Sabtu, 16 Juni 2012

Asa untuk Koruptor


Asa untuk Koruptor
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Sumber :  SINDO, 16 Juni 2012


Telah banyak pejabat negara di negeri ini menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi. Mereka ditahan di rumah tahanan (rutan) ataupun lembaga pemasyarakatan (lapas). Ini kemenangan bagi masyarakat, kemenangan melawan korupsi yang masih sangat panjang perjuangannya.

Bagi para koruptor, peristiwa itu tentu beda maknanya. Musibah. Siapa pun tak ingin masuk hotel prodeo, tapi hukum berlaku atas dirinya dan publik pun menyaksikannya. Tidak bisa ditutup-tutupi. Dalam skala luas peristiwa itu sebenarnya merupakan kebenaran hukum yang terhampar di muka bumi ini.Tiada seseorang pun menderita dan teraniaya kecuali atas perbuatannya sendiri. Bukankah kita sudah diajari sejak kecil tentang perbuatan baik dan buruk?

Kita wajib memelihara kesucian, kefitrahan, dan jati diri sebagai manusia agar tidak terjerumus masuk penjara. Kalaupun manusia (kecuali Nabi) adalah makhluk dhaif (lemah) dan karenanya rentan terhadap kesalahan, hukum berlaku keras dan lugas bagi siapa pun yang bersalah. Penderitaan berupa sanksi (hukuman) tertimpa padanya. Haruskah penderitaan itu berkepanjangan? Di dalam moralitas hukum masih ada ajaran pertobatan. Hukum ilahiah semacam ini abadi berlaku bagi siapa pun dan kapan pun (tak terkecuali bagi koruptor).

Ajaran hukum ini layak diingat kembali oleh para koruptor agar tidak putus asa menatap kehidupan di masa depan. Dengan menyebut Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi Indonesia, hukum ilahiah itu indah dan nyaman untuk kehidupan bersama di negeri ini. Hukum buatan legislator pun (seperti: konstitusi, undangundang, peraturan pemerintah, dan sebagainya) akan menjadi indah dan nyaman pula kalau dibuat bersumber pada Pancasila.

Bagi yang taat pastilah memperoleh ganjaran dan sebaliknya bagi pembangkang akan mendapat hukuman. Itulah hukum yang menjamin tegaknya keadilan substantif. Kalau saat ini para koruptor ditahan, sebenarnya sanksi (hukuman) itu sekadar panjar untuk melunasi ”utang-utang sosial” atas perbuatannya. Silakan dilunasi di dunia ini saja dan itu bagus. Artinya, proses peradilan dan vonis hakim diterima ikhlas dan dijalani sebagai penebus dosa, sekaligus pembayar ”utang sosial”  itu.

Jangan berkelit-kelit. Besok, keluar dari penjara kembali menjadi orang suci, fitrah, dan silakan beramal saleh. Memang, menerima sanksi (hukuman) duniawi tidak mudah. Godaan untuk memberontak dan mengatakan ”dirinya tidak salah” selalu datang berseliweran. Bisa saja bisikan datang dari sejawat agar mereka tidak terseret kasus serupa. Paling sering godaan itu datang dari pengacaranya. Posisi dan profesi pengacara itu membela kliennya. Bukan untuk menegakkan hukum,menghadirkan keadilan, tetapi mencapai kemenangan.

Berbagai cara ditempuh. Tetapi ingat, kesombongan dan kebohongan akan menyeret manusia ke jurang kenistaan. Seseorang akan hidup bahagia dan terbebas dari kenistaan apabila: Pertama, melaksanakan hukum secara proporsional, bertanggung jawab atas kewajibannya, dan memberikan hak orang lain sepenuhnya. Kedua, orang itu tidak pernah iri hati terhadap orang lain yang dianugerahi rezeki berlebih. Ketiga,orang itu pantang melakukan penipuan, kebohongan, kerusakan dalam segala sikap dan perilakunya. Keempat, orang itu makan dan minum dari cucuran keringat karena kerja keras. Jangan sekali-kali gege mangsa (memajukan takdir) seraya menumpuk harta untuk anak cucu tujuh keturunan melalui korupsi.

Semua ada aturan, ukuran, dan batasnya. Hujan hanya turun kalau ada mendung. Sesuatu menjadi besar selalu dimulai dari kecil. Realitas ada orang kaya dan ada orang miskin adalah keindahan kehidupan ketika masing-masing sadar dan taat akan kewajiban dan hak-hak-nya. Pemimpin berbuat untuk yang dipimpin. Rakyat mengabdi kepada negara karena dipimpin orang yang amanah. Itu semua bukti pengamalan Pancasila.

Alangkah indahnya kehidupan ini. Benar bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih di antara: porsi, posisi, jabatan, kedudukan yang diinginkan, dengan segala konsekuensinya. Akan tetapi, memilih hidup dibalik tirai besi, pastilah pilihan yang sesat. Rutan, penjara, hotel prodeo,atau apa pun namanya secara sosial merupakan tempat pengucilan agar penghuninya menderita dan jera. Akan tetapi tempat itu bisa menjadi indah apabila digunakan sebagai sarana pertobatan bagi penghuninya.

Ahli sosiologi hukum Belanda, Van Doorn, mengatakan bahwa perilaku manusia cenderung terjatuh di luar skema yang disediakan untuknya. Kita mesti ekstra hati-hati. Tak seorangpun dilahirkan untuk menjadi koruptor, tetapi realitas banyak orang dipidana karena korupsi. Nyatalah bahwa kehidupan bernegara hukum bukan sekadar skema, tetapi juga perilaku. Perilaku itulah yang membedakan penjahat dan orang baik.

Kata bijak mengajarkan: “Tidaklah seseorang memberikan hadiah lebih utama kepada sesama manusia, kecuali nasihat bijak (kalimat hikmah) yang dengannya mampu mengubah kehidupannya yang hina menjadi mulia”. Semoga para koruptor dapat mengambil hikmah dari proses peradilan dan vonis hakim yang ditimpakan kepadanya.Tidak ada ajaran dendam di dalam hukum.

Segalanya demi mengembalikan martabat kemanusiaan secara utuh agar ke depan mantan-mantan koruptor masih bisa beramal saleh untuk bangsa dan negara ini. Wallhu’alam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar