adalah amanat UU No 45/2009 Pasal 66. Tugas pengawasan ikan
akan ringan jika nelayan juga ditempatkan dalam posisi penting secara
geopolitik. Jika laut di Arafura dan Laut China Selatan ramai dengan nelayan
kita, kapal asing akan menyingkir. Semestinya modernisasi perikanan tangkap
diarahkan ke daerah rawan untuk sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Keenam, perikanan di perairan umum (sungai
dan danau) juga harus dikelola baik. Bayangkan, menurut LIPI, sekitar 102 jenis
ikan di Sungai Cisadane telah hilang selama 2000-2009. Jadi, babak baru
perikanan dunia telah dimulai dan pengelolaan sumber daya ikan harus diperkuat
untuk keberlanjutan sumber daya dan kesejahteraan nelayan berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar